Sunday, July 10, 2022

Setelah 10++ tahun menjadi mbak-mbak kantoran alias corporate slave, saya mengalami beberapa kali gonta ganti perusahaan. Dan tentu saja gonti ganti bos juga. Karena kalau tentang perusahaanya, rata-rata ya mirip. Dalam bidang pekerjaan ini, syukurnya hampir selalu bekerja dengan perusahaan yang cukup taat peraturan. Kalaupun ada nyeleneh dikit, masih bisa dibicarakan baik-baik.

Nah, urusan Bos-nya lain lagi. Berbagai macam jenis yang pernah saya temui. Mulai dari yang bikin adem, sampai yang bikin anyep, asem dan geram! Di industri kerja saat ini ada berbagai sebutan untuk para bos: Atasan, Bos, Leader, Manager, Supervisor, Director. Pokoknya you know what I mean kan ya.

Saat baru lulus kuliah, masih naif, berpikirnya bahwa para atasan ini adalah manusia super yang akan berprilaku ideal selayaknya yang dititahkan buku-buku management itu. Lalu begitu masuk tempat kerja, ketemu atasan berbagai bentuk dan rupa. Ada yang lumayan mendekati deskripsi di pelajaran, ada juga yang bikin geleng-geleng kepala saking herannya kok bisa mereka dapat posisi tinggi itu. Beberapa kali kecewa, kenapa kok ga sesuai dengan pelajaran pas kuliah. Lalu diktat-diktat management dan leadership itu disusun berdasarkan standar idealnya siapa dong?

Sampai akhirnya beberapa tahun lalu saya sadar, ada hal yang lupa dituliskan dalam diktat-diktat kuliah management dan leadership itu. Bahwa para atasan ini juga manusia. Manusia biasa. Bukan superhero, bukan genius yang terpapar sinar gamma, bukan dewa-dewa dari Asgard. Ya, mereka manusia, sama seperti kita semua.

Tahun 2017 tepatnya, ketika saya bertemu bos terburuk sekaligus terbaik yang pernah saya kenal. Sebut saja namanya Pak Uban. Dia adalah General Manager (GM) di perusahaan saat itu. GM ini adalah pimpinan tertinggi di kantor. Dia biasanya langsung berurusan dengan kantor pusat dan pemilik perusahaan.
Terburuk karena tempramennya yang meledak-ledak. Tidak bisa diprediksi, macam cuaca pancaroba. Sebentar-sebentar hujan badai, tiba-tiba panas terik, lalu sesekali yang bisa dihitung jari bisa juga adem dan teduh. Pak Uban adalah tipe bos yang akan berteriak-teriak dan mencaci maki karyawan hanya karena kesalahan-kesalahan sepele. Morning briefing rasanya seperti neraka karena kami selalu menunggu kapan Pak Uban akan meledak marah dan salah satu dari kami menjadi korbannya. Suasana di tempat kerja rasanya seperti medan perang! 

Keadaannya memang seburuk itu. Paling parah yang saya pernah dimaki-maki di depan restaurant yang penuh tamu gara-gara ban mobil yang terlambat diganti (saya bukan montir by the way). Pernah juga dia berteriak-teriak mengatakan kalau saya dipecat di hadapan 20an orang karyawan yang sedang berkumpul di kantor. Kejadian berteriak-teriak dan keluar kata-kata pemecatan ini tidak hanya terjadi sekali. Berkali-kali, seminggu bisa terjadi berulang kali.

Hanya 3 bulan, saya nyaris menyerah. Jaman itu belum banyak orang pakai istilah self love, tapi itu yang saya mau. Gimana mau self love kalau tiap hari bawaannya tertekan lahir bathin. Saat itu keadaannya berat, punya bos gila, berkantor di desa terpencil di pegunungan Oman, jauh dari keluarga, jauh dari dunia. Separah saya sampai harus konsultasi ke psikolog!

Nyaris menyerah, tetapi belum. Bagaimana bos amburadul ini di saat yang bersamaan bisa saya beri lebel bos terbaik juga? Yaps, situasi saat ini memang sayanya mentally agak labil dan memutuskan bertahan. Tapi dengan strategi baru, saya datangi Pak Uban, takut dan gemetar, tapi saya masih ingat yang saya ucapkan saat itu, begini kira-kira "Kalau kamu memang tidak suka dengan saya, lebih baik kamu pecat saya secara formal. Jangan berteriak dan memaki, cukup buatkan surat pemecatan resmi. Maka saya akan pergi. Tetapi kalau kamu masih mau saya bekerja disini, tolong bantu saya untuk bisa percaya dengan kamu. Karena tidak ada orang lain yang bisa saya percayai lagi selain kamu"

Percaya atau tidak, keajaiban sepertinya memang ada. Semenjak saat itu hubungan kami berubah. Dia tetap menjadi Pak Uban yang menyebalkan dan suka berteriak-terian, tetapi kami mulai berteman dengan cara yang aneh. Mungkin seperti para pembully pada umumnya, mereka kaget ketika kita melawan. 

Awalnya, dia sering datang dan sekedar bercerita tentang anak-anaknya di sekolah. Tentang istrinya yang sedang les bahasa Arab, atau sesekali tentang film-film yang disukainya. Dari sana saya agak tersadar, oh iya, bapak ini juga punya kehidupan di luar pekerjaannya. Punya keluarga yang dicintai. Punya lagu yang penuh memori, hobi yang membuatnya bersemangat. Saya sepenuhnya lupa! Mungkin saja dia tidak punya teman cerita. Pasti juga berat buat dia tinggal di pegunungan terpencil ini tanpa teman untuk berbagi. Bertemu dengan keluarga hanya sesekali, belum lagi tekanan bisnis yang pasti tidak mudah. Paling lucu ternyata beberapa kali niat dia awalnya hanya bercanda, tapi kami sudah gemetar ketakutan, sehingga kami menganggap dia marah betulan. Ya gimana mau paham, jokes-nya suka aneh. Sampai akhirnya dia print-kan beberapa jokes nyleneh orang British, jadi bisa lebih nyambung!

Lebih mudah memang kalau mau saklek dan bilang, ya kan jadi GM gajinya setinggi langit, resiko dia kalau beban kerja makin tinggi. Bukan berarti bisa semena-mena juga. Benar sekali! Memang pilihannya lebih baik pergi dari manusia macam ini. Sayangnya saat itu saya tidak punya kemewahan untuk memilih pergi. Pilihannya hanya bertahan, dan saat itu saya bisa bertahan karena saya melihatnya bukan hanya sebagai atasan, tetapi sebagai manusia. Mencoba mengerti bahwa dia tidak punya teman cerita. Salah satu bos terdahulu saya pernah bilang kalau posisi GM ini adalah posisi yang agak kesepian. Karena agak susah untuk benar-benar berteman di kantor. Tidak ada rekan sekerja, semua bawahan kan. Pemikiran ini membuat hidup lebih mudah, lebih legowo.

Ya memang, dia masih suka datang marah-marah dan membuat saya menangis karena kesal. Tapi di saat yang sama dia membantu saya menyembuhkan patah hati karena putus cinta. Mengijinkan saya mengambil libur untuk menenangkan diri. Disaat yang sama, dia juga yang mengajarkan saya tentang membangun hubungan baik dengan owner, kreatifitas dalam mengembangkan ide-ide di tempat kerja, memberi kesempatan untuk memahami operasional perusahaan tidak hanya di department sendiri tetapi semua department lain. Hal yang sebelumnya tidak pernah saya lakukan. Setelah bertahan 2 tahun bekerja dengan Pak Uban, rasanya saya jauh lebih percaya diri. Karena lebih paham seluk beluk operasional.

Meski aneh begitu Pak Uban juga akhirnya benar-benar menjadi satu-satunya orang yang bisa saya percaya dengan segala cerita. Termasuk urusan personal. Ketika bekerja di negeri antah berantah itu, ketenangan urusan personal sangat mempengaruhi mood kerja. Suatu ketika, saat saya tak lagi percaya cinta saya pernah bilang ke Pak Uban "I dont like falling in love, it makes me stupid" Jawaban pak uban manis banget "No winda, falling in love makes you human" kan meleyooottt. 

Lalu apa yang membuat saya bertahan menghadapi Pak Uban? Karena ketika saya menyerah, ada orang yang menyemangati saya untuk tetap bertahan. Yang meyakinkan saya kalau saya bisa menghadapi Pak Uban, maka saya bisa menghadapi mungkin siapapun. Dan yang menyemangati ini adalah mantan atasan saya sebelumnya. Sebut saja namanya Pak Londo. Kata dia saat itu yang selalu saya bawa kemanapun pergi "watch and learn Winda, but dont let them change who you really are"

Pak Londo saya masukkan dalam kategori best of ter-the best pokoknya. Mungkin bisa masuk kategori leader idaman sesuai diktat-diktat perkuliahan leadership itu. Meski demikian, ada juga yang menganggap Pak Londo tidak cukup baik menjadi atasan. Beberapa yang saya dengar adalah dia sangat kaku dan saklek saat menegakkan peraturan. Kurang manusiawi terkadang. Ada juga yang bilang semenjak dia mendapat promosi ke posisi yang lebih tinggi, dia banyak berubah. Semacam tidak lagi se-friendly dan se-luwes dulu.

Itu membuat saya sangat berhati-hati saat berurusan dengan Pak Londo. Tapi lagi-lagi ada kejadian yang mengingatkan saya bahwa pada akhirnya para atasan, bahkan bos besar ini juga manusia biasa. Saya sadarnya ketika beberapa kali saat kepo siapa yang melihat story IG receh saya, ternyata ada account Pak Londo juga. Walahi, Pak Bos main sosmed juga toh. 

Kata-katanya yang tidak akan pernah saya lupa itu begini, dan ini agak sulit saya terjemahkan "Be bold Winda. That's only how people will notice and remember you" Agak susah awalnya. Tetapi Pak Londo memang memberikan saya banyak sekali kesempatan untuk menjadi berani dan sesekali mengambil keputusan-keputusan nekat! Termasuk dalam kehidupan pribadi. Pak Londo salah satu orang yang duluuuu sekali meragukan keputusan saya yang hampir menikah, dan ternyata memang hubungan itu tidak berhasil. Saat sangat terpuruk dan merasa bersalah karena sedikit bahagia dia juga yang mengingatkan "kalau itu membuat kamu bahagia, mungkin hal itu tidak terlalu buruk juga"

Pernah sekali waktu saya mengecewakan beliau urusan pekerjaan. Tapi dia tetap baik. Tetap mau berurusan dengan saya seperti teman lama. Membantu saya dalam banyak hal.

Suatu ketika dia bercerita bagaimana pandemi membuat dia tidak bisa bertemu dengan ayahnya yang sudah sangat tua. Pekerjaan membatasi waktunya untuk bertemu anak-anaknya yang tinggal berbeda negara. Orang tuanya yang tak lagi bisa leluasa bepergian.

Memang mudah sekali melihatnya sebagai manusia super. Di tempat yang jauh tinggi tak tersentuh. Mengambil keputusan-keputusan strategis yang kadang tak selalu bisa diterima mbak-mbak kantoran macam saya karena melibatkan banyak perhitungan njelimet. Pokoknya kalau keputusannya menguntungkan saya senang. ketika keputusannya tidak menguntungkan saya, saya misuh-misuh.

Sangat mudah memang menyalahkan mereka. Apalagi memaki-maki di belakang punggungnya. Menjelek-jelekan mereka sambil makan siang. Topik yang tidak akan pernah ada habisnya. Toh tidak akan sampai ke telinga mereka juga (mudah-mudahan). Mereka adalah entitas yang paling mudah dijadikan kambing hitam. Seperti jaman ketika manusia percaya dewa-dewa. Hujan tak turun anggap saja dewa-dewa sedang tidak bermurah hati. Jaman sekarang bonus tidak cair anggap saja bos sedang tidak bermood baik. Hahahaha....

Tidak hanya mereka berdua sebenarnya, ada beberapa orang lagi yang meyakinkan saya kalau terkadang kita agak kurang fair. Melihat mereka semata-mata dari posisinya saja. Lupa memanusiakan. Lupa kalau mereka juga bisa bingung, galau, sedih, gembira, membuat kesalahan, dan sering juga berniat baik. Nanti kapan-kapan saya cerita lagi tentang beberapa orang lainnya.

Kenapa menulis ini? Mau menjilat si bos-bos itu? Engga akan ngaruh, mereka tidak akan paham tulisan saya juga. Hanya untuk self note saja. Sebelum misuh-misuh dan menyalahkan mereka, saya mencoba untuk mengerti. Mencoba mencari cara untuk membuat urusan bisa lebih mudah. Kalau tidak bisa lagi, tinggal cabut pergi. Tetapi, satu hal yang selalu saya lakukan, untuk tidak membenci. 

Kalau bosnya baik, tidak mungkin benci sih.
Kalau jahat? Kalau kita dipecat? Iya saya pernah dipecat kok, nanti kapan-kapan saya cerita. Tapi, mudah-mudahan sampai saat ini saya tidak ada marah, benci atau dendam. Saya berusaha memanusiakan keadaannya. Mungkin memang si bos yang pecat saya sudah tidak punya pilihan lain yang menurutnya masuk akal saat itu.

Toh hidup terus berjalan dan saya baik-baik saja :)

Selamat menjadi manusia!
Semoga bos kamu menyenangkan!
Kalau tidak mungkin saatnya mencari bos lain, atau kamu yang jadi bosnya!

Photo by Kelly Sikkema on Unsplash

1 comments:

  1. Baca tulisan ini aku jadi mikir, bosku dulu yang ngehe abis (eh dia bosnya bosku sih, deputi gitu) masih belum ada apa-apanya haha. Keinget beberapa kali harus berangkat bareng ke luar kota, akunya yang jadi gak enak sama tim lokal karena permintaan baginda ini kadang di luar nalar. Cuma bisa minta maaf akunya hwhw.

    ReplyDelete

A Piece of Mind . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates