Aku Takut Perubahan
Disaat semua orang ingin
perubahan, entah kenapa aku takut perubahan.
Disaat semua orang bersuara
lantang ingin perubahan, entah kenapa aku takut perubahan.
Masih ingatkah engkau kawan
ketika kita menuntut agar korupsi dicabut sampai ke akar-akarnya, tetapi aku
masih sering terima cerita darimu untuk menerima kolegamu bekerja denganku
hanya karena kolega itu adalah adik sepupumu?
Aku harap kamu tak lupa ketika
kamu berkomentar pedas agar negeri ini bisa bangkit dari keterpurukan, memanfaatkan
kemajuan teknologi dan sejajar dengan negara barat tetapi ketika diminta
membayar tas plastik saat belanja kau koar-koar berkata program pemerintah
tidak efektif dan hanya memperkaya pihak produsen.
Semoga engkau masih ingat, ketika
kamu ingin kamu dihormati sebagai manusia dihormati sebagai kelompok sosial,
bersatu padu menyerukan kesetaraan hak umat manusia, kesetaraan setiap
persekutuan, dan lalu di akun media sosialmu kamu mencaci maki manusia lain
hanya karena mereka memilih menjadi lain, hanya karena mereka memutuskan untuk
berbeda. Berbeda agama, berbeda keyakinan, berbeda cerita cinta.
Atau sudahkah engkau lupa ketika
kau caci maki, hina dina semua politisi yang memang tak becus mengurus negeri.
Kau serukan agar negeri ini berubah, kau serukan agar politisi berubah. Tetapi
ketika akhirnya kau yang dulunya berseru kami pilih, kau malah jauh lebih hina
dari mereka yang dulu kau hina.
Mudah-mudahan kau masih kau
simpan cerita ketika nyaris semua partai politik tak lebih dari sekedar
kumpulan bromocorah nyentrik. Kau caci mereka semua dan kau katakan kau benci
mereka. Tapi kini, ketika seorang calon pejabat daerah ingin lepas dari jeratan
partai politik dan menjadi wakilmu, hanya wakilmu tanpa embel-embel partai kau
malah mencibirnya? Mengatai beliau jumawa, mengatai beliau sok dan tak akan
mungkin berhasil tanpa partai politik?!
Dan semoga kau belum lupa,
bagaimana kita semua hidup dalam tirani. Terinjak-injak tak punya harga diri
dan tak punya lagi yang namanya jati diri, tak punya keberanian untuk berdiri.
Kau menuntut dibebaskan, kau menuntut keadilan, kau menuntut keterbukaan. Kini
ketika tirani telah pergi, kamu malah ingin tirani itu kembali? Dengan alasan
ketika tirani berkuasa tak pernah ada kerusuhan, tak pernah ada keributan, tak
pernah ada kemiskinan! Kau berdalih “masih enak jamannya Pak Tirani jadi
presiden”
Aku jadi ragu, apakah kau benar
ingin perubahan? Atau sekedar koar-koar?
Ketika tolak ukur keberhasilanmu
harus selalu sesuatu yang bernilai uang fantastis.
Ketika inginmu bahwa perubahan
selalu mengubah hitam menjadi putih. Gelap menjadi terang. Langit menjadi bumi.
Apalah dayaku ketika kau berharap
aku berubah menjadi seperti yang kau mau, tapi kau sendiri tak mau berubah
seperti maumu.
Ketika kau membenciku karena
belum mampu mengubah gelap jadi terang dan baru mampu menyalakan cahaya samar,
apalah dayaku padahal jika kau bawa juga cahayamu aku yakin akan menjadi lebih
terang.
Ketika kau mencaciku karena aku
belum sanggup mengubah hitam menjadi putih dan baru sanggup menjadikannya
kelabu, apalah dayaku padahal jika kau bantu akan bisa menjadi biru.
Aku takut perubahan, ketika kau
masih mencaciku karena aku berubah.
Tapi tak apalah, rasa takut
memang perlu agar aku tak keliru.
Tapi tak apalah kau benci aku,
karena aku akan tetap begitu
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAkhirnya, sisi wordsplay keluar lagi..baguss...!
ReplyDeleteMakasi yang ya.. It means a lot for me
Delete