SDL Series #2 - Pertama Kali Ke Oman, Berasa Mau Mati!
Pada tulisan SDL sebelumnya, link-nya ada disini, Pak Uban memberikan saya 1 minggu trip ke Oman untuk semacam pre-experience sebelum saya 100% yakin untuk pindah ke sana. Trip itu terjadi sekitar minggu pertama bulan Oktober 2017.
Sebelum keberangkatan, Bu Madam berpesan agar saya mempersiapkan baju hangat macam jaket dan sweater untuk dibawa ke sana karena Oktober sudah menjelang winter. Pikir saya, ok lah, mungkin dinginnya macam di kampung saya saat musim kopi di akhir tahun. Adem yang kadang-kadang bikin menggigil. Oh, kalau di Bali bayangan saya macam di Kintamani atau dinginnya di Puncak, Bogor. Jadi saya putuskan membawa sweater paling tebal yang saya punya, yg dulu selalu saya pakai saat KKN di Kintamani, jaket yang biasa saya pakai naik motor dan beberapa jeans.
Saya tiba di Muscat tengah malam. Nervous sangat! Pertama kali long haul flight ke negeri antah berantah, sendiri, tanpa ada satupun makhluk hidup yang saya kenal. Bukan takut di culik atau di harvest organ tubuh untuk dijual (ini imajinasi terliar ibu saya, btw), tapi takut karena kan Oman adalah negara arab nanti kalau saya tidak paham bahasa mereka piye.
But then, ketakutan saya tidak terbukti. Pak Uban sepertinya berniat untuk membuat saya terkesan.
Pak Uban arrange a VIP arrival experience untuk saya. Dari baru turun pesawat dan masuk ke ruang kedatangan, sudah ada pria bersetelan rapih lengkap dengan jas dan dasi menunggu saya. Dia memegang papan nama resort kami, dari jauh saya pandangi papan nama itu, saya pikir mungkin saya satu pesawat dengan tamu VIP. Eh, ternyata abang-abang berseragam itu menghampiri saya dan bertanya "Miss Winda?" saya iyakan, lalu dia berikan saya sebuah buket bunga dan bilang "Welcome to Oman" Aiyooohhh, ini saya berasa dijemput pacar ya...
Ternyata resort kami bekerjasama dengan perusahaan dia, penyedia layanan VIP bandara untuk pengurusan visa kunjungan (saat itu saya menggunakan Visa On Arrival), pengambilan bagasi dan segala proses di imigrasi dan cukai. Jadinya, proses kedatangan saya di bandara sangat mudah dan menyenangkan. Dan tentu saja romantis dengan di buket bunga itu.
Setelah keluar dari Airport, seorang sopir resort sudah menunggu, namanya Muhammad. Dialah yang akan mengantar saya sampai ke resort. Kata Muhammad, perjalanan dari Kota Muscat ke Pegunungan Jabal Akhdar akan memakan waktu 2,5 jam, jadi lebih baik saya tidur saja di mobil. Muhammad berbicara dalam bahasa inggris yang tidak terlalu lancar. Hanya beberapa kalimat saja, tetapi saya bisa paham lah.
Meski tengah malam, suhu di kota Muscat bisa dibilang hangat. Kurang lebih 27 derajat celcius. Lagi-lagi pikir saya macam suhu di Bali lah winternya. Wajar sih di negara-negara timur tengah ini kan banyak gurun, jadi pasti panasnya extreem banget. Sehingga musim dinginnya ya "cetek gini". Karena sudah gelap, saya turuti saran Muhammad untuk lanjut tidur di mobil. Apalagi dengan perbedaan waktu dimana Oman 4 jam lebih lambat daripada di Bali, jadi saat itu masih subuh di Bali dan waktu ternikmat untuk tidur.
Tiba-tiba saya terbangun, menggigil kedinginan. Mobil melaju diantara tebing-tebing batu, sudah hampir 1,5 jam kami berkendara dan menurut Muhammad kami sudah melewati check-point untuk masuk ke area pegunungan Jabal Akhdar. Melihat saya menggigil, Muhammad menaikan suhu pemanas mobil dan menawarkan selimut pada saya, ketika saya lihat di dashboard mobil, suhu di luar 17 derajat celcius! Alamak! Ini beneran saya masih di Oman? Atau jangan-jangan ini jalanan menuju ke Pegunungan Himalaya! Lebay sih ini.
Sambil mengisi waktu di jalanan yang sangat sepi, literally hanya ada mobil kami. Tidak papasan dengan siapapun. Bahkan sesosok kadal yg biasa melintas di jalanan juga ga ada, saya ngobrol dengan Muhammad. Meski dengan bahasa Inggris seadanya, dia menjelaskan pada saya beberapa hal tentang pegunungan Jabal Akhdar.
Jabal Akhdar ini memang pegunungan tertinggi ke-2 di Oman, setelah Jabal Sham. Saya jadi ingat yang saya baca sekilas di resort fact sheet, resort kami berada di ketinggian 2000 mdpl, di salah satu lembahnya Jabal Akhdar. Hmm, saya memikirkan kembali fakta ini. Saya iseng-iseng googling puncak tertinggi Jabal Akhdar Sendiri ternyata 3,000 mdpl. Lalu saya mulai bandingkan dengan beberapa gunung di Indonesia, ini perbandingannya
- Gunung Batur - 1,717 mdpl
- Gunung Bromo - 2,329
mdpl - Gunung Ijen - 2,799 mdpl
- Gunung Agung - 3,031 mdpl
Amsyong! Melihat angka-angka itu saya baru sadar, ini diatas gunung beneran ya... Nyaris setinggi Gunung Agung! Saya yang cuma pernah ke puncak Batur dan Bromo saja waktu itu menggigil. Di Bromo sampai pakai segala kupluk, sarung tangan, kaos kaki tebal, syal, dan berlapis jaket. Lah ini lebih tinggi lagi, logikanya lebih dingin lagi dong! Sementara saya hanya membawa jaket dan sweater seadanya macam mau motoran dari Nusa Dua ke Sanur. Saya minder. Dan khawatir. Dan tambah menggigil. Dan menyesali kebodohan kenapa logika berpikir ini tidak terjadi saat saya packing di rumah. Huuhh...
Demi mengalihkan kekhawatiran saya akan membeku nanti setibanya di resort, saya kembali ngobrol dengan Muhammad. Saya bertanya tentang check point yang tadi kami lewati. Tujuan utamanya adalah untuk memantau kelayakan mobil yang akan naik. Hanya mobil dengan sistem 4 Wheel Drive (WD), atau dikenal juga dengan istilah 4x4 yang diijinkan naik ke Jabal Akhdar. Selain itu kelayakan mobil juga dilihat, apakah ban mobil layak jalan dan tidak gundul, apakah tidak kelebihan penumpang, apakah mobil dalam kondisi layak dan lainnya. Hal ini demi keselamatan pengendara karena jalanan disana penuh tanjakan dan tikungan tajam. Biasanya ada 2 orang polisi yang berjadi dalam satu shift, mereka akan menghentikan kendaraan. Karena Mohammad sudah biasa naik turun gunung, dan mobil kami bertanda nama resort jadi kami hanya mengucapkan salam dan diijinkan melaju. Lain halnya jika kita bukan pengendara reguler, baik Omani maupun Expat, akan dihentikan dulu dan dimintai SIM. Lalu ditanya-tanya apa tujuannya ke Jabal Akhdar, apakah menginap atau hanya kunjungan satu hari, kalau menginap mereka juga tanya berapa lama dan tempat menginapnya.
Saya agak heran kenapa sampai sedetail itu? Saya pikir hanya mengecek kelayakan mobil saja. Menurut Muhammad, ini karena pegunungan Jabal Akhdar adalah kawasan yang dilindungi pemerintah. Hmmm.. saya harus cari tahu lebih banyak lagi nanti.
Setibanya di resort, masih gelap gulita. Menjelang subuh. Tentu saja dinginnya menusuk tulang. Menggigil sampai ke lambung rasanya. Orang pertama yang saya temui di resort adalah Reena, front office supervisor. Dia orang Maldive. Reena menyarankan saya langsung ke kamar saja. Sampai di kamar rasanya legaaaa, penghangat ruangan sudah dinyalakan.Tanpa mandi, saya langsung rebahan dan tertidur.
Saya terbangun karena merasa sesak napas dan detak jantung saya menjadi lebih kencang. Kepala rasanya berat sekali. Apakah saya terkena serangan jantung? Saya coba tarik napas dalam-dalam, rasanya tetap saya tak cukup oksigen. Pikir saya mungkin karena saya tidur di ruangan berpenghangat sehingga kadar oksigennya berkurang (harap maklum karena pengalaman pertaman kali). Saya buka pintu kamar yang mengarah ke balkon, alamaaaakkkk angin kencang super dingin menusuk ulu hati! Bukannya tambah lega karena menghirup banyak oksigen, rasanya tetap saja engap. Fix, saya mikir saya akan semaput pingsan.
Pelan-pelan saya tutup pintu kamar, lalu duduk di sofa dan mulai mengatur napas. Berusaha sebanyak-banyaknya menghirup udara. Ketika pelan-pelan darah sudah mengalirkan oksigen ke otak sedikit demi sedikit, saya mulai bisa berpikir. Saya kan di ketinggian 2000 mdpl, berarti kadar oksigennya juga tipis dong ya. Saya mulai cari-cari informasi di internet, dan saya lega, saya tidak kena serangan jantung! Hanya terkena Altitude Sickness, bahasa saya adalah mabuk ketinggian. Untungnya hanya dalam beberapa jam saja tubuh saya beradaptasi dan saya merasa lebih baik.
Selesai urusan sesak napas karena mabuk ketinggian, urusan kedinginan ini belum berakhir juga! Untungnya semua area indoor dilengkapi pemanas ruangan, jadi saya tetap nyaman. Kegiatan setiap hari sudah dijadwalkan oleh Pak Uban dan team Leisure Concierge. Intinya, saya harus mencoba sebanyak mungkin kegiatan yang disiapkan untuk tamu. Ya saya senang lah! Tapi saya curiga, seharusnya seminggu ini kan saya dibuat lebih paham situasi kerja, lah ini malah macam pemenang undian majalah traveling yang disponsori jalan-jalan. Ah sudahlah, rejeki yang ada ya dinikmati. Begitu pikir saya.
Saya sempat dikenalkan ke beberapa orang. Semuanya saya lupa saat itu juga. Yang saya ingat hanya Assistant HRD Managernya saja, namanya Joy, orang Philippina. Karena dia yang mengurus tiket dan tetek bengek keberangkatan saya.
Sampailah pada hari terakhir sebelum pulang ke Bali. Kegiatan saya hari itu adalah Via Ferrata. Saya hanya membaca sekilas saja deskripsi kegiatan yang diberikan. Yang saya tangkap intinya adalah melintasi lembah dengan sling dan kabel-kabel yang sudah diinstal sebelumnya. Macam flying fox pikir saya.
Lagi-lagi, malas membaca nyaris mampus dijalan!
Via Ferrata ternyata bukan flying fox sodara-sodara! Via Ferrata adalah uji nyali, mengumpankan nyawa ke malaikan maut!
