Sabtu pagi, saya punya waktu berlama-lama melakukan ritual sakral wajib semua umat manusia di kamar mandi. Sambil nongkrong, mendengar lagu-lagu India romantis, sambil melakukan keahlian utama saya, daydreaming alias berkhayal.
Menghayalnya jadinya romantis, gegara mabok lagunya Arijit Singh dan Armaan Malik nampaknya. (Karena kalu dengarinnya produk Hans Zimmer menghayalnya biasanya tentang alien).
Okay, lets talk about love. The most favorite eternal topic. Bukan tentang jatuh cinta, dimabuk cinta atau putus cinta. I have no enough capability to talk about it. Urusan percintaan romantis saya mainly gagal total. This is about love it self. What love is.
Under my nice morning hot shower, saya memutuskan cinta adalah kemauan dan kehendak ikhlas untuk berkompromi dan berkorban demi orang lain (atau hal lain) yang pada akhirnya menjadi sumber kebahagiaan personal. Nah, ribet ga tuh!
Lets put that in a bullet points, yaps clarity needs bullet points including love!
Kemauan
Kalau ga mau dan ga pengen maka ga akan bisa diusahakan dong. Jangankan cinta, makan nasi padang aja harus ada kemauan dulu kan. Apalagi something as big as love. Some people said love is magical.
Well it's actually chemical. A complex chemical reaction in the brain. Testosterone and estrogen for the most ancient part - lust. Dilanjutkan dengan dopamine, oxytocin dan entah apa lagi. Reaksi kimia ini ada tahapan dan durasinya. Untuk menjaganya tetap stabil, perlu usaha. So nothing magical about it.
Sama seperti kembang api, orang-orang dulu mengira kembang api itu produk sihir. Kenyataannya adalah kombinasi kimia yang komplex dengan hasil yang indah. That's love. Chemical reaction. Reaksi kimia dalam otak dan tubuh manusia dan menghasilkan rasa yang indah macam butterfly in my stomach - situation. Duh, ini ga nyambung blas. next!
Kehendak Ikhlas
Kalau tidak ikhlas berarti paksaan, bahasa puitisnya para pujangga itu, urusan hati tidak bisa dipaksakan. Semuanya harus karena kemauan tulus ikhlas atas ilham ilahi. Kalau dipaksakan jadinya malah kisah cinta Siti Nurbaya (btw kurikulum sekolah jaman sekarang masih membahas perkembangan sastra Indonesia ga sih?).
Tapi entahlah ya, di salah satu artikel BBC (klik disini kalau mau baca) menyatakan bahwa tahun 2018 93% pernikahan di India itu karena perjodohan. Dan menariknya lagi, India tergolong negara dengan tingkat perceraian paling rendah di dunia.
Padahal kalau menggunakan argumen lemah saya tentang Kehendak Ikhlas, perjohohan harusnya kehendak dipaksakan dong. Well, marriage doesn't necessarily about love and we are all agree about that (I hope). Sementara tentang angka perceraian, ada jauh lebih banyak kompleksitas sosial yang harus dijabarkan ketika menjelaskan angka-angka ini. Termasuk agama, ekonomi, bahkan politis.
Duh, ga nyambung lagi. Next dan janji akan balik ke setingan romantis!
Kompromi
Well, saat tidak ada hal yang sempurna di alam semesta rasa (termasuk rumus fisika menurut Prof Brian Cox). Including your love interest.
Let say you love Bali so much, you yet still need to compromise with the traffic, the overcrowd, and the not so smart Bule sometimes. Because at the end you loves their beach, the babi guling, the free feelings of wearing tank top only without no one cares and questioned you.
Atau ketika kita cinta kali dengan pasangan tetapi ternyata dia tidurnya ngorok. Well, karena cinta harus mau kompromi dong. Either tidur pakai airplug, tidur di ruangan terpisah atau si tersangka ngorok ikut terapi biar ngoroknya ilang.
Because they said, love will tackle all the obstacle. Cinta bisa mengalahkan segala halangan dan rintangan. Jangankan cuman ngorok, agama dan restu orang tua saja bisa dihempas atas nama cinta kan!
Selama mau berkompromi, tidak selalu win-win. Kadang mengalah, kadang mengalahkan. Tidak selalu bisa menjadi pemenang. Gitu! - katanyaaaa
Berkorban
Kompromi dan berkorban ini menjadi semacam sebab akibat. Kalau siap berkompromi berarti siap mengalah untuk beberapa hal. Seperti yang saya tulis di paragraph sebelumnya, konsep win-win itu untuk saya agak absurd. Pasti ada yang "mengalah untuk menang" atau "mengalah untuk ketenangan bersama" atau "mengalah karena udah males aja".
Keputusan untuk mengalah, meredakan marah, menurunkan ego, mumutuskan untk sejenak turun ring tinju adalah berkorban. Berkorban karena terlalu cinta. Bercinta itu bukan bertarung. Ketika bertarung, semua dikerahkan sampai titik darah penghabisan. Perbedaannya dengan bercinta? Ya itu, berkorban itu intinya iklas.
Dalam KBBI saja arti kata berkorban adalah menyatakan kebaktian, kesetiaan dan sebagainya. Semacam kegiatan yang mulia kan?
Hampir semua ibu, rela mengorbankan diri demi anaknya. Literally her life for her children. Nothing greater than mom's love to their kids i think. Banyak orang tua berkorban their personal comfort for their family and kids. This could be cultural or social, but this must also been love kan.
Bahkan in a friendship, we give our time for them. That's the least we can do, but actually time is the most precious resources. We can't repeat it. We almost can't add it. Our time is limited. And when we are willing to giving up our time for something or someone, that's love.
Pada Akhirnya Menjadi Sumber Kebahagiaan Personal.
So, cinta memang se-paradox itu.
Di satu waktu kita ikhlas kehilangan, terluka, berkorban, tersakiti atas nama cinta. Dengan sadar sepenuhnya mau mengalami penderitaan. Kenapa? Kenapa manusia bisa se-masokis itu atas nama cinta.
Karena semua itu pada akhirnya cinta dan segala kompleksitasnya menjadikan kebahagiaan untuk yang menjalani. Jarak yang jauh bekerja ke kapal pesiar tidak menjadikan putus asa ketika pulang kerumah sudah bisa melihat rumah impian sejak anak-anak mulai nampak wujudnya. Bekerja lembur sampai migrain menyala-nyala serasa seperti candaan saja ketika tabungan akhirnya cukup untuk jalan-jalan ke Peru untuk melihat Machu Pichu.
Bertahan dalam hubungan yang belum tentu ideal dan terkadang menyesakkan terbayar ketika sesekali masih bisa dielus kepala dan diajak makan malam bersama. Setia pada pasangan yang seringnya membuat hati ngilu (dan bahkan terkadang badan biru-biru) terbayar ketika bertemu kerabat dan karib tidak lagi harus menjelaskan kenapa belum juga punya pasangan di tatapan lega para tetua karena akhirnya standar sosial sudah terpenuhi semua. Kesakitan dan pertaruhan nyawa ketika melahirkan terbayar lunas ketika bayi tersebut lahir dan menangis keras.
Yah, cinta sebenarnya se-egois itu.
Pada akhirnya semua demi keuntungan sendiri. Kabahagiaan yang hanya diri sendiri paham bagaimana rasanya. Meski dunia mengatakan pasangan buruk rupa, perangainya bagai durjana, tetapi ketika membuat bahagia, yah sudah bertahan.
Cinta akan berkhir ketika tidak ada lagi alasannya untuk bahagia dalam situasi yang sama. Entah karena sudah tidak ada lagi yang bisa dikorbankan, entah karena sudah lelah ikhlas, atau karena tidak ada lagi reaksi kimia. Ketika semuanya hilang, ya sudah. Selesai urusan cinta-cintaan ini.
I used to say, there's a very thin line between love and stupidity.
Of course this is not a valid arguments, but that's what i feel.
Well, kontemplasi sabtu pagi di kamar mandi saya ternyata lumayan juga! Hahaha...
Mari merayakan cinta!
 |
Disclaimer: this photo is for illustration only 😜 |