Saturday, September 6, 2025

Penjelasan:
Meritrokrasi dalam tulisan ini adalah posisi/jabatan/pekerjaan diberikan kepada seseorang berdasarkan kemampuan, pengetahuan, kinerja, dan pencapaian profesional.

Gara-gara huru hara tunjangan DPR yang ga masuk akal kemarin, ramai muncul di social media tentang Mulan Jameela, anggota DPR RI dari Partai Gerindra. Ternyata nama legal dia memang Mulan Jameela, saya kira hanya nama panggung.

Ok, yang ramai dibicarakan adalah, Mulan ini ditugaskan di Komisi VI: Perdagangan, Kawasan Perdagangan, Pengawasan Persaingan Usaha dan BUMN. Netizen mempertanyakan kapabilitasnya. Tanpa latar belakang pendidikan yang berkaitan dengan bidang tersebut (kecuali mungkin kalau waktu SMA dia jurusan IPS, sumpah ini ga nyinyir), juga tanpa pengalaman yang relevant untuk memahami isu-isu perdagangan dan BUMN. Makanya jadi viral di sosial media.

Hampir bersamaan, 20 Agustus 2025, PT Waskita Karya (BUMN) mengumumkan susunan Komisaris perusahaan yang baru. Salah satu Komisaris Independen mereka bernama Aqila Rahmani. Tidak dinyinyir separah Mulan, namun profilnya juga menarik perhatian. Aqila lulus S1 & S2 hukum di UPH. Pengalaman kerjanya sebagai Manajer Investasi di Koperasi Nusantara, lalu tiba-tiba menjadi Komisaris Independen Waskita Beton, sebelum diangkat di posisi saat ini. Untuk saya mbak-mbak kantoran HRD, career growth Aqila sangat amat terlalu mencengangkan sih. Oh satu lagi, pengalaman organisasi beliau dari Partai Gerindra.

Kalau mau jujur, banyak sekali anggota DPR dengan profil dan situasi yang mirip dengan Mulan. Pun juga banyak pejabat BUMN dengan latar belakang miripan dengan mbak Aqila. Kebetulan saja mereka berdua yang apes disorot media. 

Presiden Prabowo beberapa kali dengan sangat terbuka menyampaikan kepada media bahwa penunjukan pejabat pemerintahan beliau menjunjung tinggi kompetensi dan meritokrasi. Dia juga memerintahkan kalau pemimpin BUMN harus berdasarkan meritokrasi. Rosan Roeslani bahkan sempat mengatakan: Best Brain, Best Talent. Hhhmmmm.....

Reaksi pertama saya membaca berita-berita itu tentu saja kesal dan marah. Hanya karena menjadi anggota elit partai penguasa, maka dengan mudahnya menjabat posisi-posisi strategis yang menentukan hajat hidup orang banyak. Enak sekali jadi mereka.

Sampai akhirnya ada obrolan yang membuat saya berpikir ulang tentang ini. Apakah posisi dan jabatan selalu harus diisi dengan asas meritokrasi? Idealnya begitu, tetatpi tidak selalu. Begini argumentasinya.

Meritokrasi akan berhasil jika kemampuan populasi atau masyarakatnya setara. Setara dalam hal kualitas pendidikan, kesehatan, lingkungan sosial, dan juga kepastian hukum. Dengan kesetaraan di berbagai aspek ini maka satu generasi itu akan memiliki tingkat pengetahuan, vitalitas, koneksi sosial dan kemampuan yang setara. Dan ketika suatu pekerjaan atau jabatan muncul, orang-orang ini bisa bersaing dengan peluang yang mirip. 

Negara-negara yang bisa menerapkan meritokrasi juga tidak banyak, mungkin sementara ini yang notable adalah Singapore dan negara-negara Nordik seperti Denmark, Sweden, Finland dan Norway.

Bagaimana dengan negara tercinta Republik Indonesia ini? Nampaknya susah. Bukan hanya alasan politis dimana pemimpin terpilih harus "balas budi" atau penjatahan untuk partai pendukung, ini pasti kalian sudah lebih paham dan tau dan sebal.

Yang saya mau ceritakan, dan kemarin karena langsung kesal jadi tidak terpikirkan adalah tentang pemerataan. Sayangnya di negara ini, apapun masih belum merata. Pendidikan, kesehatan, distribusi pangan, pembangunan infrastuktur, dan hubungan sosial lainnya. Kecenderungan Jawa-sentris diakui atau tidak memang masih sangat berperan. Banyak daerah lain di Indonesia (terutama di Timur) tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan mereka yang di Jawa.

Maka ketika ada anak yang sangat pintar dari Sumba Barat Daya misalnya, dimana jaringan internet masih GSM (Geser Sedikit Mati), dia mungkin akan melewatkan iklan Beasiswa Djarum sehingga kesempatannya untuk bisa kuliah di ITB hilang. Padahal kalau saja dia tau dan dia ikut ujian masuknya, dia pasti bisa. Semakin kecil kesempatan dia menjadi insinyur dan menjadi Menteri Perdagangan.

Atau ketika ada seorang anak SD yang sangat bersemangat sekolah di Larantuka sana, harus melewatkan hari sekolah yang sangat penting ketika dilakukan vaksin campak dan pembagian susu gratis karena hari itu dia harus menggembala ternak. Berkurang sudah kesempatannya untuk sehat bugar dan ikut tes Akpol nantinya. Semakin jauh dia dari kesempatan menjadi Menkopolhukam.

Kalaupun ada yang berkesempatan bersekolah atau diekspos setinggi-tingginya, menjadi sebuah anomali. Karena persentasenya teramat kecil. Nyaris mendekat 0!

Maka dari itu pemerataan diperlukan sebenarnya. Pemerataan kesempatan untuk anggota legislatif perempuan. Memastikan anggota Parlemen ada dari setiap daerah, menteri-menteri dari area-area yang bukan mayoritas. Dengan tujuan orang-orang ini yang akan membawa kesetaraan di daerahnya. Mulai membawa arah pendidikan, kesehatan, kesejahteraan dan pembangunan di daerahnya. Idealnya begitu. Kenapa makanya para anggota DPR/DPRD diberikan tunjangannya komunikasi dengan masyarakat dan masa reses untuk bertemu konstituen mereka.

Jika pemerataan tidak dilakukan maka yang mendapatkan posisi adalah mereka yang punya privilege saja. Privilege bukan hanya dari latar belakang ekonomi, tetapi juga dari jaringan dan koneksi. Masalahnya koneksi ini harus dibangun. Sekolah di lingkungan yang tepat, berteman dengan yang dekat pada penguasa (eh) dan semacam itu.

Kemarin ada teman yang berkomentar, selama bekerja di swasta juga demikian adanya. Sebagian besar orang mendapatkan pekerjaannya atau promosi jabatan karena koneksi. Benar memang, saya harus akui 10 tahun terakhir pekerjaan saya selalu karena koneksi. Dihubungi kawan, dikabari lowongan oleh team di kantor lama, diminta kembali ke perusahaan lama oleh mantan bos, semuanya karena koneksi. 

Tapiiiiii,
Meskipun dengan koneksi, tidak serta merta saya diterima bekerja. Disinilah meritokrasi diterapkan. Saya tetap harus melewati berlapis interview (3 kali minimal, dengan atasan langsung, corporate office, dan owning company), lalu minimal 2 jenis tes: kesehatan dan psikometri, dan pasti mereka juga melakukan reference cek. Menghubungi orang-orang yang pernah bekerja dengan saya dan terstimoni mereka. Proses yang cukup panjang. Kalau jadi chef lebih-lebih lagi, ada beberapa food testing juga.

Koneksi akan berperan untuk memperkenalkan kita pada kesempatan kerja/jabatan tertentu. Sisanya kemampuan, legacy, dan reputasi. Pengalaman juga. Di level manajerial ini agak tidak mungkin langsung diposisi pemimpin. Bahkan para anak owner sekalipun biasanya mereka tetap "dipaksa" bapak ibuknya untuk magang di semua bagian dulu.

Menjadi bermasalah ketika koneksi tidak disertai dengan meritokrasi. Jadinya Nepotisme!

Yaps, pemerataan dan koneksi sangat mungkin terjadi di dunia yang tidak ideal ini. Saya bahkan akan sedikit tutup mata ketika jabatan dibagi-bagi hanya demi jatah politik semata. 

Yang tidak sah adalah ketika posisi sudah diberikan diatas talam bertahta permata, apa susahnya sih mengusahakan agar kitanya menjadi lebih layak. Kan bisa sekolah lagi, kan bisa ambil short course di lembaga pendidikan terkemuka. Dengan privilese dan akses yang ada, itu hal yang sangat mungkin.

Maaf Mulan Jameela saya pakai contoh, dan anggota DPR dengan latar belakang yang sama, masa sudah 2x terpilih menjadi anggota DPR RI tidak ada niatan sekolah hukum? Short Course/Summer Course Bussiness Management?Berikan sedikit saja alasan agar publik percaya pada kemampuan, bukan hanya popularitas

Dah ah, capek nulis serius begini.
Kerjain budget 2026 dulu!

Selamat berakhir pekan!





A Piece of Mind . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates