Thursday, June 10, 2021

Sebelum membaca babak baru ini, siapa tau ada yang lupa cerita sebelumnya. Bisa di klik disini: SDL Series #3

Dua hari setelah sampai, hari kerja dimulai. Hari pertama, orientasi bersama Pak Uban. Dia menjelaskan segala seluk beluk resort. Mulai dari system gaji, urusan legal perusahaan, owning company, aset perusahaan di bawah tanggung jawab saya seperti mobil dan apartment karyawan, sampai hal yang saya pikir remeh temeh semacam siapa pacaran dengan siapa dan siapa mantannya siapa. Ajaib juga dia bercerita urusan pribadi begitu. Mungkin karena dia kakek-kakek yang suka kepo. Sudahlah didengarkan saja.

Bulan Desember adalah bulan tersibuk di Resort. Tingkat hunian selalu di atas 70%. Sebenarnya hal ini sangat menyenangkan dari sisi bisnis. Semua resort atau hotel pasti mengharapkan hal yang sama. Tetamu kami nyaris semuanya dari Perancis. Hampir 80%! Sisanya orang Inggris, Jerman dan hanya beberapa Arab. 

Kalau di Bali, di masa ramai seperti ini adalah masa-masa panen untuk anak-anak yang kuliah di sekolah pariwisata, karena hotel-hotel akan meningkatkan jumlah pekerja harian, kami biasa sebut Daily Worker (DW). Hotel senang karena pekerjaan berat kami dibantu, anak-anak kuliah bahagia karena uang DW bisa jadi tambahan uang saku berlipat-lipat.

Tapi, tidak demikian adanya di Oman kisanak. Kenyataan pahit pertama yang saya alami ketika baru saja bekerja kurang dari seminggu. Kami kekurangan karyawan! Ya, ada cukup banyak pekerja outsourcing (yang nyaris semuanya berasal dari Bangladesh), tetapi banyaknya tamu tetap memerlukan tangan-tangan dan tenaga extra! 

Jadilah pertama kali dalam hidup saya harus merangkap menjadi pengasuh anak-anak dari pagi hingga siang, lanjut berjaga di kolam renang setelahnya, dan petugas beres-beres meja restaurant saat jam makan malam. Pekerjaan HRD saya kerjakan larut setelah jam makan malam tak lagi ramai. Tak hanya saya, semua berbagi tugas. Termasuk staff-staff admin. 

Satu minggu pertama badan rasanya remuk! Setiap hari baru selesai bekerja serabutan nyaris jam 11 malam, lalu harus buru-buru bersiap pulang agar tidak ketinggalan shuttle bus kembali ke apartment karena shuttle terakhir jam 11 malam. Kalau telat, tidak bisa pulang! Sampai di apartment nyaris tengah malam, dingin menggigit hingga ke usus dan harus tetap mandi. Suhu malam hari saat winter bisa mencapai 0 derajat! Bulu hidungpun rasanya beku! Lalu, pagi hari harus buru-buru mengejar shuttle bus jam 8 pagi karena saya sudah harus membantu anak-anak yang bertugas di kids club.


Suhu 9* C Siang Bolong di Timur Tengah


Saya overwhelmed! Jet lag saja rasanya belum tuntas. Lalu harus menyesuaikan diri dengan teman-teman kerja yang baru, budaya kerja yang jauh berbeda, aturan hukum yang membingungkan karena belum sepenuhnya paham, sampai hal-hal kecil semacam belum tau kalau mau laundry baju dimana! Hampir setiap hari saya terlalu kelelahan bahkan untuk berkabar pulang ke ibu bapak. Tapi selalu saya sempatkan untuk mengabari pacar. Karena perbedaan waktu dia sudah tertidur ketika saya baru selesai bekerja. Rasanya tambah-tambah membuat sedih! 

Beberapa kali saya berpikir, "Nyesel ga lu sekarang? di Bali hidup enak, ga pernah kerja rodi begini. Katanya Senior Management Level, masih aja ngebabu!" hiks! Ibu bahkan pernah tanya, kok saya masih mengerjakan hal macam itu. Masa tidak ada yang kerjakan. Sebenarnya bisa saja saya memilih berlagak bos dan ongkang-ongkang kaki, tapi masa ketika staff saya nyaris semaput banting tulang saya tidak bantu. Ketika staff di restaurant misalnya, bekerja double shift lalu saya dengan nyaman bekerja 9 jam teng. Malu sama keledai yang banyak berkeliaran di Jabal Akhdar sih! Demi nama baik bangsa dan negara, saya kuatkan iman dan akhlak! Semangat! (Sambil meringis pijit betis yang pegal-pegal)

Belum lagi urusan dingin yang astajim tidak ada sopan santun sama sekali. Saya belum bisa beradaptasi. Setiap hari masih harus pakai double celana, triple baju, kaos kaki tebal, dan syal untuk membungkus leher (dan kuping! Kuping ini sangat rentan menjadi korban kekejaman hawa dingin). Bibir mulai sangat kering, retak-retak dan berdarah! Lip balm yang biasa saya pakai tidak mempan, kurang lembab. Pun hand & body lotion yang saya bawa. Tetap saya tangan dan kaki super kering macam bersisik. 

Seragam wajib tiap di Apartment


Apa saya menyerah saja? Kan saya punya masa percobaan 3 bulan, jadi saya bisa pulang kapan saja. Eh tapi kalau pulang mau kerja dimana? Pekerjaan saya di Bali kan sudah diisi orang lain? Trus kalau tetap ngotot, nanti sekolah adik-adik beasiswa saya bagaimana? Itulah obat kuat saya untuk terus lanjut menjalani dinginnya kehidupan dan serabutannya pekerjaan.

"Romusha" itu akhirnya berakhir juga. Tahun 2020 datang, musim liburan usai, tetamu harus kembali bekerja mengumpulkan harta untuk berfoya-foya di musim liburan berikutnya, dan tingkat hunian berangsur-angsur berkurang. Meski syukur alhamdulilah masih tetap selalu ramai. Setelah 20 hari bekerja non-stop tanpa libur samasekali, hari libur yang ditunggu datang juga! Alhamdulilah! 

Saya punya jatah libur 4 hari yang bisa saya gunakan untk mengurus beberapa hal, terutama kartu tanda penduduk (disebut Pataka), membuka rekening bank, dan berbelanja barang kebutuhan sehari-hari karena sudah beberapa hari saya terpaksa cuci underwear dengan sabun mandi.

Pagi-pagi saya sudah dijemput Harith, bapak-bapak Omani yang juga PRO (Public Relation Officer) kami. Dialah yang mengurusi segala hal berkaitan dengan ijin kerja karyawan asing. Dia salah satu tim saya di HRD.

Dari apartment ke Nizwa, kota terdekat tempat kantor Imigrasi dan Department Ketenagakerjaan berada, memerlukan sekitar satu jam perjalanan. Begitu sampai di kota, Harith yang begitu baik menawarkan saya sarapan dulu sebelum berurusan dengan hiruk pikuk kantor pemerintah. Tentu saja saya iyakan. 

Dengan bahasa inggris seadanya Harith menawarkan "Madam, do you want goose for your breakfast?"

Saya kaget juga, di Oman ternyata sarapannya pakai daging angsa (goose)! Tentu saja saya tertarik ingin tau ini daging angsa dimasak apa untuk sarapan.

Harith kembali bertanya "What kind of goose do you want?"

Hmmm, semakin menarik, saya tanya balik "What kind of goose do you have?"

Cepat Harith menjawab "Mango Goose, Orange Goose...."

Eeeh, tunggu sebentar maksudnya?

Butuh 10 detik penuh saya menganga dan otak saya bekerja keras sampai akhirnya saya menyadari goose = juice!!! Jus buah! Hahahaa... masyaalah!

Dari kejadian itu saya baru menyadari ternyata orang Oman (dan orang Arab) pada umumnya kesulitan mengeja huruf "J" bagi mereka, yang ada itu adalah huruf "G" 

Jadilah assistent saya namanya Joy, oleh anak-anak Omani dipanggilnya Miss Goy!

Ahoy!!! Lets the absurd things in Oman Begin!!! 

Ayo tebak, Harith yang mana!



A Piece of Mind . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates