Absurd Life Series #2 : Di Surga Ada Apa?
Photo by Daria Shevtsova from Pexels |
Photo by Daria Shevtsova from Pexels |
Beberapa waktu lalu seorang kawan randomly bertanya ke saya tentang definisi kebahagiaan dan kesuksesan. Apakah ukuranya adalah keluarga, pasangan, uang, jabatan, pendidikan, atau apa?
Setelah berpikir sejenak, ini jawabanya waktu itu: Saya tidak pernah berpikir sejauh itu. Nyaris tidak pernah mikir bahagia itu gimana.
Yah, saya tidak pernah memikirkan apa ukuran dan tolak ukur kebahagiaan. Most of the time I am planning my life and enjoy the ride.
Beberapa kali rencana-rencana hidup itu tidak tercapai. Bahkan gagal total. Baru saja kemarin pengajuan kredit ditolak karena bank belum berani kasi hutangan ke karyawan hotel. Kecewa sebentar, lalu memikirkan semua baik buruknya, akhirnya bahagia karena kreditan di tolak bank. Setidaknya hidup saya akan sangat tenang dan damai meskipun cita-cita yang sudah direncanakan dengan matang harus diubah masterplan-nya agar lebih masuk akal.
Begitu juga rencana bertemu Issam yang direncanakan matang-matang dari jauh-jauh hari dan berkali-kali gagal total gara-gara pandemi dan kebijakan pemerintah yang berganti tak tentu. Frustasi iya, nangis-nangis karena kangen. Setelahnya baik-baik lagi, bersyukur dan heran kok bisa pacaran 3 tahun, 2 tahunnya lewat video call doang. Bahagia karena uang yang tadinya buat foya-foya liburan bisa dipinjam untuk benerin mobil yang tiba-tiba mogok.
Bahagia ternyata terjadi begitu saja. Hal-hal kecil yang kadang tidak diharapkan. Malah kadang terjadi ditengah bencana. Coba deh ingat-ingat cerita susah di masa lalu, lalu ceritakan pada orang-orang sekitar, jatuhnya pasti kita akan menertawakan masa-masa itu. Seringnya saya malah menertawai diri sendiri. Kok ya bisa bodo begitu. Kok ya bisa sangat naive melihat dunia. Kok bisa ditipu mentah-mentah. Lalu bahagia karena sadar kesulitan-kesulitan itu yang menjadikan saya yang sekarang. Lebih dewasa rasanya. Meskipun belum pintar-pintar amat, tapi lebih matang kalau hitung-hitungan tentang hidup.
Sering kali entah karena ulah siapa, kebahagiaan dianggap berkorelasi positif dengan kesuksesan. Lalu indikator kesuksesan ada pada uang, jabatan, strata sosial. Mungkin benar juga sih itu ukurannya, makanya setiap negara menghitung keberhasilan pemerintahnya dengan Gross Domestic Product (GDP), makin gede makin baik. Begitu juga perusahaan, tiap bulan saya ikut meeting untuk tau Gross Operating Profit (GOP), makin gede makin disayang owner. Kalau malah GOL (Loss) artinya siap-siap cari kerja tahun depan. Jadi memang bisa saja itu dijadikan indikator kesuksesan. Tetapi apakah kesuksesan ini berkorelasi positif dengan kebahagiaan?
Saya mencoba membandingkan data tentang peringkat kebahagiaan negara-negara di dunia vs negara-negara dengan GDP terbesar di dunia (karena capek bikin tabel yang bagus, jadi saya buat 5 besar saja)
Source: World Happiness Report & Data Worldbank |
Apa yang kalian lihat di perbandingan itu? Ternyata kebahagiaan tidak melulu berbanding lurus dengan kekayaan dan harta. Top 5 negara paling bahagia itu tidak ada yg bahkan masuk top 20 negara dengan GDP terbesar. Islandia (Iceland) bahkan rangking 110 GDP-nya. Pun Indonesia, masun negara G20 karena GDP kita selalu 20 besar tetapi ketika berurusan dengan kebahagiaan agak jauh di bawah. Sementara negara dengan GDP terbesar di dunia adalah Amerika Serikat, tingkat kebahagiaannya "hanya" di ranking 17.
Negara-negara yang selalu dalam daftar teratas dalam daftar negara paling bahagia selalu adalah negara-negara Nordik. Negara yang sangat jauh dari khatulistiwa. Negara yang jauh dari kata-kata subur. Bagaimana mau subur, tanah-tanah mereka dilapisi es. Melihat matahari juga jarang. But yet, mereka paling bahagia di muka bumi. Coba deh baca Geography of Bliss-nya Eric Weiner, dia membahas hal ini.
Kalau katanya ibu saya, uang memang bisa membuat bahagia. Di kampung kami banyak nian kasus prahara rumah tangga rata-rata karena masalah ekonomi. Mungkin maksudnya adalah, at a certain point, uang memang memberikan perasaan tenang. Sense of security. Ketika kita tahu bahwa kebutuhan pokok terpenuhi. Tidak perlu khawatir tentang pangan, papan dan sandang. Masuk akal kalau banyak yang percaya kalau kebahagiaan berbanding lurus dengan harta dan kekayaan. Dalam list kebahagiaan itu, negara-negara yang tidak bahagia dipenuhi oleh negara-negara miskin di Afrika macam Rwanda & Zimbabwe, dan juga negara-negara yang sedag konflik macam Afganisthan dan Yaman.
Kembali ke kebahagiaan di level personal. Ya saya akui kondisi saya sekarang dengan pekerjaan yang baik dan penghasilan yang stabil memberi kontribusi pada level ketenangan. Tetapi kebahagiaan? Lain lagi ceritanya. Tahun 2010 ketika saya pertama kali bekerja dan gaji hanya ratusan ribu sebulan, rasanya juga sudah bahagia saat ini. Tingkat kebahagiaannya beti-beti dengan sekarang.
Lalu apa ukuran kebahagiaan untuk saya?
Setelah saya pikirkan sesaat sebelum menulis ini, saya tetap tidak mau memikirkannya. Terlalu banyak memikirkan tentang kebahagiaan malah bisa membuat tidak bahagia.
Biarkanlah kehidupan berjalan dan memberikanmu kejutannya. Kalau buruk dan membuatmu kurang bahagia, setidaknya itu menjadi pengingat bahwa bahagia itu rasanya menyenangkan. Kan katanya kalau belum pernah rasanya menderita, akan sulit untuk paham rasanya bahagia. Lihat saja orang yang kaya dari lahir, jauh lebih sulit dibuat bahagia. Saya bisa sesekali makan di restaurant Vietnam saja rasanya bahagiaaaaa. Syahrini dikasi makan steak berlapis emas mungkin biasa saja karena sudah terlalu biasa.
Penting untuk membuat diri kita merasa aman dan tenang. Dengan kondisi keluarga dan ekonomi, agar setelahnya lebih woles menjalani hidup.
So, semoga semakin sering bahagia ya....
Oh, ini jawaban saya waktu itu ketika ditanya tentang definisi bahagia
Terimakasih Bu Guru Made sudah membuat saya mikir dan akhirnya menulis tentang ini :) |
Photo by Nick Fewings on Unsplash |
Source: https://unsplash.com/photos/KZcWygxZ_J4 (Taken by: @timmossholder) |
Timeline facebook dan IG saya cukup ramai dengan ucapan ulang tahun untuk almamater saya. SMA 1 Singaraja. Foto-foto jaman SMA juga bersliweran. Sayangnya, saya tidak punya foto jaman SMA. Jangankan foto, handphone saja saya baru punya setelah kelas 2 SMA. Itupun lungsuran dari entah siapa lupa. But then, still 3 tahun SMA adalah salah satu fase terbaik dan terajaib dalam hidup saya. And for that, I have to thank to SMA 1 Singaraja.
Saya rasa, most of Alumni-nya SMANSA Singaraja akan sangat bangga bersekolah di sekolah terbaik ini. Regardless saat SMA dulu masuk kelas unggulan, juara olimpiade, group sispala, geng OSIS, atlet sekolah, gadis-gadis populer, atau bahkan anak nerd macam saya. We have one thing in common, we are so proud being "anak SMANSA". Satu kesamaan lainnya mungkin most of us adalah budak les pelajaran tambahan! I mean, everyday les pelajaran tambahan dari jam 3 sore sampai jam 8 malam. Sad.
The uniform tells it all. What so called batik smansa, yang mungkin karena kualitas kain atau entah apa, pasti akan menipis dan rombeng setelah beberapa lama di pakai (but I have a strange feeling now that the more rombeng the shirt, the cooler you got) membuat saya merasa agak jumawa sebenarnya.
Yang paling menguntungkan, dan sebenarnya absurd adalah label. Yaps, ketika kita sebutkan bahwa sekolahnya di SMANSA Singaraja, hampir semua orang akan berasumsi bahwa kami anak pintar. Remember, asumsi! Of course not all of us adalah anak pintar. Termasuk saya. Saya cukup beruntung berada dalam lingkungan orang-orang pintar ini.
Saya tidak bisa berbagi photo keriuhan masa SMA, tetapi saya bisa berbagi cerita. Kenangan-kenangan ajaib dan absurd selama 3 tahun terbaik itu.
Terimakasih SMANSA Singaraja sudah memberikan sahabat-sahabat terbaik. Cerita-cerita absurd. Pola pikir ajaib dan bertahan hingga kini, membuat saya sangat bangga saat bercerita tentang masa SMA.