Masih ingat foto tebing-tebing bebatuan cadas dengan lembah-lembah dalam yang saya bagikan di tulisan sebelumnya? Itu lokasinya. Jadi di tebing itu sudah diinstal kabel-kabel baja menempel pada bebatuan. Tugas saya adalah mengikatkan diri pada kabel baja itu hanya dengan 2 biji carabiner yang dicantolkan pada harness di tubuh saya. Dan saya, harus berhati-hati melepas dan memasang si carabiner ini di kabel baja untuk bisa bergerak turun!
![]() |
Ini dia lembah trayek Via Ferrata |
Penderitaan belum berakhir, setelah sampai di dasar lembah, kurang lebih 20 meter, tidak ada jalan untuk kembali keatas kecuali kami memanjat lagi! Belum lagi melewati jembatan yang terbuat dari sebiji kabel baja tok! Wuaseeeemmmm! Orang gila mana yang menciptakan kegiatan macam ini dan orang yang lebih gila lagi adalah mereka yang rela membayar berjuta-juta untuk disiksa begini! Yang jelas bukan saya, saya waras. Saat itu yang ada di kepala saya cuma satu, saya cuma mau pulang! Di beberapa titik saya bahkan benar-benar merangkak di bebatuan tajam, terpelanting sekali, lebam di lengan dan paha. Berkali-kali saya berpikir, ini kalau saya sampai salah pasang carabiner, atau salah menginjakkan kaki di bebatuan yang labil, saya akan jatuh ke dasar lembah dan dipastikan jadi peyek kacang!
![]() |
Saya harus merangkak di bebatuan ini |
Sampai di atas saya menangis dan tertawa ngakak sendiri! Oh, jadi seminggu saya dibaik-baikin hanya untuk akhirnya disiksa begini! Arrrghhhhh!!! Di Lobby saya disambut oleh salah seorang senior manager, Bang Tambun namanya, orang India, dia tertawa-tawa melihat saya berjalan terpincang-pincang. Saya bilang padanya, lihat saja nanti, saya buat peraturan baru, kalau karyawan ada yang berbuat salah, hukumannya adalah Via Ferrata! Eh Bang Tambun malah tambah ngakak.
Ini beberapa foto saya di tengah penderitaan itu
Ini saat baru berhasil turun, belum sadar kalau naiknya harus disiksa lagi |
Penderitaan berlanjut |
Ini jembatan neraka, saya sempat jatuh disini dan bergelantungan dengan carabiner saja |
Malam itu saya langsung terbang di Bali. Selama di dalam pesawat badan saya sudah pegal semua. Apalagi ketika transit di Jakarta, ngilu di sendi-sendi sudah mulai menyiksa. Berjalan sudah mulai susah. Sukurlah sampai Bali dengan selamat.
Keesokannya saya langsung kembali bekerja. Badan saya kaku semua! Melangkah saja saya tidak sanggup. Kaki dan lengan semua ngilu gara-gara Via Ferrata yang tidak berfaedah itu! Baru saja saya ingin mengirim pesan ke Pak Londo untuk ijin sakit, Pak Londo telpon duluan memastikan saya masuk kerja hari itu karena saya dicari oleh Bapak Kepala Desa untuk urusan rekrutmen warga sekitar! Katanya sudah beberapa hari beliau ingin bertemu saya, kata Pak Londo "Ga enak kalau saya tolak lagi Winda. Nanti malah hubungan resort kita dan desa malah jadi kurang baik" Saya bisa apa???
Jadilah hari itu saya terseok-seok ke tempat kerja, dan yang paling menyebalkan Pak Londo sudah menunggu di depan kantor saya tertawa terpingkal-pingkal sambil santai bilang begini "Pak Uban sudah cerita kondisi kamu kemarin yang katanya macam nenek-nenek, saya tidak sabar lihatnya!" Aaarrrggghhh.... punya bos dan calon bos macam psikopat!
Tapi setidaknya saya pulang ke Bali masih utuh dan bernyawa!
Mereka kira dengan Via Ferrata itu bisa menyurutkan niat saya untuk berangkat ke Oman? Tidak semudah itu Esmeralda! Oman, here I come....