Saturday, December 21, 2024

Disclaimer:
Tidak ada penelitian dan pengolahan data ilmiah yang dilakukan tulisan ini. 
Data yang ditampilkan adalah dari berbagai sumber (formal & informal, termasuk bertanya pada netizen Instagram) yang saya jadikan sebagai referensi. Keseluruhan isi tulisan adalah pendapat (tidak valid) saya.

Beberapa bulan lalu saya mengisi kelas untuk Team Leader dan Assistant Manager tentang Interview Skill. Fokusnya tentang mencari tahu bagaimana kandidat menghadapi berbagai situasi dalam pengalaman sebelumnya.

Lalu salah seorang peserta bertanya "Bu, bagaimana kalau kandidatnya Gen Z? Menurut Ibu mereka itu gimana? Ibu mau merekrut Gen Z?" Jawaban cepatnya: of course, I will. (yah, meskipun saya sadari generation gap ini tidak mudah untuk dijembatani, boleh baca di tulisan saya sebelumnya disini: Pikiran Absurd Setelah Menginterview Gen Z)

Tapi belakangan ini, generation gap ini menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan dan dijadikan konten di sosial media. Sebagian besar konten-konten itu kurang lebih saling menonjolkan kekurangan generasi tertentu di generasi lainnya. Orang tua menilai anak muda dan sebaliknya, begitu saja sih sebenarnya. Cuman dibalut dengan istilah kekinian yang untuk generasi lebih dulu, agak membingungkan.

Oke, untuk kepentingan tulisan ini, saya membuat summary data dan statistik sederhana tentang Gen-Gen ini:
Dari berbagai sumber termasuk data BPS.


Saya adalah generasi Y, Millennials. Saya masih ingat hampir lima belas tahun lalu, tahun-tahun awal saya mulai bekerja, sering kali ada training dan bahkan workshop tentang cara bekerja dengan Millennials. Pesertanya Ibu dan Bapak para manager di perusahan. Mereka rata-rata Gen X dan ada Boomers juga. Saya agak nyasar di training itu. Mendengarkan pandangan mereka tentang Millennial, kok jelek-jelek gitu yaaa.... Mereka ngomongin saya! Hahaha... 

Masih ingat kok, katanya Millennial itu engga sabaran. Loyalitasnya rendah. Tidak bisa diharapkan bertahan lebih dari 5 tahun di perusahaan (yaps, my personal statistic memang rerata 2,4 tahun aja kok). Mau segalanya instan macam mi cup. Pokoknya di mata mereka Millennial ini kurang bisa diandalkan. Waktu itu saya protes alasannya beda perspektif tentang cara melihat segalanya saja, cumaan, saya sendiri, mereka banyak (bos-bos pulak) kalah suara jadi lanjut mendengarkan saja.

Sekarang, rasanya dejavu. Giliran saya dan Millennial lain yang akan merekrut dan bekerja dengan para Gen Z ini. And now I can understand apa yang diributkan ibu bapak manager jaman 15 tahun lalu itu. Pertanyaan peserta training saya di awal tulisan tadi: Emang mau rekrut Gen Z? Menurutmu Gen Z itu gimana?

Source: https://vocal.media/confessions/millennial-and-gen-z



Mari urai pikiran kusut saya seperti biasa.

Dari hasil bertanya di IG stories, pandangan Millennial terhadap Gen Z itu, saya urutkan dari jawabannya yang paling sering muncul:

1. Lemah, mudah menyerah dengan keadaan
Saya rasa pandangan ini karena seringnya exposure di sosmed tentang mental health, life work balance dan sejenisnya itu. Masih ingat awal-awal muncul istilah healing. Orang-orang mulai bilang istilahnya salah, tidah seharusnya sedikit-sedikit healing.

Lalu ketika banyak bermunculan ide bahwa mental health adalah hal yang paling penting dan paling utama. Selalu yang menjadi kambing hitam adalah toxic environtment. Toxic bos. Toxic office. Toxic relationship. Semacam, it's always someone else's fault!

Belum lagi ketika ada anak-anak sekolahan yang ketika dimarahin guru malah lapor ke orang tua, bahkan lanjut lapor polisi. Komentar gen Y biasanya semacam "Kalau jaman kita, sudah dimarahin guru kalau lapor ke orang tua bukannya dibela akan semakin dihajar makanya kita jadi kuat!" atau "Alaaahh segitu aja ngeluh, jaman kita guru-guru lebih keras lagi. Dipukup penggaris dan dilempar penghapus malah sudah biasa." 

Familiar kan dengan situasi itu.
 
2. Ga Sopan. Kritis, jadinya selalu berani berpendapat.
Kalau bahasa yang sering dipakai oleh salah satu bos saya, challenge the status quo. Gen Z ini nampaknya tidak takut untuk menyampaikan isi pikirannya. Tanpa merasa sangat perlu untuk memikirkan sopan santun dan unggah ungguh yang selama ini dipegang teguh oleh generasinya yang lebih tua.

Di kantor, saya beberapa kali menghadapi situasi ini. Mereka yang mempertanyakan kebijakan-kebijakan perusahaan. Bukan berarti generasi sebelumnya menerima, tapi biasanya ketidaksetujuannya disampaikan hanya pada circle pertemanannya. Atau dibahas sambil becanda ngenes di smoking area. Gen Z menyampaikannya langsung di meeting. 

Kami kaget-kaget kadang dengan keberanian mereka. Tapi saya most of the time senang dengan keterbukaan itu. Malah menjadi ruang diskusi yang lebih sehat. Saya juga bisa belajar dan mengobservasi perilaku mereka. Jadi bisa lebih paham apa yang penting untuk mereka, bagaimana mereka melihat masalah dan apa yang mereka lakukan di situasi "orang dewasa" itu.

Tidak hanya mereka, di rumah juga sama. Adik-adik saya. Kemarin Esa cerita kalau dia ada disagreement dengan atasannya di kantor. He was not misuh-misuh ga jelas, dia WA langsung atasannya dan minta meeting untuk membahas masalah itu. Mereka bahas dengan terbuka, dan voila, mereka menemukan jalan tengah untuk bersepakat. Menarik! Hal macam ini agak kurang menjadi kalcer di generasi saya. 

3. Tech Savvy dan menghabiskan banyak waktu di sosial media
Kayaknya ini tidak perlu dijelaskan lagi kan? Biarpun ternyata mereka ini kalau di sosmed kebiasaanya jarang update-update. Kalau keseringan post malah katanya engga cool. I just simply dont understand this one. 

Tapi katanya masalah yang sering muncul gegara teknologi ini, anak gen Z menjadi tidak sabaran. Mereka mudah frustrasi dengan hal-hal yang perlu waktu. Concentration span (rentang perhatian) mereka juga sangat pendek katanya. Ada penelitiannya juga dan pernah saya tulis di sini.

Tapi ini rasanya bukan hanya ke gen Z saja. Bos-bos saya yang boomers juga engga bisa sabaran. Maunya segala instant! Ooopsss

4. Kreatif
Salah satu team saya di kantor lama namanya Edi, anak gen Z. Kalau ngobrol memang tidak pernah bisa diajak serius. Tapi, setiap diberikan project apapun jadi! Mulai dari bikin stiker cuci tangan yang engaging, ngurusin flow shuttle karyawan, sampai eksekusi annual company celebration, semua beres! 

Kalau urusannya project kreatif, pasti beres dan cakep hasilnya sama dia. Kadang-kadang saya malah belajar banyak. Dia yang selalu membawa ide-ide bagaimana biar kerjaan makin gampang dan gampil! Dia yang kasi training canva ke ibu-ibu di kantor. Sampai akhirnya kami semua cukup mahir "main" canva kalau kepepet pas dia libur.

Kreatif ini sepertinya berbanding lurus dengan point sebelumnya. Tech Savvy itu. Dan sekarang sangat banyak stimulus disekitar kita. 

5. Mageran
Bagian mageran ini rasanya muncul karena pandangan yang pertama. Mereka mudah menyerah. Kadang terlihat menjadi pemalas. Padahal kemungkinan juga mereka sedang mencari cara termudah untuk menyelesaikan sesuatu dengan lebih cepat dan tidak usah mengikuti cara-cara lama. Balik ke kreatif itu.

Ada juga kemungkinan Gen Z dianggap mageran karena sering terlihat manja. Situasi semacam segalanya sudah tersedia dihadapan mereka. Sebagian besar anak Gen Z sudah punya akses internet dari mereka masih SD. Di desa-desa juga kok, di kampung saya anak tetangga sering nebeng wifi di rumah Bu Wir.