![]() |
The Epic Gedung Utama Sekolah Picture from: https://foursquare.com/v/smansa-singaraja/4c91f0514c19ef3bf45489e1?openPhotoId=4f9247a4e4b08038d70488aa |
Beberapa minggu belakangan, saya banyak mendengarkan. Berusaha menjadi tempat bercerita beberapa kawan yang sedang kesulitan. Berbagai masalah yang kadang asing, seperti masalah dengan pasangan, masalah dengan mertua/ipar, rekan kerja dan atasan yang menyebalkan, atau anak-anak yang beranjak remaja dan kelakuannya macan setan semua, atau bahkan masalah dengan diri sendiri.
Kadang-kadang saya agak takut, bukan takut karena cerita mereka, tetapi takut akan reaksi saya. Apakah saya harus ikut marah, sedih dan kecewa? Apakah saya harus memberikan mereka saran? Apakah saya seharusnya memberikan pendapat pribadi tentang situasi yang diceritakan? Takut kalau saya lakukan itu, malahan akan memberburuk situasi mereka? Atau malah kalau saya tidak melakukannya hubungan yang sudah fragile itu malah akan tambah porak poranda?
Cukup bersyukur pekerjaan saya cukup besar porsi tugasnya adalah mendengarkan. Terkadang untuk membantu mereka untuk mencari solusi atau bahkan memberikan solusi, sering juga memang mendengarkan saja. Berempati, memberikan pelukan di akhir hari. Meskipun pandemi ini membuat pelukan tak lagi menjadi hal yang membuat nyaman.
Maka, ketika kawan bercerita tentang masalah -masalahnya, most of the time saya tidak memberikan solusi apapun. Saya hanya bisa mendengarkan. Hanya itu yang bisa dilakukan. Membuka telinga dan hati selebar-lebarnya untuk menampung kesedihan, kemarahan dan kekecewaan mereka sebanyak-banyaknya.
Cukup senang kalau di akhir cerita mereka bisa menangis dengan lebih lega dan bercerita lebih lancar. Sangat senang ketika mereka merasa jauh lebih baik dan bahkan bersedia mencari bantuan profesional untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka. Dan paling senang karena pada akhirnya, saya belajar banyak dari cerita-cerita itu.
Saya menulis ini, kalau ada yang sedang merasa susah hati, belum bertemu kawan yang pas untuk dicurhatin, tetapi merasa sesak dan ingin melepas penat, ada beberapa hal yang hampir selalu saya katakan ketika ada teman yang curhat. Semoga membantu.
Well mungkin sebenarnya tidak menyelesaikan masalah, tetapi sering kali menangis membuat kita merasa jauh lebih lega. Beban di hati terangkat sedikit. Di kasus saya, menangis kadang membuat saya kelelahan lalu tidur dengan nyenyak.
Ada beberapa kawan yang bercerita, awalnya kesulitan menangis. Terutama mereka yang laki-laki. Saya sepenuhnya paham, kita terlahir di budaya yang sangat maskulin dimana menjadi laki-laki tidak boleh lemah. Dan menangis adalah salah satu indikasi kelemahan menurut sangat banyak budaya di dunia.
Padahal menangis itu melegakan! Beneran. Coba deh. Kalau malu menangis di depan orang lain, menangis sendiri juga ga masalah. Kalaupun tidak membuat lega, setidaknya membuat lelah dan bisa tidur sedikit lebih nyenyak. Dalam kondisi stress, tidur yang nyenyak adalah kemewahan.
Well, kalau berceritanya ke ibu saya, dia biasanya akan bilang gini "Hiiiihhhh, kalau istrinya kurang ajar gitu mending cerai aja kan kak!" atau dia bisa juga bilang gini "Hah? pacarnya jahat gitu? Ditinggal aja udah!" Saya ingin juga menjawab begitu. Tapiii, ini kan bukan tentang saya. Bukan saya yang menjalani.
Karena itu, saya selalu bilang "Cobalah untuk lewati beberapa hari ini dengan bertanya berulang-ulang pada dirimu sendiri, pertanyaan yang sama berulang-ulang, pertanyaan yang harus mampu kamu jawab sejujurnya" Daftar pertanyaan yg saya berikan kurang lebih begini:
Bukan bahagia yang instant, meskipun proses menuju kesana menyakitkan, tetapi kamu tau kalau kamu membuat keputusan yang kamu mau, dan membawamu dalam perjalanan menuju hal yang lebih membahagiakan. Baik dan buruk, tak melulu jadi perkara utama. Karena nyatanya semua orang punya ukuran-ukurannya masing-masing yang seringnya tak seragam. Ukuran bahagia saya belum tentu pas di ukuran bahagia kamu kan?
Jangankan ukuran bahagia, ukuran beha aja beda-beda.
