Sering ditanyain seperti judul di atas?
Atau jangan-jangan kalian yang suka bertanya seperti itu pada orang lain?


Ya elah sob, jangankan saya yang makan dan bernapas, jemuran basah ditinggal seharian saja berubah jadi kering kok! Berubah itu pasti.

Karena pada hakikatnya, segala hal pasti berubah (kecuali cintaku padamu... eeaaa!). Kata orang bijaksana, tiada yang abadi di muka bumi ini kecuali perubahan!

Waktu pulang ke Bali bulan lalu, banyak sekali kawan, sahabat dan kerabat bilang saya berubah. Mulai dari bilang tambah feminim, tambah cantik, tambah gendut, tambah dewasa, sampai tambah hitam dan tambah banyak jerawatnya! Seriusan! Saking perhatiannya sama saya, saya saja tidak pernah menghitung jumlah jerawat saya, mereka dengan baik hati bersusah payah hitungin saya punya jerawat. Emejing!

Tapi bukan salah mereka yang bertanya kalau saya berubah, saya sendiri juga menyadari kalau banyak hal berubah dari diri saya. Saya bukan tipe yang bilang "engga kok, saya masih seperti dulu, ga ada yang berubah". Saya orang yang akan dengan bangga bilang "iya, saya berubah. Menyelaraskan diri dengan perubahan disekeliling". Berat ini bahasanya.

Tapi, tulisan ini bukan tulisan berat kok, ini adalah cerita saya, setelah dua tahun tinggal di Oman ada beberapa perubahan sangat besar yang saya rasakan dan alami. Banyak yang saya rasa baik, tapi ada juga sih yang tidak baik.

1. Bisa Masak!
Kata Mbak Rina (sahabat super galak saya), yang tau saya dari jaman piyik, saya bisa masak itu mungkin bisa menjadi salah satu daftar keajaiban dunia yang sangat tidak penting.

Bayangkan ya, saya awal-awal datang ke Oman bahkan gagal masak telur rebus! Saking bodohnya, telur rebus saya pecah dan air rebusannya mleber-mleber sampai ke lantai. Ini ada saksinya! Sang saksi mata sampai bilang "Mbak, masa rebus telur aja ga bisa sih! Tau gitu mbak ga usah bantuin, malah makin berantakan!"

Boleh juga tanya adik saya si Esa, masak mi instant pakai telur, saya whatsapp dia dulu. Karena kan dia jagoannya mi instant. Masih urusan mi instant, jaman neolitikum itu, kalau ga kebanyakan air, pasti terlalu lama direbus, atau terlalu sebentar di rebus. Pokoknya bikin mi instant juga gatot. Tapi tidak separah Nia Ramadhani, saya tau cara kupas bermacam-macam buah termasuk salak, nangka, durian, dll!

Sampai akhirnya karena saking kangennya masakan rumah dan tak sanggup lagi makan dal dan curry saya turun berat badan 10 kilo dan saya sedih. Dari situ saya mulai belajar masak. Masakan pertama saya, masakan paling gampang sejagat raya, ayam bawang! Itupun beli ayam yang sudah di goreng di warung makan India dekat POM Bensin, lalu di rumah tinggal iris-iris bawang merah, serai, secuil terasi, garam, di uwek-uwek sedikit lalu goreng dengan ayam yang sudah disuir! Hasilnya, ya howoooohhh, enak kali!

Dari sana saya mulai belajar masak. Minta resep teman, video call sama Wika (waktu bikin sop ayam), video call sama Ibu (waktu bikin soto ayam), belajar dari Youtube, dan yang paling saya suka adalah belajar dari IG accountnya @tastemadeindonesia.

Sekarang, saya boleh sedikit bangga sudah bisa masak beberapa jenis masakan. Mulai dari masakan segampang lalapan dengan sambal tomat, bubur manado, soto ayam, perkedel kentang, udang goreng mentega, pindang, sampai masakan seribet beef pho yang memasaknya perlu waktu 8 jam!

Lalapan ala Jabal Akhdar

Beef Pho yang masaknya perlu 8 jam


Dengan kemampuan saya yang baru ini, semakin saya yakin mewujudkan cita-cita jangka panjang saya yaitu jualan sate plecing babi di flores! Ha!
Sate babi, tinggal belajar bumbu plecing


2. Bisa Hidup Tanpa Punya Mobil dan Motor!
Di Indonesia, terutama di Bali, kalau tidak punya motor rasanya seperti kehilangan separuh nyawa. Lebay sepertinya, tapi coba perhatikan, nyaris semua orang Bali punya motor. Karena kemana-mana gampang. Ke warung depan rumah, indomaret seberang jalan, beli air galon, ke kantor, nongkrong di pantai, pulang kampung, interview kerjaan baru, semuanya gampil tinggal sreeett naik motor.

Begitu juga dengan mobil. Kalau perjalanannya jauh, atau rame-rame tinggal naik mobil. Punya kendaraan sendiri enaknya adalah kita bisa flexibel waktu, tidak tergantung orang lain, pokoknya gampang dan tidak ribet. Waktu itu tidak terbayang rasanya kalau saya tidak punya kendaraan, terutama motor.

Begitu pindah ke Oman, jangankan motor, sepeda saja saya tiada punya. Awalnya sempat bingung juga. Kalau ke kantor sih tinggal naik bus jemputan, tapi bagaimana kalau mau ke warung depan? Kalau mau ke Muscat nonton bioskop? Atau ke Nizwa belanja bulanan?

Eh ternyata bisa. Itu dia, manusia berubah. Menyelaraskan diri dengan sekitar, kalau tidak mau berubah ya akan tumbang sendiri. Ke warung depan tinggal jalan kaki, ternyata menyenangkan, sambil lihat sunset kadang-kadang. Ke Nizwa, ya harus ngikut jadwal bus yang disediakan kantor. Belanja bulanannya harus benar-benar dicatat, agar tidak ada yang kelewatan. Kalau kelewatan kan susah, masa iya jalan kaki ke Nizwa, ya kali saya atlet marathon kaaannn. Pun ke Muscat, pintar-pintar cari tebengan. Ternyata saya baik-baik saja.

Pada merekalah saya menggantungkan nasib kalau mau kemana-mana


Memang sih tidak sesering dulu nonton bioskop, palingan wajib nonton kalau filmnya super mega box office macam avenger, tapi kan sekarang ada netflix, ya saya baik-baik saja. Oh iya, gegara banyak waktu luang karena jarang nongkrong, saya jadi receh, suka nontonin youtube chanel Raditya Dika yang paranormal experience. Memang samasekali tidak berfaedah sih. Hahaha...

Balik lagi ke urusan tanpa motor dan mobil, bahkan tanpa kendaraan umum, karena saya tinggal di ujung dunia. Saya jadi lebih tepat waktu, kan harus menyesuaikan dengat jadwal jemputan. Kalau telat ya ditinggal, tidak bisa seenaknya molor-molor macam di Bali, ah lima menit lagi deh, toh naik motor ini tinggal ngebut dikit. Disini molor lima menit akibatnya telat ngantor atau ga makan nasi karena ditinggal bis untuk belanja bulanan.

Perubahan yang baik kan?!

3. Suka Pakai Rok!
Semasa di Bali, default saya (dan sebagian besar orang di Bali) adalah kaos, celana pendek, sendal jepit. Kecuali ke kantor, atau kondangan baru berubah lebih formal. Sisanya ya begitu. Ke mall, pantai, bank, makan siang, ke dokter, semua rata. (Eh, atau ini hanya saya saja?)
Default di Bali: Kaos, Celana Pendel, Sendal Jepit


Begitu pindah ke Oman, negara timur tengah, kan tidak mungkin ya cara berpakaiannya sama seperti di Bali. Selain nanti saya bisa dipelototin orang sekampung dan yang paling penting sepertinya kurang ajar sekali tidak mnghormati budaya mereka.

Pilihannya tinggal celana panjang atau rok minimal selutut. Setelah mencoba keduanya, saya memutuskan rok! Ternyata pakai rok tidak seribet yang dibayangkan, malahan adem dan semriwing. Hahahaha... Dan menurut saya, saya menjadi terlihat lebih pas kalau pakai rok, lebih manis :)

Koleksi rok saya sekarang macam-macam, dari selutut, sebetis, sampai semata kaki. Dari roknya orang India, batik, linen, katun. Nyaris segala warna (belum punya kuning dan ungu sepertinya) dan berbagai bentuk.

Nih, beberapa rok kesukaan saya








Menurut saya, yang paling menyenangkan dari rok adalah, atasnya tinggal pakai kaos sudah langsung on. Dan menutupi jiwa kegembelan saya. Terlihat formal dan modis sekaligus.

Setelah saya merombak penampilan dengan rok ini, banyak kawan saya berkomentar begini kurang lebih "Wah, Winda sekarang feminim ya pakai rok" atau ada juga yang menyebalkan macam ini "Oh, ternyata kamu perempuan ya, bisa pakai rok" untung saya bukan feminis garis hardcore, pengen kucucuk itu muncungnya. Memang salah apa mau pakai rok atau celana, suka-suka kan. Bukan situ yang belikan. Kok jadi emosi malahan.


4. Sangat Sedikit Membaca & Menulis
Ini perubahan yang tak patut dicontoh. Saya maunya mencari-cari alasan, sok sibuk, sok kurang bahan, sok kurang ide. Padahal alasannya hanya satu, kemalasan saya yang tiada bertepi!

Alasan jadi-jadian kurang membaca karena bekal buku dari Indonesia sudah habis terbaca. Sementara kalau membaca buku bahasa inggris terlalu malas untuk otak saya yang bebal ini. Begitu juga kindle, kan novel-novel yang ada versi kindle nyaris semua novel berbahasa inggris. Ini contoh buruk yang tak patut ditiru.

Alasan kurang ajar tidak banyak menulis adalah karena kurang ide. Aslinya, karena otak saya mulai bebal. Kurang kritis akhir-akhir ini. Terlalu nyaman dalam gelembung saya sendiri dan lupa kalau dunia ini berputar dan segalanya berubah. Itu tadi, saya bebal.

Memang benar kalau kemampuan menulis itu berbanding lurus dengan frekuensi membaca. Terbukti kok di saya, saat saya banyak membaca, tulisan saya juga banyak. Bahasa kerennya saya banyak terilhami menulis dari banyaknya buku yang saya baca.
Harta Karun yang saya selalu rindukan


Jadi, bagian ini saya harus kembali ke awal! Harus banyak-banyak membaca jadi bisa lebih rutin menulis!

5. Jauh Lebih Santai Menjalani Hidup
Perubahan ini saya rasa karena dua hal besar yang terjadi di hidup saya. Pindah ke negeri antah berantah yang super jauh dari zona nyaman saya dan berpisah dari hubungan yang sangat lama yang juga menjadi zona luar biasa nyaman saya.

Awalnya berat sekali. Rasanya semua pegangan yang selama ini saya punya dan saya yakini hilang. Puitisnya, macam terombang ambing di lautan, tengah malam, tidak ada mercusuar. Ngeri kali lah pokoknya.

Perasaan gamang ini saya alami cukup lama. Berbulan-bulan. Mempertanyakan setiap keputusan yang saya ambil. Mulai dari kenapa saya begitu bodoh menerima pekerjaan di Oman ini. Padahal di Bali saya punya karir yang sedang bagus-bagusnya, keluarga yang luar biasa hebat, teman-teman terbaik semuanya di Bali.

Mempertanyakan apakah keputusan saya untuk berpisah dengan hubungan sebelas tahun itu adalah keputusan terburuk karena mungkin saya tidak mendengarkan kata hati dan terlalu berlogika. Apakah saya menghancurkan hidup saya sendiri, apakah saya membuang hal terbaik dalam hidup. Pertanyaan-pertanyaan ini membuat saya makin kacau.

Tetapi, seperti kata orang bijaksana, waktu yang menyembuhkan. Waktu yang menjawab. Seiring dengan perubahan besar ini, mulai muncul penyesuaian-penyesuan kecil yang tanpa saya sadari membuat saya menjadi lebih santai, lebih ikhlas.

Ketika saya kangen masakan ibu, saya tidak lagi menangis, tetapi memasak. Ketika saya rindu kawan saya yang di Bali, saya ngobrol sampai larut malam dengan mereka lewat whatsapp, dan saya tersadar siapa yang ternyata teman yang benar-benar membuat saya nyaman.

Ketika saya menulis ini, saya ada pada kesadaran bahwa pada akhirnya kita yang menciptakan kebahagian itu. Happiness is a state of mind. And to reach that point, yang saya lakukan adalah berubah. Menyelaraskan diri dan hati dengan sekitar.

Selamat mengalami perubahan :)