Antara Cowboy Junior, Tablet PC, dan Evolusi
Belakangan saya sangat sering berbincang tentang dunia anak-anak dan
perkembangannya. Sebagai orang yang belum punya anak dan belum berencana punya
anak, saya agak tercengang dengan perkembangan dunia anak jaman sekarang.
Tadinya saya masih terbawa arus bahwa lingkungan pergaulan saat ini sangat
tidak bersahabat untuk tumbuh kembang anak. Yang sangat sering dibahas adalah
Cowboy Junior. Sebuah fenomena yang banyak dipuji dan dicaci.
Banyak yang beranggapan media salah karena tidak lagi menyajikan
cukup banyak hiburan untuk anak-anak. Dunia musik yang terlalu komersil, tidak
ada lagi lagu anak-anak, anak-anak lebih hapal lagunya D’Masiv daripada lagu
Lihat Kebunku. Kenapa anak-anak seumuran Cowboy Junior menyanyikan lagu tentang
cinta-cintaan. Mulailah pembahasan yang membandingkan dimasa lalu dimana ada
Joshua, Eno Lerian, dan Agnes Monica yang menyanyikan lagu anak-anak.
Setelah menyalahkan media dengan segala bentuk pengaruh buruknya,
kemudian muncul sebuah kesadaran baru. Banyak pihak mulai menyadari (meskipun
belum semua) bagaimana jika ternyata orang tualah yang salah. Bagaimana jika
orang tualah yang “menjerumuskan” anak-anak mereka sendiri sehingga menjadi
dewasa sebelum waktunya.
Kesadaran ini muncul setelah melihat kecenderungan orang tua jaman
ini menginginkan anak-anak mereka lebih menonjol dibanding anak lain. Entah itu
lebih cerdas, lebih aktif, lebih berprestasi dan segala hal lain yang terlihat
positif. Sangat sedikit orang tua yang ikhlas anak mereka menjadi just normal, menjadi anak yang
biasa-biasa saja.
Sesuai dengan hukum sahih ekonomi, dimana ada permintaan maka disana
ada penawaran. Disinilah para cerdik bisnis mengisi celah. Orang tua ingin
anak-anak mereka sesegera mungkin bisa calistung, muncullah sekolah untuk anak
usia dini (bahkan baru kemarin saya lihat di daerah Nusa Dua ada ruko dengan
iklan: BISA MEMBACA DALAM 1 JAM!) tak lagi cukup sekedar TK. Tak hanya itu,
tempat penitipan anakpun disertai dengan macam-macam pelajaran untuk si anak,
tak cukup menggambar dan mewarnai, bahkan pelajaran bahasa mandarin juga ada!
Satu hal yang cukup mencengangkan, saat ini di beberapa sekolah di
Denpasar, syarat seorang anak bisa masuk SD (berdasarkan cerita ibu-ibu di
kantor) adalah mereka harus bisa membaca. W.O.W! Kalau jaman saya sih SD kelas
1 ya saatnya kami belajar mengenal huruf, saya sendiri kelas 1 SD masih belum
bisa membedakan huruf B & D kecil (kalau saya jadi anak jaman ini saya
kemungkinan besar jadi buta huruf).
Keadaan ini tidak disadari berdampak lebih jauh. Saat orang tua
“memaksa” anaknya dewasa lebih cepat. Otak mereka tumbuh lebih cepat dari
fisiknya, masihkah kita bisa menyalahkan media dan lingkungan jika anak kita
lebih memilih Noah disbanding A.T Mahmud? Saat mereka menjadi dewasa di usia
yang masih sangat muda, menjadi salah siapa kalau mereka mengenal cinta-cintaan
terlalu cepat?
Ada lagi fenomena masa kini, anak-anak tidak lagi bermain layangan
atau berkeliaran di luar rumah. Merekalebih suka bermain Sony Play Station
seharian, internetan, atau bermain game online. Jangankan remaja, anak usia 3
tahunpun sudah kecanduan tablet PC. Dalam hal ini akan sangat mudah menyalahkan
orang tua karena memberikan fasilitas yang berlebihan, tidak mau repot
mengurusi anak. Maka jangan salahkan jika anak anda menjadi apatis, tidak bisa
bersosialisasi dan masalah-masalah sosial lain.
Dua perspektif tadi berokus pada siapa yang salah. Lingkungan atau
orang tua. Dan meletakkan anak di sisi “korban”.
Tapi,
Bagaimana jika ada perspektif lain? Sesuatu yang mungkin terdengar
melenceng yang ada kaitannya dengan Relativitas.
Saat kita runut ke belakang dan kembali pada sejarah, pada hakikat
alam semesta bahwa semesta dan segala hal yang ada di dalamnya berevolusi.
Termasuk manusia. Bagaimana jika dalam perkembangan anak-anak jaman ini
sebenarnya tidak ada pihak yang harus dikambinghitamkan dan tidak ada yang
menjadi korban. Bahwa semua ini adalah proses yang disebut evolusi.
Perbandingan paling sederhana, jaman Ibu saya, bermain adalah di
jalanan di bawah sinar bulan purnama menceritakan urban legend yang seram-seram
kemudian diakhiri dengan bernyayi lagu Curik-curik bersama.
Sekitar 30 tahun kemudian, jaman saya bermain adalah baju-bajuan
menggunakan design gambar-gambar baju yang di jual mas-mas keliling atau
bermain masak-masakan dengan kitchen set plastik mainan dengan aneka warna.
15 tahun kemudian, jaman adik saya, bermain adalah Sony Play Station
1 dan segala game yang ada di dalamnya seperti Harvest Moon dan Crash Bandicoot.
Saat ini, bermain adalah bermain Angry Bird di tablet PC atau Candy
Crush Saga di Facebook. Terasa sekali
bedanya dengan masa-masa sebelumnya
bukan?
Tanpa kita sadari kita pasti menganggap masa kecil kitalah yang
terbaik dan paling berkesan. Saya masih ingat percakapan Bapak dan adik saya,
saat itu Bapak bercerita saat dia sesusia adik saya (SD kelas 4 – 6) dia
memelihara sapinya sendiri dan bermain adalah belepotan bermain lumpur bersama
sapi di sawah, dengan enteng adik saya menjawab bahwa dia juga memelihara
sapinya sendiri di game Harvest Moon.
Ini adalah proses evolusi manusia. Cara manusia beradaptasi dengan
lingkungannya. Bukan lagi bertahan hidup dari serangan binatang buas tetapi
dari ciptaannya sendiri yang bernama teknologi.
Mungkin ini memang sudah saatnya anak balita bermain tablet PC, anak
usia 5 tahun sudah harus lancar perkalian dan segala kecerdasan kognitif
lainnya. Tapi hukum alam akan tetap berjalan. Aksi dan reaksi. Ketika
pendewasaan pikiran manusia menjadi lebih cepat jika dibandingkan dengan
periode-periode sebelumnya tentu perubahan ini akan menyertai hingga prosesnya
berakhir.
Apa? Manusia bisa membaca lebih cepat, lulus sekolah lebih cepat,
jadi dokter lebih cepat, hormone-hormone matang lebih cepat, dan yang saat ini
kita hadapi rerata umur manusia akan relatif memendek dari periode sebelumnya.
Disinilah relativitas bekerja. Manusia tidak lagi diukur dari
umurnya. Tidak lagi dari rentang waktu tetapi mungkin akan dilihat melalui
fasenya. Fase bayi, anak-anak, remaja, dewasa. Mungkin nanti saat usia 15 tahun
seorang anak akan dikatakan dewasa, karena semua tak lagi terukur waktu.
Sulit untuk diterima memang, karena kehakikian kita adalah lebih
mudah untuk menyalahkan orang lain ketimbang tidak ada yang bisa disalahkan.
Terlepas dari kemanusiaan, setiap makhluk meiliki insting sendiri untuk
bertahan. Kembali pada kemanusiaan, orang tua bisa membantu seberapa lama
seorang anak ingin “diletakkan”pada fase tertentu. Yang penting adalah jika
fisiknya telah siap menghadapi kecepatan tumbuh pikiran dan psikisnya maka
itulah kenormalan.
Sebagai seorang yang belum punya anak dan belum berencana punya anak
dalam wajtu dekat, saya cukup yakin bahwa mengasah logika anak akan membantu
mereka memasuki fase selanjutnya dalam kehidupan.
Semoga bermanfaat….
Nusa Dua, 6
Agustus 2013
11.17 pm
Yulia Windayani.
Logic Rule!
ReplyDelete