Menjadi Perempuan Itu, Harusnya..... (Part II)
Kayaknya pertama kali menulis topik ini sekitar lima tahun lalu. Barusan saya bongkar-bongkar lagi tulisan lama itu, puk-puk untuk Winda 5 tahun lalu karena Winda hari ini masih setuju dengan isi tulisannya.
Berbeda dengan 5 tahun lalu, "tuntutan" menjadi perempuan di usia saya sedikit berubah. Saya juga minta pendapat teman-teman di instagram dan beberapa orang ikut ikut berpendapat tentang apa yang menjadi tuntutan menjadi perempuan yang mereka sering dengar dan rasakan. Dan beberapa point ini dari mereka
Memasak
Mungkin pola pikir ini dimulai sejak jaman manusia purba pemburu pengumpul. Ketika para lelaki dalam kawanan berburu dan mengumpulkan makanan lalu membawanya pulang, para perempuan tidak bisa ikut berburu karena harus menyusui anak-anaknya. Sehingga perempuanlah yang menunggu di rumah (atau goa mungkin saat itu ya) dan mengolah bahan makanan yang dibawakan para pria.
Yah, kalau dipikir lagi meskipun sekarang sudah era revolusi sains, tapi masih banyak pola pikir jaman purba. Ini yang membuat kita frustasi, tapi mungkin karena sudah ikut tercetak dalam blue print DNA jadi agak sulit dihapus.
Malah ngawur kan.
Tidak ada yang salah sebenarnya kalau ada yang bilang jadi perempuan itu harusnya bisa memasak. Dulu saya tidak setuju. Karena saya tidak (mau) memasak. Belakangan pemikiran itu berubah cukup drastis. Terutama setelah sempat menjadi TKW yang tinggal di negeri antah berantah dan pandemi dua tahun belakangan.
Yang saya tidak setuju adalah yang dituntut bisa memasak kenapa harus perempuan? Narasinya harusnya diubah menjadi, manusia dewasa harusnya bisa memasak. Perempuan, laki-laki, non binary, apapun dan siapapun. Karena menurut saya memasak adalah life skill. Sama dengan skill memilih alpukat matang! Duh, ngawur lagi.
But then again, memasak seharusnya kemampuan wajib manusia dewasa. Yes true, jaman sekarang segalanya ada yang jual. Yang penting punya uang segala makanan bisa di beli. Praktis, kadang malah lebih murah dan juga enak. Sayangnya pandemi mengajarkan hal yang berbeda, apa yang tadinya kita bisa beli dengan mudah tidak lagi terjangkau karena masalah keuangan yang kacau balau.
Dengan bisa memasak, setidaknya banyak pengeluaran bisa di hemat. Masak nasi misalnya, kalaupun sisa bisa dibuat nasi goreng besokannya biarpun hanya dengan modal telur ceplok, garam, kecap dan cabe potong. Kalau tidak bisa memasak? Piye? Contoh lain, akibat pandemi harus tinggal di kampung. Pilihan menu terbatas karena tidak ada uang. Sayur petik di kebun hanya ada daun singkong? Gimana masaknya? Rebus, bikin sambel cabe, bawang putih garam dan jeruk limau, campurkan di rebusan daun singkong, tambah nasi, makan deh.
Memasak adalah kemampuan bertahan hidup. Jadi bukan hanya perempuan yang harusnya bisa memasak. Semua manusia berdaya haruslah bisa masak!
Dandan dan Merawat Diri
Bahkan dalam kesehariannya saja, ada dua kubu utaman jenis perempuan untuk urusan ini. Mereka yang passionate urusan skin care, perawatan dan dandan. Dan mereka yang "aku ga make up, cuma cuci muka pake air PDAM aja tiap hari"
Saya?
Saya ada di antara kedua sisi extreem itu. Saya masih facial tiap bulan (kalau inget), pakai perawatan untuk kulit berjerawat. Punya cukup banyak lipstik kalau dibandingkan sebagian besar orang. Pengen coba eyelashes extention (tapi masih takut)
Saya punya kenalan yang kalau dandan selalu full! Jangan kan acara-acara resmi dan kondangan, nge-gym aja make up komplit! Dan saya super salut sama dia. Seorang ibu 4 anak, anaknya masih kecil-kecil pula. Masih sempat merawat diri lebih telaten dari diri saya. And that's her hobby. That's what makes her happy. So why we should judge her?
Ada juga kenalan saya yang biarpun ke kantor, nampaknya pake pelembab aja endak. Cuci muka, sat set sat set, berangkat kantor. Tapi kerjaannya selalu rapi, teliti dan selalu beres. Suami dan anaknya juga sayang dia. Rumah tangganya bahagia. Lalu apakah dia harus dandan biar mendapat approval dari orang-orang?
Agak sama seperti laki-laki.
Ga harus semua laki-laki punya six pack. Ga harus semua laki-laki suka road trip dan touring. Perempuan juga begitu.
Menikah dan Punya Anak
Salah dua pertanyaan yang paling sering ditanyakan ke saya.
"Maaf, ibu sudah berkeluarga?" atau "Ibu sudah ada anak?" atau "Nunggu apa lagi sih? Pacar ada kerjaan ok. Nikah aja sih"
Sukurnya, saya tidak pernah merasa pertanyaan-pertanyaan itu mengganggu. Kan kita punya hak untuk menjawab atau tidak. Hanya saja untuk banyak orang pertanyaan ini mengganggu.
Apalagi kalau dengan tambahan "Belum sempurna jadi perempuan kalau belum menjadi ibu?"
Astagfirullah! Kegiatan reproduksi tidak membuat makhluk hidup menjadi sempurna atau tidak. Kegiatan reproduksi pada dasarnya, lagi-lagi, adalah insting semua makhluk hidup dari jaman purba untuk memastikan kelangsungan hidup spesiesnya. Tidak hanya manusia. Lumba-lumba, kelinci, tawon, semua juga begitu. Nah, lalu manusia meromantisasi kegiatan berkembang biak ini menjadi tindakan mulia dan maha sempurna.
Well, argument saya, tujuan berkembang biak (punya anak) adalah untuk memastikan keberlangsungan spesies kita di muka bumi. Jumlah manusia di muka bumi (sebelum di kurangi korban perang Ukraina baru-baru ini) as of November 2021 sebanyak 7,9 miliar! Sementara populasi gajah afrika di tahun 2020 hanya tersisa 40,000 - 50,000 ekor saja! (datanya dapat dari WWF). Lalu populasi harimau sumatra menurut kementrian lingkungan hidup tahun 2018 hanya 603 ekor saja!
Masih yakin perempuan (dan manusia) harus punya anak?! Yang seharusnya berkembang biak itu sudah bukan manusia lagi. Yang berkembang biak harusnya hewan-hewan yang menjaga rantai makanan tetap seimbang. Biar tidak tiba-tiba petani gagal panen jagung gegara jagungnya dimakan belalang. Kebanyakan belalang karena ga ada burung-burung. Rantai makanan rusak. Tuh ngawur lagi!
Fokusnya bukan pada "perempuan harusnya menikah dan punya anak" fokusnya lebih baik pada "kemanusiaan haruslah membantu komunitas masing-masing untuk berdaya dan bisa terbebas dari buta huruf, putus sekolah, kelaparan dan kemiskinan" itu baru harus!
Punya Pilihan
Dari hal-hal sederhana semacam: pakai lipstik atau tidak. Sulam alis atau ga usah. Pasang tatto atau masih takut. Sampai keputusan-keputusan besar seperti pilihan untuk menikah, punya anak, bekerja, berwirausaha, ngontrak rumah sendiri, bahkan keputusan untuk steril! Itu keputusan perempuan. Dan hak manusia merdeka pada dasarnya.
Seringnya peranan perempuan untuk memilih arah hidupnya sendiri dikerdilkan oleh dogma di masyarakat. Perempuan tidak boleh pulang malam biar tidak dibilang nakal. Makanya setelah menikah tidak bisa lagi bekerja jadi pelayan atau kasir di kelab malam nanti dibilang nakal. Seorang istri kalau mau pindah kerja harus atas seijin suami dulu. Saya bilng ijin suami lho ya, bukan kesepakatan bersama dalam rumah tangga. How do I know? Seriiiing banget saya menawari seorang perempuan kesempatan mengembangkan karir, jawabannya "Ntar ya bu, saya harus ijin suami dlu" bukannya bilang "Ntar ya bu, saya diskusikan dulu dengan suami" dua hal ini kan sangat berbeda konteksnya.
Tetapi sebenarnya kita semua harus punya pilihan. Mungkin lebih tepatnya punya kebebasan untuk membuat pilihan. Dan kebebasan memilih ini harus dimiliki oleh semua orang. Laki-laki, perempuan, non binary, gender neutral, apapun, siapapun.
Ketika perempuan ingin menjadi mandor konstruksi bangunan, let her be. Pun ketika laki-laki ingin menjadi capster di salon, let him be! Ketika perempuan memutuskan untuk tidak punya anak, that's her right. Ketika laki-laki memutuskan untuk vasektomi, he has the full right on his body.
Berpenghasilan
Nope, saya tidak bilang perempuan harus kerja kantoran atau harus jadi pengusaha.
Tetapi berpenghasilan. Jaman sekarang cari uang caranya berbagai macam kok. Asalkan jangan yang kriminal saja ya.
Menurut saya pribadi, ini yang paling penting. Menjadi mandiri dengan penghasilan sendiri. Dengan ini biasanya membuat lebih percaya diri. Karena kita paham setiap resiko akan keputusan yang kita ambil dan bagaimana bertahan hidup setelahnya. Berpenghasilan juga adalah life skill. Survival skill.
Tidak selamanya orang tua bisa menanggung biaya hidup kita. Tidak selamanya penghasilan suami bisa menutupi kebutuhan keluarga. Tidak selamanya ada suami/pasangan yang akan menyokong hidup kita. Selalu punya kesadaran jika tiba-tiba semua safety nett itu hilang sejauh mana kita bisa bertahan?
Ada kenalan saya, tidak bekerja kantoran, tapi menghasilkan uang dengan menulis artikel-artikel yang dia jual ke media. Ada juga kawan perempuan yang dengan berani memutuskan bercerai lalu sekarang menjadi salah satu MUA handal di Bali. Ini beneran, waktu si John Legend dan istrinya ke Bali, dia yang dandanin mereka dengan pakaian adat bali.
Ada tante saya yang nekat buka salon rumahan meskipun waktu itu suaminya tidak setuju, dan akhirnya ketika pandemi melanda, salon rumahan itulah yang menyelamatkan keluarga mereka karena penghasilan suaminya tiba-tiba 0.
Perempuan berpenghasilan bukan untuk terlihat hebat. Tetapi untuk bertahan hidup. Istri yang berpenghasilan bukan untuk jumawa, tetapi untuk berbagi tanggung jawab dengan suami. Untuk memastikan dirinya dan keluarganya aman dan bisa fokus mengejar cita-cita yang lain
Kita terlalu lama hidup dalam dikotomi.
Perempuan harus begini, laki-laki harus begitu.
Anak gadis mainnya ini, anak laki-laki hanya boleh main itu.
Perempuan tidak boleh terlalu vokal, laki-laki tidak boleh menangis.
Perempuan harusnya mengasuh anak, laki-laki harus bisa adu jotos.
Itu semua pemikiran jaman batu.
Ketika bikin api saja harus menggesekkan batu dan kayu.
Menjadi Perempuan itu, harusnya bahagia.
Menjadi Perempuan itu, harusnya tak terikat dogma
Menjadi Perempuan itu, harusnya penuh suka cita
Karena pada dasarnya perbedaan pria dan wanita, hanya pada penis dan vagina.
Itu saja.
P.S tulisan ini untuk perempuan luar biasa yang membagikan ceritanya pada saya, Mbak Rika, Adelia, Siska, Mbok Rahayu
Selalu sukaaa tulisan anak muda berbakat ini.. realistis dan membuka wawasan.. semangat utk semua perempuan di muka bumi ini..
ReplyDelete