Sunday, June 28, 2015


Baru saja saya ditegur (nyaris diomeli) oleh salah seorang sahabat karena meng-Amin-i sebuah harapan yang dipanjatkan. Menurut sahabat tersebut, kita tak sepantasnya menggunakan kata-kata yang tak menjadi milik agama kita sendiri.

Agak kaget saya menerima teguran ini, agak wow mendengarkan kalau sekarang ada yang namanya bahasa agama yang penggunaannya tak diperbolehkan oleh agama lain. Pertanyaan pertama saya adalah bukannya Bahasa-pun merupakan budaya hasil cipta, rasa dan karsa manusia? Bukankah berdoa kepada Tuhan boleh menggunakan bahasa apapun yang kita mau? Bukankah Tuhan yang maha segalanya mampu memahami segala bahasa yang kita gunakan?

Saya yakin sekali, ini bukan kesalahan ajaran agamanya. Ini semata-mata kekeliruan umat yang begitu mencintai agamanya sehingga seolah agama sendiri yang paling baik, paling mulia, paling segalanya. Hal-hal inilah yang memicu segala percikan dan konflik berlatar agama yang beberapa kali sempat terjadi di negeri ini. Cinta yang berlebihan, cinta yang buta, cinta yang tak berlogika.

Fanatisme berlebihan inilah yang akhirnya mengalahkan toleransi beragama yang kita dengung-dengungkan dan kita harapkan menjadi landasan hidup berdampingan dengan segala perbedaan. Mari sekarang kita sama-sama menahan diri dan berpikir lebih tenang dan rasional.

Bukankah kita merasa tersanjung ketika seseorang mengucapkan atau menjawab salam keagamaan kita? Merasa bahwa kita dihargai dan dihormati. Lalu kenapa kita harus marah ketika ada rekan seagama mengucapkan salam agama orang lain? Menganggap orang itu tak menghargai agama sendiri? Kenapa jadi double standard begitu?

Bukankah kita merasa bahagia ketika ada orang yang memutuskan memeluk agama kita? Merasa bahwa saudara seiman bertambah, merasa bahwa agama kita telah menuntun si umat yang baru ke jalan yang lebih baik, merasa bahwa memang benar agama kita mengajarkan keindahan. Lalu kenapa ketika ada saudara seiman yang berpindah agama kita harus mencaci maki dia? Menganggap orang itu tak setia pada Tuhan, tak berpendirian dan pasti masuk neraka, bahkan mengatakan bahwa agama orang lain tidak baik. Kenapa harus meributkan hak azazi orang lain? Kalaupun dia masuk neraka, toh dia yang menanggung akibatnya sendiri. Kenapa kita harus menambah dosa sendiri dengan mengeluarkan kata-kata yang tak berbudi?
Toleransi beragama bukan berarti bahwa orang lainlah yang harus menoleransi agamamu. Toleransi juga bukan berarti bahwa orang lain yang harus memahami akibat dari kegiatanmu beragama.

Toleransi berarti bahwa kita menghargai perbedaan, siap dengan perbedaan. Toleransi berarti bahwa kita ingin dihargai, dimengerti, dipahami dengan konsekuensi kita harus menghargai, mengerti dan memahami orang lain juga.

Saya yakin tak ada agama yang mengajarkan umatnya untuk merendahkan umat lain. Tak ada agama yang mengajarkan umatnya membenci umat lain. Tak lah mungkin ada agama yang memaksa umatnya untuk memerangi dan menghancurkan umat lain

Cobalah sekali-sekali nikmati hidup ditengah keberagaman, indah dan tentram rasanya. Bisa menikmati berbagai perbedaan budaya, berbagai perbedaan menu hari raya dan buat saya pribadi menjadi lebih cinta dengan agama sendiri. Kenapa?! Karena saya merasa agama sayalah yang menuntun saya menjadi orang yang menghargai perbedaan.

Kalau memang cinta, cintailah dengan berlogika.
Kalau memang cinta, cintailah dengan keindahan.
Kalau memang cinta, cintailah dengan kedamaian.
Janganlah butakan pikiranmu.
Janganlah butakan hatimu.
Janganlah mencinta buta.
Tak baik, tak elok, tak indah.



Semoga semua makhluk berbahagia

A Piece of Mind . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates