"Enak ya jadi kamu Win, kerja kantoran, tiap weekend libur."
"Seneng kayaknya jadi HR, kerjanya di dalam kantor, duduk nyaman dan ber-AC"
"Pengen deh kayak kamu, engga punya tanggungan jadi bisa bebas nikmatin hidup"
"Coba aku ga punya anak, bisa deh banyak-banyak traveling kayak kamu" 

Dan masih banyak komentar-komentar random lainnya yang saya dengar belakangan ini. Oh dan satu yang paling random (21++ only) gini "enak kali ya punya pacar Arab, tititnya pasti gede." sumpah ini beneran dan lumayan sering. Terutama dari mamak-mamak kepo. Ini termasuk komentar seksis ga sih?

Hari ini (mungkin karena agak gabut) saya banyak memikirkan komentar-komentar itu. Well, sepertinya pencitraan saya lumayan berhasil. Buktinya image yang diterima oleh teman-teman adalah - hidupnya Winda enak banget. Yah, memang lumayan enak sih. I mean, sekarang saya lumayan bisa menikmati. Sebenarnya sangat menikmati. Rasanya hidup saya belakangan baik-baik saja.

Pertanyaannya adalah, yakin mau jadi Winda? Mungkin apa yang saya bagikan di media sosial ya memang bagian yang bagus-bagusnya saja. Masa iya busuk-busuknya ditunjukkan juga? Tuhan saja berusaha menutupi aib umatnya, ya masa iya kita umbar aib sendiri?

Saya juga sering kok ingin menjadi orang lain. Mereka yang nampaknya lebih menyenangkan hidupnya.

Suatu kali pernah pengen seperti kawan sma Mbak Gemoy yang pacarnya bule, soalnya kayaknya klo pacaran sama bule ga ribet sama urusan keluarga macam kita yang Asia. Tapi mau gimana, jatahnya ketemu si Arab. Ga bisa tukar tambah dong ya.

Pernah pengen punya orang tua kaya raya dengan warisan kebun cengkeh berhektar-hektar, jadi tidak perlu cemas menabung untuk hari tua, tinggal menikmati hasil kebun. Tapi kan tidak bisa memilih lahir dari orang tua mana ya. Kalau boleh milih mah, minta biar jadi Rafatar aja. Tapi setelah dilihat-lihat Pak Wir dan Bu Wir sih lumayan juga jadi orang tua. Biarpun engga kaya raya mereka sangat terbuka. Engga ribet anak-anaknya belum pada menikah, pacaran dengan berbagai macam ras, suku, agama, dan budaya. Amalan pancasila banget di rumah.

Pernah juga ingin seperti teman lain yang suaminya pejabat pemerintah. Sepertinya menyenangkan jadi ibu pejabat. Engga usah kerja ngejar karir (padahalnya yg kita kejar kan duit ya, bukan karir). Tapi kan orang engga baru kerja udah langsung jadi pejabat (kecuali kalian anak atau mantu jendral dan presiden. Ehh...) mereka pasti saling mendukung dari belum jadi orang. Sekarang pas sudah enak saja kita baru iri. Kemarin-kemarin kemana aja pas mereka susah. Engga lihat.

Pengen juga bisa traveling gratisan tanpa keluar duit dan mengais cuti macam para travel blogger itu. Rasanya living the dream banget ga sih bisa ke banyak negara, ambil foto-foto dengan filter cantik, bikin reels estetik, IGS lucu dan menarik, tanpa harus bangkrut dan pailit. Sampai akhirnya kenal sama beberapa influencer ini, yah selama jalan-jalan itu mereka harus mikir konsep, program, caption,dan segala-gala. Belum lagi tanggung jawab statistik engagement sosmed dan angka-angka ke sponsor. Mana systemnya barter pula, engga di bayar. Tabungan ga bisa ditambah dengan barter bund. Namanya kerja dimana-mana berat ternyata.

Bahkan pernah iri dengan teman yang dapat beasiswa LPDP ke Luar Negeri. Nampak sangat keren dan intelek kuliahnya di Sorbone, atau di Harvard, atau di Oxford. Kayak instantly menjadi golongan manusia terhormat. Apalagi bisa kaya Maudy Ayunda yang LPDP plus plus. Plus dapat suami Oppa, plus pulang-pulang dah jadi Jubir presiden untuk G20. Mbak kantoran ini mengiler. Lalu sadar kemampuan (atau lebih ke ketidakmampuan diri) yang kalaupun lolos LPDP takutnya di DO karena agak lambat otaknya dan akhirnya menjadi beban wajib pajak yang budiman.

Kalau mau membandingkan hidup sendiri dengan orang lain memang tidak akan pernah ada habisnya.  Dan sayangnya hidup mereka entah kenapa selalu terlihat lebih indah. Sekarang baru paham kenapa pepatah "Rumput Tetangga Selalu Terlihat Lebih Hijau" sudah diajarkan sejak jaman SD. Karena baru terasa iri dengkinya ya setelah gede ini.

Memang lebih mudah mengeluh daripada bersyukur. Lebih mudah melihat kekurangan-kekurangan yang nampak besar daripada mensyukuri kebahagiaan-kebahagiaan kecil dalam hidup. 

Winda juga pengen menikah, sesekali agak sedikit pengen punya anak, pengen ke sangat banyak negara, pengen beli semua illustrated booknya Harry Potter, beli batu-batu permata biar macam Thanos, dan punya kebun durian berhektar-hektar. Winda juga terkadang ingin menjadi orang lain. Berkhayal seaindainya keputusan-keputusan berbeda diambil dulunya. Semua orang pernah seperti Winda.

Sekarang jauh lebih jarang menghayal demikian. Menyadari ketika menginginkan menjadi orang lain rasanya melelahkan. Membuat semakin tidak sayang diri sendiri. Hidup yang sebenarnya biasa saja menjadi malah penuh beban berat. Jadi memutuskan menikmati saja.

Menikmati menjadi mbak-mbak Bali umur 34 belum menikah dan belum punya anak, pacaran LDR, applikasi KPR masih ditolak, kemana-mana naik motor karena engga punya mobil, weekend lebih banyak sendiri karena jumlah teman yang sangat terbatas, gaji bulanan dibagi-bagi untuk bayar hutang juga. 

Hidup itu memang harus ada masalah.
Kalau terlalu baik-baik saja nantai malah curiga, ini masih hidup atau sudah mati.
Nia Ramadhani aja pernah masuk penjara. Bersukurlah kita masih cukup bayar cicilan koperasi tiap bulan.

Photo by dominik hofbauer on Unsplash