Saturday, March 12, 2022

Setiap orang punya tujuan yang berbeda-beda setiap kali mereka liburan. Ada yang memang ingin menikmati tempat wisata, ada yang tujuan utamanya untuk mencoba berbagai makanan dari daerah yang dituju, ada yang memang niat untuk kegiatan adventure, dan ada juga seperti sahabat saya yang memang niatnya memang harus ambil foto sebanyak-banyaknya. 

Kalau saya, tujuan utama liburan adalah untuk bertemu orang-orang dan mendengar cerita. Karena cerita dari tempat baru selalu fascinating! Melihat hidup dari sudut pandang yang berbeda. Dan pada akhirnya celebrating the difference. Karena dengan mendengarkan cerita membantu saya untuk tidak jumawa. Menganggap budaya sendiri yang paling indah, paling hebat. Padahal di luar sana banyak sekali cerita yang belum kita dengarkan.

Makanya ketika di Sumba senang sekali ketika saya punya banyak teman yang mau bercerita. Ada beberapa cerita di Sumba yang menurut saya tidak kalah menarik dengan keindahan alamnya. Cerita ini adalah penuturan teman perjalanan saya, para driver, photographer dan guide yang orang asli Sumba. Kalau saya ada menulis dengan keliru, tolong diingetin ya.

Teman bercerita sepanjang perjalanan


Kasta
Sebagai orang Bali, kasta bukan hal asing buat saya. Di banyak hal dalam aspek kehidupan bermasyarakat kami, banyak hal ditentukan oleh kasta. Semakin tinggi kasta, semakin tinggi standar-standar yang ditetapkan. Lihat saja upacara keluarga-keluarga kasta ksatria (raja) di Bali ketika menikah atau ngaben. Megah!

Kalau di Bali tatanan sosial masyarakat dibagi menjadi 4 tingkatan kasta, kasta di Sumba dibagi menjadi tiga. 

Kasta tertinggi adalah Bangsawan atau Maramba. Para Maramba ini adalah para Tuan. Ya tuan tanah, ya tuan penguasa, pokoknya yang kaya dan berkuasa. Memang tidak semua masih kaya hingga keturunannya hari ini tetapi sebagian besar dari orang kaya di Sumba dari kasta Maramba. Kalau bukan kemungkinan pendatang yang bisnis di Sumba, atau kasta lain yang dengan kerja keras dan keberuntungan bisa menjadi kaya.

Di tengah-tengah ada kasta Kapihu atau orang biasa. Beberapa juga menyebutnya sebagai orang-orang yang bebas. Sebagian besar orang Sumba dari kasta Kapihu. Mereka sama seperti kebanyakan dari kita semua.

Lalu ada kasta hamba atau Ata, menurut saya, kasta ini yang paling membuat sedih. Ata benar-benar menjadi hamba sahaya bagi bara bangsawan. Boleh dibilang menjadi budak mereka! Dan ya, mirisnya hingga kini praktek tuan dan budak ini masih berlangsung. Coba browsing, banyak berita tentang hal ini. Yang lebih membuat tidak percaya, kasta ini diturunkan dari orang tua ke anak. Misalnya Tuan X adalah seorang bangsawan, dia punya ata bernama Bapak A. Bapak A akan mengabdi kepada Tuan X sepenuhnya. Mengurus ladang, tarnak, rumah, memastikan segala kebutuhan tuannya terpenuhi, tanpa di bayar. Ya tidak di bayar! A real modern day slavery

Ketika Tuan X punya anak, Bapak A juga akan menjadi budak anaknya Tuan X. Yang membuat lebih marah, jika Bapak A menikah (dan Maramba bisa memaksa Ata-nya untuk menikah) maka otomatis istri dan anak-anak ata-nya menjadi budak anak-anak Tuan X. Begitu terus menerus, turun temurun. Parahnya, jika si tuan punya ladang yang luas dan dia perlu banyak tangan, maka dia akan memastikan hambanya utk menikahi lebih banyak perempuan sehingga akan punya tenaga kerja gratis! Demn!!

Jangankan upah untuk hasil kerja kerasnya, kerap kali para hamba ini juga kekurangan makan. Tuannya tidak peduli, yang penting kebutuhannya terpenuhi. Lebih menarik lagi, kalau di Bali, didalam masyarakat orang tua sering dipanggil dengan nama anaknya. Biasanya anak pertama. Ibu saya misalnya, di kampung biasa dipanggil Bu Winda (ibunya winda). Nah, kalau di Sumba, seorang Maramba dipanggil berdasarkan nama atanya. Misanya nama hambanya adalah Saman. Maka Tuannya yang laki-laki akan dipanggil Umbu Nai Saman (Bangsawan laki-laki yang mempekerjakan Saman). Tuan yang perempuan akan dipanggil Rambu Nai Saman (Bangsawan perempuan yang mempekerjakan Saman)

Tadinya sempat mikir, miris ya jadi orang Bali. Masih banyak diskriminasi hanyak karena urusan kasta. Hey, jangan terlalu bangga kamu majenun. Di Sumba urusan kasta ini juga sama ribetnya dengan di Bali. Penjelasan sederhana ini mungkin tidak bisa menggambarkan unggah ungguh kasta di Sumba, tetapi siapa tau setelah ini jadi tertarik untuk tau lebih banyak.

Belis
Masyarakat Sumba penganut Patrilinial. Jadi, setelah menikah istri akan ikut keluarga suami. Dalam sebuah pernikahaan ada yang namanya Belis. Belis ini seperti mahar atau mas kawin. Diberikan oleh calon suami kepada keluarga calon istri.

Dalam banyak budaya lain di Indonesia (bahkan juga di beberapa negara lain), mahar biasanya ditentukan oleh keluarga pengantin wanita dengan banyak pertimbangan. Lalu mahar yang diberikan biasanya dalam bentuk harta benda mulai dari perhiasan, logam mulia, uang, dan di jaman modern bisa juga benda-benda seperti rumah dan mobil. 

Di Sumba sedikit berbeda. Besarnya belis ditentukan oleh para saudara laki-laki (paman) pengantin wanita dari pihak ibu. Alasannya, karena belis anak perempuan tidak boleh lebih kecil daripada belis ibunya saat dia menikah dahulu. Dan yang persis tahu besaran belis ibunya adalah para paman ini. 

Nah yang menjadi belis adalah hewan ternak. Dalam dunia per-belis-an hewan ternak juga ada kastanya. Paling tinggi tentu saja kuda. Menyusul ketat di belakangnya adalah kerbau. Setelahnya agak jauh tertinggal ada babi dan kambing. Besarnya belis bisa cukup besar. Mencapai puluhan kuda dan kerbau, lalu ratusan kambing dan babi. Kasus yang paling extreem pernah ada seorang calon pengantin dari keluarga bangsawan yang meminta 100 (ya seratus) ekor kuda! Belum termasuk hewan-hewan yang lain. Abis itu langsung bisa bikin peternakan dah.

Waktu itu saya bertanya, di jaman modern ini apakah masih tetap meminta hewan-hewan ini sebagai belis? Maksudnya, bukankah lebih praktis jika hewan ini diuangkan saja? Menurut Kak Ahung, memang ada sedikit pergeseran ke arah sana, tetapi jikapun diuangkan, uang itu dianggap sebagai kuda mati! Harganya jadi lebih murah dan tidak perkasa. Sehingga hewan tetap menjadi pilihan utama.

Tidak selesai sampai disana, pembayaran belis juga bisa dilakukan dengan sistem mencicil. Misalnya keluarga wanita meminta 40 ekor kuda sebagai belis, tetapi calon suami baru sanggup 20 ekor saja, selama mereka bersepakat, maka sisanya bisa dibayar seiring berjalannya waktu setelah keduanya menikah. Misalnya setiap ada acara adat di rumah keluarga perempuan akan dikirimkan beberapa ekor kuda untuk mencicil sisa hutang belis terdahulu.

Sayangnya, belis dianggap sebagai media untuk membeli pengantin perempuan dari keluarganya. Jika belis sudah dibayar lunas, maka si perempuan sepenuhnya menjadi hak suami (ingat, saya tulis hak, karena kewajiban sangat jarang disebut-sebut). Ekstreemnya jika orang tua si perempuan sakit dan dia ingin menengok, jika suaminya tidak mengijinkan dia untuk pulang ke rumah maka istri tidak akan pulang ke rumah. Pun ketika dia dianiaya, keluarganya bahkan tak punya kuasa untuk membantu anaknya. Karena anaknya sudah dibayar tunai. Miris kali.

Salah seorang teman di kantor asli Kupang, menikahi perempuan Sumba. Dia juga membenarkan bahwa dibandingkan dengan daerah NTT lainnya, belis-nya perempuan Sumba memang paling mahal. Saya juga ingat obrolan bertahun-tahun lalu ketika mengunjungi Maumere, seorang perempuan Maumere yang saya temui bercerita kalau disana belis-nya biasanya adalah kambing.

Dalam sebuah jurnal ilmiah yang saya baca, semenjak tahun 1950an belis mengalami pergeseran makna. Tadinya belis dianggap sebagai penyeimbang. Masyarakat Sumba yang saat itu masih menganut aliran kepercayaan mempercayai belis adalah upaya untuk penyeimbang ruang (kosmos) dari masing-masing pihak. Ketika seorang perempuan menikah dan ikut suaminya dipercaya ada kosmos di keluarganya tidak seimbang sehingga keluarga laki-laki yang bertanggungjawab untuk menjaga keseimbangannya. Tetapi setelahnya belis malah menjadi perlambang status sosial. Tidak heran kalau belis dianggap menjadi penentu kaya tidaknya calon keluarga pria. Dan sebagai harga diri masing-masing keluarga.

Jangan salah, menyepakati belis bisa menjadi perkara panjang. Jika kesepakatan tidak dicapai, atau terjadi gagal belis, pernikahan bisa gatot - gagal total. Bye-bye rumah tangga. Lupakan cinta! Jadi kalau pacarmu adalah seorang gadis cantik dari sumba, coba cek dlu belis ibunya dlu berapa. Jadi at least kamu ada gambaran kalau mau menikahi dia.

Saya yang ga perlu di-belis aja ga ada yg kawinin
Wajar sih kalau saingannya para perempuan Sumba yang cantik-cantik ini 


Parang dan Tanah Warisan sampai ke Langit
Ketika bertemu laki-laki Sumba membawa parang kemana-mana, jangan langsung berburuk sangka. Bagi mereka parang sudah macam HP buat kita. Lupa bawa parang bisa membuat mereka kalang kabut. Macam bapak-bapak kelupaan dompet atau influencer kelupaan HP. meding balik pulang buat ambil lagi.

The local wisdom-nya sih Parang adalah simbol dari kebijaksanaan laki-laki, tapi kenyataanya parang menjadi ajang adu kekuatan. Masih ingat cerita saya di tulisan sebelumnya? Ketika ketua rombongan mengingatkan kami agar tidak berkeluyuran keluar hotel di malam hari, alasannya karena ini. Ketika para laki-laki dan pemuda Sumba nongkrong-nongkrong dan minum Peci (Miras lokal Sumba) di pinggir jalan, lalu mereka terlalu mabuk dan sudah kehilangan akal sehat, tak jarang kesalahpahaman kecil berujung pada insiden potong orang. Ini bukan metafora ya, literally mereka saling tebas dengan parang yang mereka bawa kemana-mana. 

Lalu tentang sengketa. Paling sering urusan tanah. Ya tanah warisan, ya batas tanah dengan tanah tetangga, ya sertifikat bodong. Di Sumba masih banyak tanah ulayat yang belum punya sertifikat. Ujung-ujungnya jadi perkara. Tidak hanya urusan hukum, perkara tanah bisa jadi perkara kriminal karena mereka yang berseteru tidak segan-segan potong orang!

Kenapa harus extreem begitu sih? Karena, dalam kepercayaan orang sumba, tanah tak hanya sekedar tanah. Ketika bicara tentang tanah, mereka bicara tentang segala-galanya yang ada di tanah itu sampai ke langit! Yaps, jadi termasuk segala yang tumbuh, melintas dan berhembus di atasnya. Jadi jangan heran kalau urusan 10 cm tanah bisa jadi drama berdarah. Eh tapi di banyak daerah juga begitu sih ya.

Karena tingginya tingkat "potong orang" ini, sampai-sampai pemerintah daerah mengeluarkan peraturan yang melarang masyarakatnya membawa-bawa senjata tajam saat beraktifitas kecuali untuk acara-acara adat.

Kematian 
Ketika bicara tentang perayaan upacara kematian, daerah manakah yang muncul di kepalamu? Ngaben di Bali? atau Rambu Solo' di Toraja? Bagaimana dengan upacara Parai Marapu? Pernah dengar?

Parai Marapu adalah upacara kubur batu kepercayaan Merapu di Sumba. Dan masih dilakukan hingga sekarang. Ketika seorang anggota keluarga meninggal, tidak selalu upacara pemakaman langsung dilakukan. Pemakaman bisa saja dilakukan berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan tahunan setelahnya. Jadi, jasad akan diposisikan duduk dan menopang dagu (seperti janin dalam kandungan) lalu dibalsem (atau formalin agar awet) lalu di selimuti dengan kain tenun. Selama menunggu proses penguburan, jasad ini dianggap belum mati. Masih disiapkan makanan dan air setiap hari disajikan disebelahnya.

Apa yang ditunggu? Kenapa tidak langsung dikuburkan? Menunggu kesiapan keluarga. Upacara kematian sangat mahal. Beratus-ratus hewan harus dipotong. Belum lagi kalau para bangsawan. Ratusan kuda, kerbau, kambing, babi, ribuan ayam harus disiapkan. Kalau semua belum dirasa lengkap maka keluarga menunggu sampai cukup. Baru upacara kubur batu dilakukan.

Kubur batu di Desa Praijing
Satu kubur batu bisa diisi beberapa jasad dari satu keluarga.


Untuk keluarga dari kaum bangsawan, jasad harus ditemani setiap hari selama 24 jam oleh setidaknya 2 orang hambanya. Kemarin ketika saya berkunjung ke kampung tenun Raja sebenarnya ada satu keluarga yang menunggu upacara penguburan. Sayangnya saya tidak diijinkan untuk berkunjung karena saya buka anggota keluarga.

Hewan Ternak
Mungkin karena tingginya kebutuhan hewan ternak untuk acara adat di Sumba, makanya wajib hukumnya setiap keluarga memelihara kuda, kerbau, kambing, dan babi-nya sendiri. Tak hanya beberapa ekor, mereka bisa sampai punya puluhan bahkan ratusan!

Rahang dan tanduk hewan yang disembelih untuk acara adat disimpan di langit-langit rumah
Ini juga sebagai penanda status sosial keluarga itu, semakin banyak rahang/tanduk hewan, semakin sejahtera



Pose bersama ratusan kambing yang ngadem setelah digembala

Kontur lahan Sumba dengan banyaknya padang savana juga menjadi faktor pendukung. Hewan ternak tidak perlu dicarikan makan. Cukup digembalakan saja di padang rumput yang luas, mereka bisa cari makan sendiri. Hewan-hewan peliharaan bergerombol disana-sini. Mereka di cap oleh pemiliknya sehingga mudah dikenali dan tidak sembarangan nyasar ke kawanan lain.

Kawanan kuda, mungkin calon belis untuk seseorang

Oh, satu oleh-oleh terkenal dari Sumba adalah susu kuda liar! Saya tidak coba, jadi jangan tanya rasanya gimana!

Anak kuda sedang menyusu dari Induknya 


Bagi saya, cerita-cerita ini membuat sebuah perjalanan menjadi lebih menarik dan indah. Tidak hanya pulang dengan oleh-oleh foto yang indah, tetapi memperkaya diri dengan perbedaan berbagai budaya. Mensyukuri apa yang sudah dipunya, dan mengurangi jumawa karena terlalu banyak hal yang belum saya tahu.

Sebelum bisa jalan-jalan dan cerita-cerita lagi, yuk kita seruput Kopi Keras dulu! Oh cerita terakhir, kopi keras adalah kopi robusta asli Sumba yang di sangrai dan di tumbuk sendiri lalu diseduh air panas. Bersaudara lah dia dengan kopi tubruk! 

Saya tau kopi keras gara-gara setiap kita berhenti di tempat wisata, para sopir ini akan minta dibuatkan kopi keras. Karena penasaran saya mau coba. Rasanya nikmat nian!

Kopi Keras nikmat dunia


A Piece of Mind . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates