Apa yang kalian pikirkan ketika ada teman atau saudara yang bekerja di bagian HRD? 

Apakah kalian langsung membayangkan ibu-ibu dengan sepatu pantovel warna hitam memakai setelan kantor lengkap dengan jas dan berkacamata melorot sampai hidung sedang bekerja di depan layar komputer?

Atau langsung teringat cerita-cerita mengerikan kalau dipanggil oleh HRD artinya adalah surat peringatan untuk segala pelanggaran yang dilakukan karyawan atau malah ngeri karena HRD identik dengan urusan pecat memecat karyawan? Hiiii

Ada juga jangan-jangan yang cuma kepikiran HRD kalau sedang ingin validasi slip gaji dan surat keterangan kerja untuk mengajukan kartu kredit dan pinjaman di bank?

Memang tidak salah sih, hal-hal itu adalah sebagian kecil dari tugas hari-hari kami di HRD. Sama seperti pekerjaan lainnya, ada beberapa hal lagi yang harus kami kerjakan setiap hari selain tugas-tugas itu. Tapi pernah terbayang tidak hal-hal ajaib yang juga sering kami alami? 

Beberapa cerita ini saya alami sendiri setelah beberapa tahun bekerja di department ajaib ini. Anggap ini part 1 ya, siapa tau nanti ada niat menulis lagi part 2.

Sumber foto: https://unsplash.com/photos/ZoGOw9WYMtQ



1. Kalau lupa PIN ATM, telpon HRD!
Di Indonesia, bank untuk proses pembayaran gaji biasanya ditentukan oleh masing-masing perusahaan. Awal masuk kerja biasanya karyawan sudah diminta membuat tabungan di bank bersangkutan. Bahkan untuk mempermudah prosesnya, form pengajuan pembukaan rekening sudah disediakan di HRD, karyawan tinggal mengisi, kumpulkan kembali di HRD dan bank akan mengambil langsung ke perusahaan. Bahkan untuk proses penggajian, setoran awal ditiadakan. Benar-benar untuk memudahkan para karyawan.

Mungkin karena dalam proses ini karyawan nyaris tidak berurusan dengan pihak bank, mereka merasa kalau HRD adalah juga perwakilan bank yang paham segalanya. Dan terjadilah pertanyaan-pertanyaan ajaib itu.

Suatu ketika, seorang karyawan telpon saya, setelah saya angkat, suaranya panik! Kata dia "Ibu, saya lupa pin ATM saya. Sekarang saya tidak bisa ambil uang samasekali! Saya harus apa?!" Saya tidak kalah syok, lah ngapa juga saya yang ditelpon? Memangnya saya ahli nujum yang tau sampai pin ATM dia segala? Sukurnya saya sudah paham yang begini-begini, pelan-pelan saya tenangkan dia dan suruh dia telpon call center bank langsung. Percaya ga, mostly mereka akan langsung tanya "Ibu ada nomor call centernya?" Kalau saya sedang waras saya biasanya akan beri tahu langsung, tapi kalau saya sedang mumet sy bilang "Handphone bisa akses internet? Cari sana di Internet!"

Belum lagi kalau kartu ATM tertelan mesin. Duuh, paniknya mereka lebih-lebih dan lagi-lagi yang di telpon adalah kami di HRD. 

Memang tidak semua karyawan macam begini. Jauh lebih banyak yang sudah paham kalau urusan ATM, Pin, tarik uang dan sebangsanya ya langsung urusan sama bank saja. Tetapi tidak semua karyawan memiliki pemahaman yang sama kan. Banyak juga yang masih gagap teknologi. Jangankan menggunakan mobile banking, ke ATM saja harus ditemani.

2. Hah, Keluarin di dalam?! Minta tolong HRD!
Part ini khusus untuk usia 21++
Sayangnya cerita ini teramat sangat sering terjadi.
Tiba-tiba karyawan perempuan, masih muda, biasanya baru saja lulus kuliah dan bergabung belum genap setahun dengan perusahaan, datang ke kantor saya dengan mata sembab dan suara bergetar. Ceritanya kurang lebih akan seperti ini "Bu, saya telat. Saya dan pacar kebablasan."

Kalau sudah begini, naluri pertama saya biasanya geregetan pengen ngomel! Kenapa bodoh sekaliiii??? Kenapa ga pakai kondom??? Itu lho di Indomaret di setiap tikungan jual kondom! Banyak toko yang buka 24 jam juga jual kondom! Hiiiihhhh!!! Sukurnya, saya selalu sadar, kalau saya marah-marah si karyawan akan tambah stress dan situasi akan tambah rumit! Apalagi kalau sampai adegan menangisnya sampai heboh.

Inhale... Exhale...
Pertanyaan pembuka saya biasanya "Pacarmu sudah tahu? Orang Tuamu sudah tau?" yang bikin sedih, mereka takut bicara dengan orangtuanya. Karena perasaan bersalah, karena takut diamuk orang tua, karena bingung harus memulai dari mana.

Situasi ini saya tidak bisa benar-benar membantu sebenarnya. Cukup mendengarkan dan menyemangati mereka untuk sesegera mungkin bicara dengan orang tuanya. Meyakinkan mereka bahwa meski semarah apapun, namanya orang tua pasti akan menerima dan mereka akan tetap menyayangi anak-anaknya.

Dari pengalaman ini, saya sebenarnya ingin sekali memberikan sex education untuk karyawan-karyawan saya yang masih muda belia. Masa depan mereka masih terbentang luas, kalau memang mereka siap menikah ya tidak masalah, menjadi masalah ketika mereka samasekali tidak siap dan malah menyesali keputusan menikah!

Hey ladies, bawa kondom sendiri!Dan kalau pacarmu beli kondom saja tidak sanggup, coba pikir-pikir lagi kalau mau serius dengan dia.

3. Yang berhutang siapa, yang di teror debt collector HRD!
Telpon di meja saya berdering, ternyata dari anak telpon operator. Takut-takut dia sampaikan ke saya kalau ada bapak-bapak marah-marah dan berkata-kata kasar, mencari salah seorang karyawan kami dan sudah telpon berkali-kali.

Setelah sambungan telpon di transfer ke saya, benarlah bapak-bapak ini mencari salah satu karyawan. Tak hanya berkata kasar, dia juga mengancam saya dan perusahaan. Segala jenis marga satwa disebutkan. Saya coba bicara baik-baik sampai saya juga terpancing emosi.

Kejadian ini terjadi berturut-turut selama beberapa hari. Karyawan bersangkutan juga sudah saya panggil beserta atasannya agar dia segera menyelesaikan urusannya dan tidak mencampur adukkan urusan pekerjaan dan urusan pribadi. Karyawan saya menangis, menjelaskan kondisinya, berjanji akan membereskannya.

Tenang beberapa hari, teror ini kembali mucul.
Telpon tak henti-henti, sampai-sampai tim saya di HRD terpancing ikut memaki-maki debt collector di telpon. Anak-anak operator juga menjadi korban, pada akhirnya saya suruh setiap kali telpon ini muncul agar disambungkan ke meja saya saja.

Strategi saya sangat sederhana, telpon saya angkat, lalu saya letakkan begitu saya. Tidak saya tutup, karena pasti akan di telpon lagi, lalu saya akan lanjutkan pekerjaan. Beberapa kali saya cukup iseng dan saya dengarkan ancamannya. Tak jauh-jauh dari kekerasanlah. Yang paling lucu ancaman macam ini "Ibu jangan main-main dengan saya dan menyembunyikan karyawan ibu ya! Saya sudah tau dimana anak-anak ibu bersekolah!" Ya ampuuunnn, kurang riset sih ini debt collector. Jangankan anak, kucing saja saya tidak punya!

Jaman itu, belum ada pinjol (pinjaman online) seperti sekarang. Data-data yang dimiliki lintah darat tidak sampai bisa mengakses daftar kontak di handphone peminjam uang. Pun dengan perusahaan, biasanya nomor telpon yang mereka dapatkan hanya nomor telpon yang dituliskan di laman website perusahaan. 

Perlu juga ya sepertinya di perusahaan diberikan training tentang mengatur keuangan dan menghindari pinjaman-pinjaman yang berbunga tinggi dan menjerat peminjamnya.

4. Ormas meneror perusahaan minta sumbangan? Suruh HRD yang hadapi!
Ada masa ketika ormas menjamur di Indonesia. Bukan hanya FPI. Segala macam front, laskar, paguyuban, persatuan, dan entah apalagi namaya.

Kebijakan di perusahaan saat itu adalah tidak menerima sumbangan dalam bentuk apapun kecuali atas rekomendasi dari kepala desa atau dari lembaga resmi pemerintah. Kalau misalnya permohonan sumbangan datangnya dari organisasi pemuda resmi milik desa untuk kompetisi futsal pasti kami tindak lanjuti. Pun proposal sumbangan dari PMI pasti kami segerakan. Tapi jika permintaan itu datang dari Ormas, sudah pasti tidak bisa bantu.

Paham dong apa yang akan terjadi?
Oknum yang mengatasnamakan ormas ini tidak terima.
Ujung-ujungnya, mereka yang katanya "perwakilan" dari ormas tersebut dikirim ke perusahaan kami. Siapa yang harus menemui? HRD donks! Saat itu perusahaan belum punya chief security, saya harus hadapi sendiri.

Pria-pria bertato dengan badan sebesar pilar di parkiran basement, menggebrak meja saya dan lagi-lagi mengancap. Tak jauh-jauh ancaman fisik. Yang paling halus "oke kalau ibu tidak mau kasi sumbangan, nanti kita ketemu di luar!"

Saya? Takutlah!
Hanya manusia biasa tempatnya khilaf dan lupa. 
Saya sangat berterimakasih pada diri sendiri karena diberikan kekuatan hati dan ketenangan jiwa (walaupun sebenarnya kaki sudah gemetaran dan lemas macam agar-agar). Tanpa memprovokasi, jawaban saya tak jauh dari "Terimakasih bapak-bapak atas pengertiannya. Seperti yang bapak paham, saya juga hanya karyawan yang menjalankan peraturan perusahaan. Kalau tidak yang ada saya dipecat. Kalau bapak-bapak tidak terima, boleh kirimkan pengaduan resmi ke alama email xxxxx@ccccc.com"

Sejauh ini saya aman, buktinya masih bisa menulis ini.

Eh, sanur sudah gelap!
Kapan-kapan saya cerita lagi hal-hal aneh yang saya hadapi selama bekerja.

Kalau pekerjaanmu ada hal-hal ajaib juga ga?