Saya agak kaget, hah jadi udah segitu aja sedih dan marahnya?! Saya tanya apakah dia baik-baik saja. Dan jawabannya membuat saya sedih "Ya, saya kan harus selalu bersyukur dengan semua hal baik disekitar saya. Saya ga boleh marah dan sedih begini. Ga bersyukur banget kayaknya"
Hmmm, sepertinya ini yang dinamakan toxic positivity. Seberapa sering kalian melihat tulisan "positive vibes only" tadinya saya pikir juga begitu, bahwa kita harus selalu mensyukuri apa yang kita punya. Selalu bahagia. Tapiii, kan kita manusia.Tidak diciptakan untuk selalu positive vibes. Kadang sedih, marah, kecewa, ceria, bersemangat, ga mood. Boleh kan?
Ga mungkin manusia itu akan selalu bahagia. Atau selalu sehat. Pasti akan pernah sedih. Pasti akan pernah sakit. Entah sedih karena Tokyo (Money Heist) mati di tengah2 serbuan tentara. Atau flu masuk angin gegara begadang lembur jualan nasi jinggo smpe subuh.
Menurut psikolog saya setahun lalu ketika saya mencoba tegar sekuat batu karang "Saya tau kamu pasti kuat, tapiii, kamu harus memberikan kesempatan tubuh dan pikiranmu utk merasakan semua emosi yang kamu alami. Beri dirimu waktu untuk menikmati perjalanan emosi itu. Tujuan akhirnya, agar kamu lebih menghargai semua perjuangan yang kamu lalui. Agar kamu ingat, untuk menjadi sekuat ini, kamu melewati sangat banyak rintangan dan kamu berhasil" (duh, nulis ini jadi nangis)
Begitu juga menurut Gede Prama dalam tulisan-tulisannya, beliau sering berkata "Rasa sakit adalah berkah yang dibuang oleh begitu banyak orang" Dalam meditasinya dia menuntun proses meditasi dengan kata-kata "rasakan dimana rasa sakit itu berada, dimana dia berasa, peluk dan dekap rasa sakit itu erat-erat, agar dia merasa nyaman" Oh ya, saya sangat suka beliau.
![]() |
Source: https://unsplash.com/photos/nJupV3AOP-U?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink |
Beres urusan kartu kependudukan, rekening bank, dan sarapan chicken shwarma ditambah mango goose (masih ingat cerita absurd ini ditulisan sebelumnya? Ini link-nya: Mango Goose), saya 100% legal sebagai TKW di Oman.
Setelah musim liburan dan hotel mulai sepi, saya mulai fokus pada pekerjaan di HRD. Akhir tahun 2017, saya mulai memperhatikan detail data karyawan. Nama-nama mereka, posisi di masing-masing department, gaji dan benefit, masa kerja, rata-rata umur, dan tentu saja kewarganegaraannya.
Saat itu ada kurang lebih 16 kewarganegaraan berbeda yang bekerja di hotel atas gunung ini. Kalau di list negara-negara asal para karyawan adalah: Oman, Indonesia, Malaysia, Philipina, India, Srilanka, Bangladesh, Nepal, Maladewa, Selandia Baru, Inggris, Uzbekistan, Maroko, Tunisia, Kenya, Mesir. Setelahnya bertambah lagi warga negara lain seperti Kamerun, Australia, Iran dan Pakistan. Kami seperti sebuah miniatur perkampungan PBB di atas gunung di negeri antah berantah.
Ada 6 kewarganegaraan dalam foto ini: India, Srilanka, Oman, Inggris, Nepal, Indonesia |
Bahasa pemersatu kami tentu saja bahasa Inggris.
Setelahnya bahasa Hindi adalah bahasa terbanyak yang dipakai, baru kemudian bahasa Arab. Selain oleh orang India, bahasa Hindi juga menjadi pemersatu negara-negara asia selatan lainnya terutama Bangladesh dan Nepal. Beberapa orang Srilanka juga bisa bahasa Hindi. Tetapi anehnya, ada orang India yang tidak bisa bahasa Hindi! Mereka adalah kawan-kawan saya yang asalnya dari India Selatan, Kerala. Bahasa yang mereka pergunakan adalah Bahasa Malalayam atau kadang bahasa Telugu. Pikir saya "Oh, bahasa daerah kalau di Indonesia"
Sedangkan kalau Bahasa Arab, selain orang Oman, dipergunakan juga oleh mereka yang dari Maroko dan Tunisia. Tapiiii, ternyata bahasa Arab mereka beda-beda. Orang Oman sering bilang kalau bahasa Arabnya orang Maroko itu berbeda dialeknya. Sehingga kadang mereka juga saling tidak mengerti. "Wah-wah, ini semacam bahasa Melayu, serumpun tapi tak sama" kata saya.
Ketika kami sedang berkumpul dengan rekan-rekan senegara, tentu saja bahasa masing-masing menjadi primadona. Apalagi ketika saya dan mbak-mbak SPA yang 99% dari bali, full mebasa Bali. Lumayan sebagai penghilang kangen rumah.
Berbagai macam bangsa, berbagai macam bahasa, berbagai macam kebiasaan dan budaya juga. Nah kali ini saya ingin bercerita tentang hal-hal menarik perhatian saya ketika berkawan dengan mereka semua. Ini hanya berdasarkan observasi saya saja, tidak ada muatan SARA.
Di perusahaan kami juga termasuk, untuk bisa mempekerjakan orang asing, ada kuota pekerja Omani yang harus dipenuhi dulu baru bisa mengajukan visa kerja untuk warga negara lainnya.
Berkawan dengan orang-orang Omani, mengubah pandangan saya tentang orang Arab dan bahkan saudara muslim. Mereka orang-orang paling genuine yang saya temui. Lahir sebagai orang Bali yang diakui keramah tamahannya, rasanya masih kalah dengan keramahan dan kehangatan saudara-saudara saya di Oman. Ya, mereka menyebut kami para pekerja asing sebagai sister dan brother. Masih ingat kata-kata Ahmed, chief security yang juga pensiunan army, His Majesty Sultan Qaboos mengajarkan rakyatnya untuk selalu memperlakukan orang asing sebagai saudara sendiri. Ahmed bercerita bahwa petuah sang Sultan sangat jelas, mereka (orang asing) bukan tamu kita, melainkan mereka adalah saudara-saudara kita. Ah, meleleh hati ini.
Cerita ini tak akan saya percaya kalau hanya di mulut saja. Saya membuktikan sendiri. Bagaimana saya dijamu sampai kekenyangan dan disayang bak adik perempuan bungsu. Tak hanya di satu keluarga, setiap ke rumah teman Omani, siapapun, dimanapun, sama!
Sebagai perempuan, banyak kawan bilang hati-hati di negara Arab, nanti saya "diapa-apain". Tapi, tidak sekalipun saya merasa tidak aman selama di Oman. Tidak akan ada orang yang "suit-suiti" atau memandang dari atas kebawah kalau saya jalan sendiri atau jalan bersama teman perempuan lain.
Teman-teman di hotel lebih manis lagi. Suatu kali, jerawat saya sangat parah. Tiba-tiba Al Rashdi, salah satu driver, datang ke kantor membawakan saya cream anti alergi Sudocream. Kata dia "Madam, ini bagus untuk kulit sensitif, saya tanya sama petugas apotek, dia yang kasi saran" Saya bisa apa selain meleleh. Ya khaaan.
![]() |
Dari paling belakang: Hamed, Joy, Masood, Saya, Khalifa. Ketiganya adalah driver kesayangan kami |
Begitu pula hal-hal kecil tapi manis lainnya yang terlalu banyak untuk saya tulis. Mulai dari roti buatan istrinya yang dibawakan ke kantor dan harus saya coba. Mengantar dan menunggui saya di rumah sakit ketika saya terguling-guling dari tangga sampai kaki saya harus di gips, dan bahkan membelikan bahan-bahan masakan dari toko yang hanya ada di Muscat! Mereka Juara. Saya tidak melebih-lebihkan bahwa Omani kalau sudah mempercayai kita, akan melakukan nyaris segalanya dan akan siap sedia 24 jam untuk membantu kita!
Banyak orang Oman tidak berbahasa Inggris, tetapi lebih banyak yang mengerti. Mungkin karena setengah lebih penduduknya adalah expatriat, mau tidak mau mereka menjadi bisa paham, meskipun tak lancar dalam penggunaannya.
Kurang banyak sih yang lain, sampai sekarang menghitung satu sampai lima dalam bahasa Arab saja masil selalu lupa. Parah.
Budaya India sangat lekat dengan kehidupan kami di Oman. Nyaris semua stasiun hiburan di TV menayangkan acara hiburan India. Film Bollywood (Hiburan berbasis bahasa Hindi), Tollywood (Hiburan berbasis bahasa Telugu), dan Kollywood (hiburan berbasis bahasa Tamil). MTV yang di siarkan adalah MTV India. Makanan yang kami makan sehari-hari sebagian besar (nyaris 90%) berasal usul dari India. Jaringan toko emas terbesar dimiliki yang dibintang-iklani-i oleh Kareena Kapoor dimiliki oleh orang kaya India. Jaringan rumah sakit dan jaringan pasar swalayan terbesar juga milik pengusaha India.
Tak heran, bulan-bulan pertama di Oman saya masih suka bingung, ini benar saya bekerja di negara Arab atau jangan-jangan sebenarnya saya nyasar ke salah satu distrik di India. :)
Jangan lupakan bahasa tubuh. Goyangan leher utamanya. Sebenarnya tidak hanya untuk orang India. Hampir semua orang asia selatan memiliki bahasa tubuh yang sama. Goyangan leher ini mewakili banyak hal. Mulai dari persetujuan terhadap lawan bicara, ketidaksetujuan, paham mengerti, bingung dan tak paham, atau sekedar mendengarkan lawan bicara dengan seksama. Semua diwakili dengan gelengan kepala! Saya kadang tanpa sadar ikut geleng-geleng saat mereka melakukannya, kalau saya sadar, pasti saya buru-buru berhenti dan minta maaf. Bukan maksud menghina, tiba-tiba saya kepala saya goyang-goyang macam boneka tempel di dashboard mobil!