Baik dan buruk, tapi kesan yang saya dapatkan banyak teman-teman yang memandang Gen Z ini kok agak kureng kalau dijadikan wodk force. Entah karena dianggap lemah dan manja itu atau karena gap usia dan pandangan hidup yang agak berbeda saja sebenarnya.

Coba perhatikan tabel statistik ala-ala yang saya buat diatas, dilihat dari jumlahnya, Gen Z ini memang paling banyak. Secara angka, mau tidak mau mereka adalah workforce terbesar yang kita punya. Sederhananya, suka tidak suka, kita harus mempekerjakan mereka. Pilihannya adalah mereka atau sesama Millennials. Pandangan umumnya para Gen Z ini karena masih muda, fresh graduate dan masih punya banyak ambisi, mereka punya flexibilitas lebih tinggi dan bahasa kerennya: punya lebih banyak opportunity to grow longer within the company. Aiiih, sok canggih kali lah bahasa mbak-mbak corporate slave ini. 😝

Selain data statistik yang mau tidak mau kita akan hadapi, ada satu lagi yang sering saya obrolkan dengan teman-teman di kantor, termasuk juga saya sampaikan saat mengisi kelas. Kalau dilihat bibit bebet bobotnya, Gen Z ini lahir dari orang tua Gen X dan beberapa Millennial awal-awal. Like it or not, we raised the generation. Sama seperti saya raised by Boomers and Gen X. 

We in this situation is not only their parents ya. Kita semua as the whole society maksudnya. Kita yang memberikan kemudahan-kemudahan instant pada anak-anak ini. Contoh paling sederhana, karena tidak mau mereka mengalami segala kesusahan hidup, kita cenderung melayani keinginan mereka. Weekend harus jalan-jalan dan main untuk kompensasi waktu yang hilang selama weekdays. Rumah dipasang internet karena sudah menjadi keharusan macam pasang listrik dan air. Alat sekolah harus dibantu siapkan agar ketika di sekolah tidak reweh nanti malah dipanggil gurunya.

Atau ketika kita sebagai orang tua tidak terima anak kita dimarahin oleh gurunya. Alasannya yang absurd dan sering saya dengar, di rumah saja saya tidak pernah memarahi anak, apa hak anda memarahi anak saya ini? Lah gila! Kelakuan anaknya macam setan. Bagaimana mereka ga ngelunjak karena merasa selalu dibela. Ketika melihat berita ada murid yang melawan guru komentar kita "Jaman kita lebih baik" well, we are part of that creating the new jaman my friend.

Atau kemarin obrolan random banget di mobil dengan anak-anak kantor yang beneran kombinasi dari Milennial dan Gen Z, topicnya adalah ketika punya uang pilih beli mobil dulu atau rumah dulu. Mungkin seperti tebakan kalian. Milennial pilih rumah, Gen Z pilih mobil. Benar atau salah tergantung argumentasi mana yang lebih pas untuk value masing-masing orang. Karena tidak ada jawaban benar dan salah. Tidak harus men-judge cara pikir salah satu generasi. Kita tidak pernah tahu Gen Z ini sudah melek saham dari mereka masih SMA. Balik lagi ke adik-adik saya, tabungan mereka saham, saya belum paham! 

Kita juga sebenarnya yang double standard kan jadinya. Kita sendiri masih gamang dengan identitas kita sebagai Millennial. Apakah kita yang bangga dengan kerasnya gemblengan hidup (yang masih jauh lebih mudah kalau dibandingkan Gen X ) atau kita yang gegap gempita menyambut perubahan dan kemudahan (tapi masih gaptek kalau dibandingkan Gen Z)

Like it or not, they are the biggest productive human resources yang kita punya saat ini. Instead of frustrasi dan skeptic, saya rasa banyak hal yang bisa kita obeserve dari anak-anak ini. Terutama tentang cara mempermudah hidup dengan cara-cara mageran yet productive-nya mereka.

And we also need to helps them untuk lebih realistis. Based on our bit of longer experience kalau hidup itu adalah controlled chaos, jadi pasti akan ada gila-gilanya, we just need more resilient. 

So, how much Gen Z frustrates you? 

1 comments:

  1. Gen Z ini jokesnya benar-benar hiper kontekstual sehingga susah dimengerti sama bapak-bapak.

    ReplyDelete

A Piece of Mind . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates