Wednesday, December 15, 2021

Beberapa waktu lalu seorang kawan randomly bertanya ke saya tentang definisi kebahagiaan dan kesuksesan. Apakah ukuranya adalah keluarga, pasangan, uang, jabatan, pendidikan, atau apa?

Saya agak bingung juga.
Kalau yang ditanya ukuran berat badan, ukuran sepatu atau ukuran beha, dengan mudah bisa saya langsung berikan. Tapi ukuran bahagia?

Setelah berpikir sejenak, ini jawabanya waktu itu: Saya tidak pernah berpikir sejauh itu. Nyaris tidak pernah mikir bahagia itu gimana.

Yah, saya tidak pernah memikirkan apa ukuran dan tolak ukur kebahagiaan. Most of the time I am planning my life and enjoy the ride.

Beberapa kali rencana-rencana hidup itu tidak tercapai. Bahkan gagal total. Baru saja kemarin pengajuan kredit ditolak karena bank belum berani kasi hutangan ke karyawan hotel. Kecewa sebentar, lalu memikirkan semua baik buruknya, akhirnya bahagia karena kreditan di tolak bank. Setidaknya hidup saya akan sangat tenang dan damai meskipun cita-cita yang sudah direncanakan dengan matang harus diubah masterplan-nya agar lebih masuk akal.

Begitu juga rencana bertemu Issam yang direncanakan matang-matang dari jauh-jauh hari dan berkali-kali gagal total gara-gara pandemi dan kebijakan pemerintah yang berganti tak tentu. Frustasi iya, nangis-nangis karena kangen. Setelahnya baik-baik lagi, bersyukur dan heran kok bisa pacaran 3 tahun, 2 tahunnya lewat video call doang. Bahagia karena uang yang tadinya buat foya-foya liburan bisa dipinjam untuk benerin mobil yang tiba-tiba mogok.

Bahagia ternyata terjadi begitu saja. Hal-hal kecil yang kadang tidak diharapkan. Malah kadang terjadi ditengah bencana. Coba deh ingat-ingat cerita susah di masa lalu, lalu ceritakan pada orang-orang sekitar, jatuhnya pasti kita akan menertawakan masa-masa itu. Seringnya saya malah menertawai diri sendiri. Kok ya bisa bodo begitu. Kok ya bisa sangat naive melihat dunia. Kok bisa ditipu mentah-mentah. Lalu bahagia karena sadar kesulitan-kesulitan itu yang menjadikan saya yang sekarang. Lebih dewasa rasanya. Meskipun belum pintar-pintar amat, tapi lebih matang kalau hitung-hitungan tentang hidup.

Sering kali entah karena ulah siapa, kebahagiaan dianggap berkorelasi positif dengan kesuksesan. Lalu indikator kesuksesan ada pada uang, jabatan, strata sosial. Mungkin benar juga sih itu ukurannya, makanya setiap negara menghitung keberhasilan pemerintahnya dengan Gross Domestic Product (GDP), makin gede makin baik. Begitu juga perusahaan, tiap bulan saya ikut meeting untuk tau Gross Operating Profit (GOP), makin gede makin disayang owner. Kalau malah GOL (Loss) artinya siap-siap cari kerja tahun depan. Jadi memang bisa saja itu dijadikan indikator kesuksesan. Tetapi apakah kesuksesan ini berkorelasi positif dengan kebahagiaan?

Saya mencoba membandingkan data tentang peringkat kebahagiaan negara-negara di dunia vs negara-negara dengan GDP terbesar di dunia (karena capek bikin tabel yang bagus, jadi saya buat 5 besar saja)

Source: World Happiness Report & Data Worldbank

Apa yang kalian lihat di perbandingan itu? Ternyata kebahagiaan tidak melulu berbanding lurus dengan kekayaan dan harta. Top 5 negara paling bahagia itu tidak ada yg bahkan masuk top 20 negara dengan GDP terbesar. Islandia (Iceland) bahkan rangking 110 GDP-nya. Pun Indonesia, masun negara G20 karena GDP kita selalu 20 besar tetapi ketika berurusan dengan kebahagiaan agak jauh di bawah. Sementara negara dengan GDP terbesar di dunia adalah Amerika Serikat, tingkat kebahagiaannya "hanya" di ranking 17.

Negara-negara yang selalu dalam daftar teratas dalam daftar negara paling bahagia selalu adalah negara-negara Nordik. Negara yang sangat jauh dari khatulistiwa. Negara yang jauh dari kata-kata subur. Bagaimana mau subur, tanah-tanah mereka dilapisi es. Melihat matahari juga jarang. But yet, mereka paling bahagia di muka bumi. Coba deh baca Geography of Bliss-nya Eric Weiner, dia membahas hal ini.

Kalau katanya ibu saya, uang memang bisa membuat bahagia. Di kampung kami banyak nian kasus prahara rumah tangga rata-rata karena masalah ekonomi. Mungkin maksudnya adalah, at a certain point, uang memang memberikan perasaan tenang. Sense of security. Ketika kita tahu bahwa kebutuhan pokok terpenuhi. Tidak perlu khawatir tentang pangan, papan dan sandang. Masuk akal kalau banyak yang percaya kalau kebahagiaan berbanding lurus dengan harta dan kekayaan. Dalam list kebahagiaan itu, negara-negara yang tidak bahagia dipenuhi oleh negara-negara miskin di Afrika macam Rwanda & Zimbabwe, dan juga negara-negara yang sedag konflik macam Afganisthan dan Yaman.

Kembali ke kebahagiaan di level personal. Ya saya akui kondisi saya sekarang dengan pekerjaan yang baik dan penghasilan yang stabil memberi kontribusi pada level ketenangan. Tetapi kebahagiaan? Lain lagi ceritanya. Tahun 2010 ketika saya pertama kali bekerja dan gaji hanya ratusan ribu sebulan, rasanya juga sudah bahagia saat ini. Tingkat kebahagiaannya beti-beti dengan sekarang.

Lalu apa ukuran kebahagiaan untuk saya?

Setelah saya pikirkan sesaat sebelum menulis ini, saya tetap tidak mau memikirkannya. Terlalu banyak memikirkan tentang kebahagiaan malah bisa membuat tidak bahagia.

Biarkanlah kehidupan berjalan dan memberikanmu kejutannya. Kalau buruk dan membuatmu kurang bahagia, setidaknya itu menjadi pengingat bahwa bahagia itu rasanya menyenangkan. Kan katanya kalau belum pernah rasanya menderita, akan sulit untuk paham rasanya bahagia. Lihat saja orang yang kaya dari lahir, jauh lebih sulit dibuat bahagia. Saya bisa sesekali makan di restaurant Vietnam saja rasanya bahagiaaaaa. Syahrini dikasi makan steak berlapis emas mungkin biasa saja karena sudah terlalu biasa.

Penting untuk membuat diri kita merasa aman dan tenang. Dengan kondisi keluarga dan ekonomi, agar setelahnya lebih woles menjalani hidup.

So, semoga semakin sering bahagia ya....

Oh, ini jawaban saya waktu itu ketika ditanya tentang definisi bahagia

Terimakasih Bu Guru Made sudah membuat saya mikir dan akhirnya menulis tentang ini :)


A Piece of Mind . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates