Ketika Sedang Bersedih, Coba Lakukan Hal-Hal Ini
Beberapa minggu belakangan, saya banyak mendengarkan. Berusaha menjadi tempat bercerita beberapa kawan yang sedang kesulitan. Berbagai masalah yang kadang asing, seperti masalah dengan pasangan, masalah dengan mertua/ipar, rekan kerja dan atasan yang menyebalkan, atau anak-anak yang beranjak remaja dan kelakuannya macan setan semua, atau bahkan masalah dengan diri sendiri.
Kadang-kadang saya agak takut, bukan takut karena cerita mereka, tetapi takut akan reaksi saya. Apakah saya harus ikut marah, sedih dan kecewa? Apakah saya harus memberikan mereka saran? Apakah saya seharusnya memberikan pendapat pribadi tentang situasi yang diceritakan? Takut kalau saya lakukan itu, malahan akan memberburuk situasi mereka? Atau malah kalau saya tidak melakukannya hubungan yang sudah fragile itu malah akan tambah porak poranda?
Cukup bersyukur pekerjaan saya cukup besar porsi tugasnya adalah mendengarkan. Terkadang untuk membantu mereka untuk mencari solusi atau bahkan memberikan solusi, sering juga memang mendengarkan saja. Berempati, memberikan pelukan di akhir hari. Meskipun pandemi ini membuat pelukan tak lagi menjadi hal yang membuat nyaman.
Maka, ketika kawan bercerita tentang masalah -masalahnya, most of the time saya tidak memberikan solusi apapun. Saya hanya bisa mendengarkan. Hanya itu yang bisa dilakukan. Membuka telinga dan hati selebar-lebarnya untuk menampung kesedihan, kemarahan dan kekecewaan mereka sebanyak-banyaknya.
Cukup senang kalau di akhir cerita mereka bisa menangis dengan lebih lega dan bercerita lebih lancar. Sangat senang ketika mereka merasa jauh lebih baik dan bahkan bersedia mencari bantuan profesional untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka. Dan paling senang karena pada akhirnya, saya belajar banyak dari cerita-cerita itu.
Saya menulis ini, kalau ada yang sedang merasa susah hati, belum bertemu kawan yang pas untuk dicurhatin, tetapi merasa sesak dan ingin melepas penat, ada beberapa hal yang hampir selalu saya katakan ketika ada teman yang curhat. Semoga membantu.
Well mungkin sebenarnya tidak menyelesaikan masalah, tetapi sering kali menangis membuat kita merasa jauh lebih lega. Beban di hati terangkat sedikit. Di kasus saya, menangis kadang membuat saya kelelahan lalu tidur dengan nyenyak.
Ada beberapa kawan yang bercerita, awalnya kesulitan menangis. Terutama mereka yang laki-laki. Saya sepenuhnya paham, kita terlahir di budaya yang sangat maskulin dimana menjadi laki-laki tidak boleh lemah. Dan menangis adalah salah satu indikasi kelemahan menurut sangat banyak budaya di dunia.
Padahal menangis itu melegakan! Beneran. Coba deh. Kalau malu menangis di depan orang lain, menangis sendiri juga ga masalah. Kalaupun tidak membuat lega, setidaknya membuat lelah dan bisa tidur sedikit lebih nyenyak. Dalam kondisi stress, tidur yang nyenyak adalah kemewahan.
Well, kalau berceritanya ke ibu saya, dia biasanya akan bilang gini "Hiiiihhhh, kalau istrinya kurang ajar gitu mending cerai aja kan kak!" atau dia bisa juga bilang gini "Hah? pacarnya jahat gitu? Ditinggal aja udah!" Saya ingin juga menjawab begitu. Tapiii, ini kan bukan tentang saya. Bukan saya yang menjalani.
Karena itu, saya selalu bilang "Cobalah untuk lewati beberapa hari ini dengan bertanya berulang-ulang pada dirimu sendiri, pertanyaan yang sama berulang-ulang, pertanyaan yang harus mampu kamu jawab sejujurnya" Daftar pertanyaan yg saya berikan kurang lebih begini:
Bukan bahagia yang instant, meskipun proses menuju kesana menyakitkan, tetapi kamu tau kalau kamu membuat keputusan yang kamu mau, dan membawamu dalam perjalanan menuju hal yang lebih membahagiakan. Baik dan buruk, tak melulu jadi perkara utama. Karena nyatanya semua orang punya ukuran-ukurannya masing-masing yang seringnya tak seragam. Ukuran bahagia saya belum tentu pas di ukuran bahagia kamu kan?
Jangankan ukuran bahagia, ukuran beha aja beda-beda.
Saya agak kaget, hah jadi udah segitu aja sedih dan marahnya?! Saya tanya apakah dia baik-baik saja. Dan jawabannya membuat saya sedih "Ya, saya kan harus selalu bersyukur dengan semua hal baik disekitar saya. Saya ga boleh marah dan sedih begini. Ga bersyukur banget kayaknya"
Hmmm, sepertinya ini yang dinamakan toxic positivity. Seberapa sering kalian melihat tulisan "positive vibes only" tadinya saya pikir juga begitu, bahwa kita harus selalu mensyukuri apa yang kita punya. Selalu bahagia. Tapiii, kan kita manusia.Tidak diciptakan untuk selalu positive vibes. Kadang sedih, marah, kecewa, ceria, bersemangat, ga mood. Boleh kan?
Ga mungkin manusia itu akan selalu bahagia. Atau selalu sehat. Pasti akan pernah sedih. Pasti akan pernah sakit. Entah sedih karena Tokyo (Money Heist) mati di tengah2 serbuan tentara. Atau flu masuk angin gegara begadang lembur jualan nasi jinggo smpe subuh.
Menurut psikolog saya setahun lalu ketika saya mencoba tegar sekuat batu karang "Saya tau kamu pasti kuat, tapiii, kamu harus memberikan kesempatan tubuh dan pikiranmu utk merasakan semua emosi yang kamu alami. Beri dirimu waktu untuk menikmati perjalanan emosi itu. Tujuan akhirnya, agar kamu lebih menghargai semua perjuangan yang kamu lalui. Agar kamu ingat, untuk menjadi sekuat ini, kamu melewati sangat banyak rintangan dan kamu berhasil" (duh, nulis ini jadi nangis)
Begitu juga menurut Gede Prama dalam tulisan-tulisannya, beliau sering berkata "Rasa sakit adalah berkah yang dibuang oleh begitu banyak orang" Dalam meditasinya dia menuntun proses meditasi dengan kata-kata "rasakan dimana rasa sakit itu berada, dimana dia berasa, peluk dan dekap rasa sakit itu erat-erat, agar dia merasa nyaman" Oh ya, saya sangat suka beliau.
![]() |
Source: https://unsplash.com/photos/nJupV3AOP-U?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink |