Macbeth, Cerita tentang Tahta dan Wanita.
Ini bukan kisah sukses perusahaan
pembuat sepatu yang kini digemari anak muda. Ini adalah sebuah kisah yang
ditulis sastrawan inggris yang paling tersohor , William Shakespeare, sekitar
tahun 1599 sampai 1606.
Saya belum pernah membaca cerita
aslinya tentu saja. Dan saya juga bukan penggemar sastra klasik, jadi baru
kemarin saya baru tahu kisah Macbeth yang diadaptasi dalam film berjudul sama
yang dirilis di tahun 2015.
Inti ceritanya cukup sederhana:
Seorang panglima perang yang sangat setia pada Rajanya bernama Macbeth. Dalam
perang terakhir melawan pemberontak, dia diramalkan akan diangkat menjadi
bangsawan oleh sang Raja dan kemudian dialah yang akan naik tahta menjadi Raja
Skotlandia. Tetapi di saat bersamaan, peramal inipun meramalkan bahwa putra
dari sahabat Macbeth akan menjadi Raja Skotlandia di kemudian hari.
Ramalan pertama, bahwa Macbeth
diangkat menjadi bangsawan terjadi. Kejadian inilah yang memicu timbulnya rasa
haus kekuasaan dalam diri sang panglima perang. Menganggap bahwa ramalan itu
akurat, Macbeth berpikir bahwa memang benar dia harus mengejar takdirnya
menjadi Raja.
Ketika dia menceritakan hal ini
pada istrinya, sang istri dengan semangat membara menggebu-gebu mendukung
ramalan ini dan si suami harus menghalalkan segala macam cara untuk menjadikan
ramalan itu nyata. Bahkan, ketika baginda Raja mengunjungi kampung halamannya,
sang istrilah yang paling semangat agar Raja dibunuh saja. Meski sempat ragu,
tetapi oleh karena bujuk rayu istrinya dan kemungkinan yang lain adalah cinta
yang begitu besar pada sang istri, Macbeth tega membunuh Raja yang diceritakan
sebagai raja bijaksana.
Akhirnya, setelah menjadi Raja,
Macbeth dihantui perasaan bersalahnya sendiri. Begitu banyak rasa curiga,
ketakutan dan juga amarah tak terbendung. Sehingga dia rela memerintahkan
pembunuh bayaran untuk menghabisi sahabatnya sendiri beserta anaknya yag
diramalkan menjadi Raja selanjutnya (dimana anak ini berhasil kabur) dan dia
tega menghabisi keluarga dari penasehat kerajaan setianya.
Dalam posisi ini, barulah sang
istri yang tadinya begitu mendukung, mulai merasa bersalah dan begitu bersedih
dengan perubahan tingkah polah suaminya. Dan entah karena steress
berkepanjangan dan lalu sakit sang istri pun meninggal dunia.
Hingga akhirnya Macbeth berhasil
dibunuh oleh penasehat kerajaannya yang membalas dendam demi kematian anak
istrinya.
Filmnya dikemas dengan dialog
yang sepertinya persis sama dengan dialog aslinya. Sehingga penuh dengan
metafora dan kalimat-kalimat yang jarang dipakai lagi di jaman ini. Tetapi, dari
begitu banyak film tentang jaman kerajaan yang saya tonton, sepertinya film
inilah yang menurut saya paling mendekati menggambarkan keadaan di jaman itu.
Dimana menjadi raja tak berarti tiba-tiba mereka harus mengenakan jubah emas,
atau menjadi ratu berarti bahwa menggunakan mahkota berlian. Semua terasa
tepat.
Tetapi, dua hal yang lebih
menarik yang saya pikir bisa dijadikan cerminan untuk diri sendiri adalah:
1. Klo cari istri (saya: cari suami) carilah
mereka-mereka yang tidak gampang tergiur harta dan tahta haram! Susah memang,
siapa yang tidak suka harta. Tapi pasti ada kok yang tidak tertarik dengan
harta kalau caranya haram begitu. Sebenarnya, kalau saja istrinya tidak
semangat 45 masih besar kemungkinan Macbeth untuk tidak melanjutkan niat
kejinya untuk membunuh Raja. Belum lagi, pasangan model begini malah akan
meninggalkan kita saat kita sedang sudah
2. Jangan terlalu percaya peramal dan sejenisnya!
Mungkin sesekali mereka benar, tetapi menurut saya di dunia ini tidak ada yang
namanya kebetulan. Tuhan menciptakan alam semesta dengan logika dan
keteraturan. Peramal adalah mereka yang pintar membaca tanda-tanda. Dan peramal
yang “hebat” adalah mereka yang pintar mengarahkan pikiran kita menjadi satu
frekuensi dengan apa yang dia katakana. Seperti dalam kisah Macbeth, ide
membunuh Raja Duncan muncul setelah peramal mengatakan bahwa kelak dia menjadi
Raja. Padahal tadinya Macbeth adalah salah satu kesatria jujur dan sangat setia
pada Rajanya.
Seperti pepatah mengatakan,
kejayaan seorang pria biasanya takluk oleh Harta, Tahta dan Wanita. Terbukti.
Tak hanya oleh Macbeth tetapi banyak pria-pria di luar sana yang sudah terjebak
oleh ketiga hal ini.
Lihat saja para koruptor. Mereka
yang sekolahnya tinggi, dengan gelar berderet-deret, yang ketika masa mudanya
adalah seorang aktivis, beberapa malah adalah ahli agama. Ketika dihadapkan
pada harta dan kemudian ditambah dengan rengekan istrinya untuk membeli tas
yang dibuat dari kulit Yeti yang hanya ditemukan di pegunungan Himalaya,
jadilah dia berusaha merebut tahta dengan berbagai cara. Yang nantinya bisa
memberinya banyak harta untuk membahagiakan wanitanya (dan wanita wanita
laninnya).
Saya mau dapat Harta dan Tahtanya, tapi
tidak wanitanya. Karena saya mau lelaki saja. Hehehehe….
Wow..produktif! Tapi tetap berkualitas!
ReplyDelete