Dalam hal berbahasa Inggris, saya tadinya kira kalau Hindi adalah bahasa resmi mereka, ternyata tidak. Seperti yang saya ceritakan di paragraf awal, kalau ada orang dari Kerala ngobrol dengan orang dari New Delhi, kemungkinan besar mereka akan bicara dalam bahasa Inggris. Baru kali ini saya benar-benar paham dan bangga dengan sumpah pemuda, yang mengikrarkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa!
Oh, beberapa kejadian absurd yang saya alami ketika ngobrol dengan teman India karena perbedaan logat dalam bicara bahasa Inggris. Ketika saya bertanya tentang proses memasak nasi biryani. Kawan saya menjelaskan bumbu-bumbunya termasuk kata dia "claw will make the taste really good!" Saya kaget dan nganga claw kan artinya cakar/kuku, macam cakar beruang atau macan. Ini bikin nasi biryani atau ramuan untuk film Harry Potter?! Saya tanyakan sekali lagi apakah beneran pakai claw? bukannya itu menjijikkan. Kawan saya bilang "loh, kok menjijikkan, claw bikin badan jadi hangat. Makanya jadi campuran untuk banyak ramuan dan rokok!" Ahaaaaaa, barulah otak saya nyambung, yang dimaksud claw itu sebenarnya clove! Cengkeh!!!
Satu lagi, setelah kawan India tahu kalau saya punya pacar, dia bertanya pada saya "Winda, do you law him?" Alamaaak, apalagi ini, saya pacaran, bukan mau kepengadilan sampe bawa-bawa hukum (law) segala. Tapi berbekal pengalaman claw, saya tidak terkecoh, saya mikir dulu sebelum bereaksi. Ah, maksudnya "Winda do you love him?" Love = cinta, bukan Law = hukum. Arrrgghhhh!!!
![]() |
Kiri: Jose (Kerala); Kanan: Saj (New Delhi); keduanya punya bahasa ibu yang berbeda |
Nepal
Tahukah kalian kalau Nepal adalah salah satu negara yang tidak punya laut?
Saya tidak tahu apakah ini berhubungan atau tidak, tetapi kawan-kawan Nepali itu rata-rata tidak doyan ikan. Beneran deh. Segala sari laut mereka tidak bisa makan. Ikan, Udang, Kepiting, Cumi, Gurita, Kerang, buat mereka biota laut ini adalah makanan aneh dan dihindari sebisa mungkin.
Saya yang lahir besar di Bali, dengan hasil laut melimpah, ikan bakar dijual mulai dari restoran bintang lima sampai bakaran di pinggir jalan sangat tidak terima awalnya. Kok ya ada manusia tidak suka seafood. Padahal tidak alergi, ga masuk akal!
Jadi, lauk sehari-hari mereka hanyalah Mutton (daging domba), daging ayam dan kadang-kadang bakri (daging kambing). Mereka tidak makan daging sapi karena semua Nepali yang saya kenal beragama Hindu. Dan Hindu adalah agama terbesar di Nepal (81% dari total populasi). Saya sampai kepikiran, sedih sekali mereka, sedikit sekali pilihan lauk pauknya. Sementara kita punya sumber protein hewani yang sangat beragam. Makin bahagia jadi orang Indonesia.
Meski sangat dekat dengan saudara-saudara Nepali, saya tidak pernah sanggup ikut jamuan makan mereka. Terlalu pedas. Supeeeer pedaaasss!!!! Menurut saya, para Nepali adalah golongan penantang kepedasan tingkat dunia. Segala cabai segar, cabai kering, bubuk cabai, masuk semua dalam sepanci kecil curry yang mereka buat. Saya lelah. Kalau diundang makan malam oleh geng Nepali, saya bawa bekal sendiri. Awal-awal, mereka tersinggung, karena menurut mereka saya mengada-ada. Seharunya (berdasarkan pergaulan mereka sebelum-sebelumnya) orang Bali itu pecinta pedas seperti mereka. Setelah saya bercucuran air mata (dan air ludah) karena kepedasan, barulah mereka percaya dan melabeli saya "Fake Balinese" alias orang Bali abal-abal. Hahaha...
Geng Nepali juga adalah geng yang paling sering nongkrong dengan saya. Mereka sangat terbuka dan ramah. Mereka juga sangat bangga bercerita tentang keluarganya dan tanah kelahirannya. Makanya 2019 saya memutuskan ke Nepal bukan semata demi mengikuti jejak Dr Strange mencari Kamar Taj, tetapi karena penasaran dengan cerita-cerita geng Nepali.
![]() |
Sebagian dari Geng Nepali (dari kiri): Tomnath, Dhruba, Robin, Nilraj |
Tentu saja, perjalanannya penuh keabsurdan, tetapi kembali ke geng Nepali, mereka bahkan meminta beberapa anggota keluarganya untuk menjamu saya makan malam selama di Pokhara! Saya rindu sekali mereka. Padam, Nilraj, Robin, Dhruba, dan anak-anak lainnya.
Bangladesh
Hampir semua negara GCC tidak lagi menerima warga negara Bangladesh untuk bekerja di negara mereka. Entah apa alasannya saya kurang paham. Ada yang bilang karena reputasi pekerja Bangladeshi yang kurang baik, ada juga yang bilang alasannya politis.
Oman, masih menerima pekerja Bangladesh. Sayangnya, 99% dari mereka bekerja kasar dan di strata terbawah. Termasuk pekerja outsourcing yang dibayar sangat rendah. Dalam irisan pengalaman saya bekerja bersama, hanya pernah satu kali saja Bangladeshi yang menempati jabatan Assistant Department Head. Sisanya mereka pekerja kasar.
Mungkin ini erat kaitannya dengan tingkat kemiskinan yang tinggi dan tingkat pendidikan yang sangat rendah. Entahlah, saya harus research kembali. Tetapi sebagian besar karyawan Outsource Bangladeshi yang bekerja dengan saya tidak bisa Bahasa Inggris samasekali, agak lancar Hindi, sedikit Arabic. Bayangkan saja, bagaimana pusingnya saya harus bicara pada mereka. Yang cukup pintar berkomunikasi dengan mereka adalah kawan saya, Joy. Permasalahan muncul ketika Joy libur, mau tak mau saya harus komunikasi langsung pada mereka.
Percobaan Pertama
Seminggu tiba di Oman, saya minta tolong salah seorang tim housekeeping Bangladeshi, namanya Safayeet, untuk memindahkan lemari dari kamar tamu ke kamar utama di apartment. Saya menjelaskan dengan gambar layout kamar dan sketsa gambar lemari dan layout kamar. Dia mangut-mangut, semacam paham penjelasan saya. Karena tak yakin, saya panggil Padam, ketua geng Nepali untuk menjelaskan lagi dalam Hindi. Menurut Padam, Safayeet sudah beneran paham. Mafi Muskil lah.
Teknisnya, Safayeet akan melakukan pindahan lemari jam 6 sore, saya pulang ikut bis jam 9 malam, tinggal beberes baju. Eng Ing Eng, begitu sampai apartment, kaki saya lemas macam agar-agar karena kaget. Bukannya lemari yang pindah, tetapi kamar utama yang saya tempati kosong melompong! Dia pindahkan lemari, meja rias, dan kasur dari kamar utama ke kamar tamu! Bukannya menangis, saya tertawa terpingkal-pingkal.
Percobaan Kedua
Karena Joy libur dan saya sedang rapi-rapi kantor, saya perlu beberapa kardus. Saya pikir saya sudah lebih bisa ngobrol dengan Safayeet kan kami sudah bekerja lebih dari enam bulan. Jadi saya minta bantuan dia untuk mengambilkan beberapa dus kosong dari gudang. Saya beri tahu dia "take some empty mineral water boxes" saya juga tunjukkan ukuran kardus yang diperlukan. Beberapa menit kemudian, dia datang, menggotong sebuah kardus. Dengan keheranan saya lihat kardusnya, Astagfirullah yang dia bawa adalah satu kardus air mineral baru terisi penuh. Lagi-lagi saya terpingkal-pingkal dan Safayeet hanya garuk-garuk kepala. Mungkin dia kira saya gila, dibawakan air satu kardus bukannya terimakasih malah ngakak!
Terlepas dari miskomuniskasi yang menurut saya lawak, anak-anak Bangladeshi ini adalah orang-orang yang sangat manis. Saya sangat tahu kalau mereka sayang pada saya. Setiap kali saya bertemu mereka pasti menyapa dengan sangat kencang! Setiap pulang libur panjang saya pasti dapat pelukan erat mereka. Yang paling manis adalah, sampai sekarang, mereka tetap tidak pernah absen menanyakan kabar saya pada Issam. Setiap kali Issam datang ke hotel mereka pasti minta ditelponkan agar bisa menyapa saya. Ah, jadi baper.
![]() |
Bangladeshi yang mengurusi kantin, kecuali yg di belakang saya tanpa hairnet, Beliau adalah chef kantin, Ajaya (Kerala - India) |
Philipina
Suatu ketika di Airport, kali kedua saya mendarat di Oman, setelah visa kerja diterbitkan, melewati pertokoan duty free, seorang wanita memanggil-manggil "Kabayan, kabayan!". Saya tidak hiraukan, pasti bukan saya. Tapi cukup heran juga, jangan-jangan yang jaga orang Sunda, dan ada temannya bernama kabayan. Karena penasaran, saya masuk ke toko itu. Tapi pura-pura melihat-lihat makanan yang dijual.
Wanita itu (yang saya yakin adalah penjaga toko) menghampiri saya dan mencolek lengan saya sambil menyapa "Kabayan!" hah? Saya panik! Saya bukan kabayan, kalaupun salah mengenali sejak kapan ada perempuan bernama Kabayan? Setahu saya, Kabayan adalah nama tokoh laki-laki sunda yang diperankan Didi Petet di TV. Saya sontak menjawab dalam bahasa Indonesia "Maaf, saya bukan Kabayan." Langsung mbak penjaga toko yang belakangan saya tahu bernama Ana berkata "Oh sorry, i thought you are my Kabayan, my fellow Pinoy!" (Oh Maaf, saya kira kamu saudara sesama Filipina). Kamipun terpingkal-pingkal bersama begitu saya jelaskan tentang Kabayan dalam bahasa Indonesia. Sedangkan dalam bahasa mereka Kabayan berarti saudara senegara.
Ketika sudah bekerja, saya semacam diadopsi oleh geng Pinoy ini. Alasan awalnya adalah mereka makan babi! Sering masak babi! dan doyan Bali! Kesukaan saya adobo! Assisten sekaligus sahabat terbaik saya juga seorang Filipina, Joy.
![]() |
Kesayangan Juara 1: Joy! |
Di Oman, orang sering sekali mengira saya juga Pinoy. Jamak ceritanya saya di Mall langsung diajak ngobrol dalam bahasa Tagalog oleh petugas apotek atau penjaga toko. Menurut mereka wajah saya sangat Pinoy. Memang agak mirip sih, ketika Joy berkunjung ke Bali saja saya baru sadar dia sangat mirip Ibu! Orang-orang Filipina bekerja nyaris di semua bidang. Termasuk perhotelan, perawat, penjaga toko, customer service, petugas bandara, pramugari dan pramugara juga! Salut! Bahasa Inggris mereka juga sangat baik. Lebih baik daripada rata-rata orang Indonesia.
Tapiii, bukan berarti saya tidak pernah berkendala dalam berkomunikasi dengan mereka. Orang Filipina sangat sering (bahkan selalu) tertukar ketika melafalkan F, V, P, dan B! Okelah kalau F dan V, kita juga suka bingung karena mirip sekali, tetapi yang lain-lain itu loooohhhh....
Contoh yang membingungkan saya:
Pibe = five, saya kira maksudnya adalah Vibe
Mobing = moving, saya kira Mobing = gerakan beramai-ramai gitu
Brabe = brave, saya dengarnya Bribe = penyuapan
Lib = Live, saya bingung mencari artinya karena tak menyangka
Porebar = forever, saya kira nama sebuah Bar
Dalam pengucapan, mereka menucapkan O dengan sangat jelas. Mungkin seperti kita mengucapkan R dengan penuh getaran. Contoh
Impossible = dibaca Imposibol
Ball = dibaca Bol
People = dibaca Pepol
Dari kurang lebih 15++ kewarganegaraan di hotel, itu baru dari 5 negara yang saya ceritakan.
Belum lagi orang-orang Maroko dan Tunisia yang fasih berbicara dalam 3 bahasa internasional sekaligus yaitu Inggris, Perancis dan Arab. Membuat mereka menjadi "primadona" saya untuk di bagian-bagian yang banyak ngobrol dengan tamu. Oh, mereka yang saya kenal, baik laki-laki dan perempuan adalah penari perut yang hebat! Dan mereka tidak pernah sungkan untuk menari di setiap pesta! Semarak!
Ada juga para wanita dari Kenya dan Kamerun, yang dalam setiap kesempatan selalu menggunakan wig berbagai bentuk dan warna. Dan mereka sangat bangga. Belum lagi menggunakan daster dengan warna-warna cerah ketika sedang tidak bekerja. Meriah sekali!
Belum lagi ketika harus mengingat-ingat nama kawan-kawan yang berasal dari Srilanka.
Dalam perjalanan hidup saya yang singkat ini, orang-orang Srilanka adalah para pemilik nama terpanjang dan tersulit untuk saya ucapkan. Lidah keriting ketika melafalkan, otak kribo ketika mengingat.
Terbayang betapa gegar budayanya saya ketika harus memahami kebiasaan kebiasaan mereka semua. Apalagi bekerja di bagian HRD, selain paham, saya juga harus bisa berempaty pada mereka semua. Rasanya susah sekali di awal, bagaimana mau paham kalau bicara saja belum nyambung. Tetapi, pada akhirnya mereka yang membuatnya menjadi mudah. Mereka menerima saya seperti menerima keluarga sendiri. Ketika hati sudah terbuka, maka yang lain menjadi lebih mudah.
Sudah dulu ya, besok saya lanjut lagi hal-hal ajaib lainnya!
![]() |
Ini contohnya |
![]() |
Personal collection |
A Piece of Mind . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates