Wednesday, February 3, 2016

Ini bukan kisah sukses perusahaan pembuat sepatu yang kini digemari anak muda. Ini adalah sebuah kisah yang ditulis sastrawan inggris yang paling tersohor , William Shakespeare, sekitar tahun 1599 sampai 1606.

Saya belum pernah membaca cerita aslinya tentu saja. Dan saya juga bukan penggemar sastra klasik, jadi baru kemarin saya baru tahu kisah Macbeth yang diadaptasi dalam film berjudul sama yang dirilis di tahun 2015.

Inti ceritanya cukup sederhana: Seorang panglima perang yang sangat setia pada Rajanya bernama Macbeth. Dalam perang terakhir melawan pemberontak, dia diramalkan akan diangkat menjadi bangsawan oleh sang Raja dan kemudian dialah yang akan naik tahta menjadi Raja Skotlandia. Tetapi di saat bersamaan, peramal inipun meramalkan bahwa putra dari sahabat Macbeth akan menjadi Raja Skotlandia di kemudian hari.

Ramalan pertama, bahwa Macbeth diangkat menjadi bangsawan terjadi. Kejadian inilah yang memicu timbulnya rasa haus kekuasaan dalam diri sang panglima perang. Menganggap bahwa ramalan itu akurat, Macbeth berpikir bahwa memang benar dia harus mengejar takdirnya menjadi Raja.

Ketika dia menceritakan hal ini pada istrinya, sang istri dengan semangat membara menggebu-gebu mendukung ramalan ini dan si suami harus menghalalkan segala macam cara untuk menjadikan ramalan itu nyata. Bahkan, ketika baginda Raja mengunjungi kampung halamannya, sang istrilah yang paling semangat agar Raja dibunuh saja. Meski sempat ragu, tetapi oleh karena bujuk rayu istrinya dan kemungkinan yang lain adalah cinta yang begitu besar pada sang istri, Macbeth tega membunuh Raja yang diceritakan sebagai raja bijaksana.

Akhirnya, setelah menjadi Raja, Macbeth dihantui perasaan bersalahnya sendiri. Begitu banyak rasa curiga, ketakutan dan juga amarah tak terbendung. Sehingga dia rela memerintahkan pembunuh bayaran untuk menghabisi sahabatnya sendiri beserta anaknya yag diramalkan menjadi Raja selanjutnya (dimana anak ini berhasil kabur) dan dia tega menghabisi keluarga dari penasehat kerajaan setianya.

Dalam posisi ini, barulah sang istri yang tadinya begitu mendukung, mulai merasa bersalah dan begitu bersedih dengan perubahan tingkah polah suaminya. Dan entah karena steress berkepanjangan dan lalu sakit sang istri pun meninggal dunia.

Hingga akhirnya Macbeth berhasil dibunuh oleh penasehat kerajaannya yang membalas dendam demi kematian anak istrinya.

Filmnya dikemas dengan dialog yang sepertinya persis sama dengan dialog aslinya. Sehingga penuh dengan metafora dan kalimat-kalimat yang jarang dipakai lagi di jaman ini. Tetapi, dari begitu banyak film tentang jaman kerajaan yang saya tonton, sepertinya film inilah yang menurut saya paling mendekati menggambarkan keadaan di jaman itu. Dimana menjadi raja tak berarti tiba-tiba mereka harus mengenakan jubah emas, atau menjadi ratu berarti bahwa menggunakan mahkota berlian. Semua terasa tepat.

Tetapi, dua hal yang lebih menarik yang saya pikir bisa dijadikan cerminan untuk diri sendiri adalah:

1.      Klo cari istri (saya: cari suami) carilah mereka-mereka yang tidak gampang tergiur harta dan tahta haram! Susah memang, siapa yang tidak suka harta. Tapi pasti ada kok yang tidak tertarik dengan harta kalau caranya haram begitu. Sebenarnya, kalau saja istrinya tidak semangat 45 masih besar kemungkinan Macbeth untuk tidak melanjutkan niat kejinya untuk membunuh Raja. Belum lagi, pasangan model begini malah akan meninggalkan kita saat kita sedang sudah
2.   Jangan terlalu percaya peramal dan sejenisnya! Mungkin sesekali mereka benar, tetapi menurut saya di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan. Tuhan menciptakan alam semesta dengan logika dan keteraturan. Peramal adalah mereka yang pintar membaca tanda-tanda. Dan peramal yang “hebat” adalah mereka yang pintar mengarahkan pikiran kita menjadi satu frekuensi dengan apa yang dia katakana. Seperti dalam kisah Macbeth, ide membunuh Raja Duncan muncul setelah peramal mengatakan bahwa kelak dia menjadi Raja. Padahal tadinya Macbeth adalah salah satu kesatria jujur dan sangat setia pada Rajanya.

Seperti pepatah mengatakan, kejayaan seorang pria biasanya takluk oleh Harta, Tahta dan Wanita. Terbukti. Tak hanya oleh Macbeth tetapi banyak pria-pria di luar sana yang sudah terjebak oleh ketiga hal ini.

Lihat saja para koruptor. Mereka yang sekolahnya tinggi, dengan gelar berderet-deret, yang ketika masa mudanya adalah seorang aktivis, beberapa malah adalah ahli agama. Ketika dihadapkan pada harta dan kemudian ditambah dengan rengekan istrinya untuk membeli tas yang dibuat dari kulit Yeti yang hanya ditemukan di pegunungan Himalaya, jadilah dia berusaha merebut tahta dengan berbagai cara. Yang nantinya bisa memberinya banyak harta untuk membahagiakan wanitanya (dan wanita wanita laninnya).

Saya mau dapat Harta dan Tahtanya, tapi tidak wanitanya. Karena saya mau lelaki saja. Hehehehe….




1 comments:

A Piece of Mind . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates