Menukar Cita-Cita
Ketika tumbuh dewasa, sebagian besar orang menjadi sangat realistis.
Mencoba untuk melihat segala hal dari sudut pandang mungkin-tak mungkin,
bisa-tak bisa, mampu-tak mampu. Saat seperti inilah mereka mulai melupakan
mimpi-mimpi mereka, membuang jauh cita-cita mereka. Setelah dipikir-pikir semua
mimpi itu tak mungkin diraih, tak bisa dicapai, tak mampu dilakukan.
Sadar cita-cita menjadi
astronot menjadi tak mungkin karena saat SMP nilai pelajaran Fisika dan Matematika tak lebih dari 50. Saat cita-cita menjadi key player Manchester
United terasa tak nyata karena olah raga adalah salah satu bentuk penyiksaan
yang sangat efektif. Atau bahkan saat cita-cita menjadi Satria Baja Hitam
terdengar mustahil saat menyadari bahwa mengendarai sepeda motor adalah salah
satu cara legal untuk bunuh diri.
Beruntung ketika mimpi dan cita-cita yang dipilih ternyata masih
mungkin diraih. Misalnya cita-cita menjadi dokter dan memang pintar dan mampu
dalam ilmu pasti (kalau ilmunya belum pasti, boleh jadi dukun dulu). Atau
cita-cita menjadi pahlawan pembela kebenaran bisa diwujudkan dengan menjadi
pengacara, syukur-syukur bisa kasih banyak probono
ke orang-orang sekitar.
Tidak beruntung ketika menukar cita-cita dengan sesuatu yang tidak
pernah kita inginkan hanya karena berusaha bersikap realistis.
Misalnya cita-cita menjadi ilmuwan ditukar dengan pekerjaan menjadi
bankir. Alasannya biar bisa kaya, soalnya ilmuwan di Indonesia belum jelas
prospeknya, dan ilmuwan memang biasanya tidak urusan dengan menjadi kaya. Eh,
setelah sukses jadi bankir baru menyesal karena merasa hidupnya akan lebih
berguna bagi khalayak kalau dia jadi ilmuwan, menemukan rumus Matematika
baru, atau menemukan vaksin baru yang untuk membantu pasien cacar air.
Ada juga yang menukar cita-citanya yang tadinya mau jadi dokter,
berubah haluan jadi anggota DPR. Alasannya jadi dokter sekolahnya lama,
sedangkan jadi anggota DPR cukup sampai lulus SMA saja. Toh sama-sama bisa
bikin kaya. Eh, setelah setahun jadi anggota DPR merasa lelah melihat kelakuan
separuh anggota DPR tak bekerja sesuai harapan.
Tapi mungkin banyak juga kisah menukar cita-cita yang menyenangkan,
seperti misalnya cita-cita menjadi Dokter Anak yang ditukar dengan menjadi
ultra senior level di MLM. Sama-sama banyak uang, sama-sama membantu sesama,
pokoknya banyak sama dah. Kalau yang kisahnya begini pasti nyebut syukurnya
bertubi-tubi.
Nah, trus kenapa saya menulis ini? Apa pesan moralnya? Tidak ada!
Hahaha…
Mimpi saya dari kecil tidak pernah terlalu aneh. Pernah ingin jadi
pendekar, lalu ganti ingin jadi satria baja hitam, kemudian sejak kelas 5 SD
sudah fixed ingin jadi penjaga
perpustakaan. Sayapun mencoba realistis, menjadi penjaga perpustakaan
sepertinya tak cocok bagi saya yang tidak sabaran, jadinya saya adjust sedikit cita-citanya yaitu
menjadi pemilik perpustakaan!! Hahaha…
Sekarang ada sedikit perubahan dalam master plan cita-cita saya.
Saya ingin punya perpustakaan di tengah perkebunan tempat saya leyeh-leyeh
sampai tua. Tidak apalah tak terlalu kaya (agak kaya sudah cukup! Whahahaha…),
nanti kebunnya diisi cengkeh, jadi pas tua sudah tidak perlu kerja, makan dari
hasil kebun saja. Trus perpustakaannya boleh untuk siapa saja yang mau mampir
ke kebun, jadi bisa merasakan sensasi membaca sambil dirubung nyamuk!
Saya belum mau menukar cita-cita ini dengan hal lain. Cita-cita ini fixed dari saya masih SD kelas 5 sampai
saat saya menulis ini. Jumlah buku yang saat ini sudah mulai mengusai rumah
nusa dua menjadi fondasi awal cita-cita ini. Semoga tahun depan fondasi besar
lainnya bisa dirintis. Tentunya dengan dukungan dari tetangga sebelah. Kalau sendiri ya mana sanggup!
Saya tak mau menukar cita-cita.
Sekian dan selamat berakhir pekan…. :)
Saya siap sedia membantu!
ReplyDeletePerpustakaannya tak isi komik juga..favoritku..