Parenting Style - Tidak Kekinian
Kecuali belakangan ini anda
tinggal di Rivendell, mungkin anda tidak punya akses internet. Tapi kalau tidak
berarti anda cukup familier dengan salah satu kebutuhan pokok manusia jaman
milenial ini. Nah permasalahannya, di tulisan ini saya tidak sedang membahas
tentang internet. Saya ingin membahas tentang beberapa artikel yang sangat
sering saya lihat wara wiri di Medsos.
Artikel tentang Parenting style.
Kalau anda punya Facebook, kemungkinan besar anda pernah melihat
artikel-artikel yang membahas tentang hal ini. Mulai dari merawat bayi dalam
kandungan, pilihan melahirkan, ASI, pilihan popok, makanan sehat, sampai
tentang sekolah, pelajaran tambahan dan segala galanya. (akibat kengkawan saya
sudah jadi orang tua semua apa ya)
Nah, melihat artikel-artikel itu,
saya yakin orang tua saya tak cukup baik (berdasarkan standar artikel). Disana disebutkan bagaimana menjadi orang tua yang
baik. Orang tua ideal menurut standar jaman sekarang. Orang tua yang bisa
mengakomodasi kemajuan jaman sekaligus mendidik putra putri kebanggaan bangsa.
Kok rasanya susah nian jadi orang tua idaman. Tetapi, kalau kembali ke cara
orang tua saya mendidik kami (saya, wika, esa) rasanya sih mereka tidak
menggunakan “rumus ribet” ideal parenting itu.
Beberapa hal yang mereka lakukan, yang saya pikir
“ketidakidealan” yang saya syukuri adalah:
ASI dan POPOK
Kalau yang ini pengecualian.
Bagian ini orang tua saya sangat ideal. Kami bertiga semuanya ASI eksklusif
selama 2 tahun dan tidak pernah menggunakan popok sekali pakai (semacam
pempers). Alasannya sih bukan karena mereka concern masalah kesehatan. Tetapi
semata-mata karena alasan waktu itu orang tua saya ga ada duit lebih. Hahaha..
serius!
Yang tengah contoh hasil dari ASI ekslusive 2 tahun |
Jadilah kami bertiga bayi sehat
versi posyandu di kampung karena sehat mik
ASI dan kulit ga pernah ruam akibat popoknya diganti tiap pipis, karena popok
kain. Hehehe..
MAKANAN
Urusan makanan, orang tua saya
samasekali bukan tipe yang mengikuti pola MPASI (Makanan Pendaping ASI) ideal
layaknya artikel-artikel di internet. Kalau dalam artikel, ibu-ibu disarankan
memberikan MPASI bervariasi biasanya dengan memadukan buah-buahan dan protein
sehingga menjadi bubur bayi yang cantik dan sehat.
Kalau Ibu saya, MPASI nya adalah
bubur SUN, biskuit regal dan yang paling sering adalah nasi tim. Nasi tim
tergantung tanggal. Kalau tanggalan muda: nasi tim ayam, tanggal remaja: nasi
tim ati, tanggal tua: nasi tim garem! Beneran!! Mungkin ini alasan saya sama
adik jadi rada-rada cara berpikirnya, karena asupan gizi yang tidak seimbang.
Pun setelah lebih besar, sangat
jarang ibu memaksa suka ini itu. Alhasil, kami bertiga punya selera makan yang
biasa-biasa saja. Saya samasekali tidak suka makanan pedas (Meski babi guling
adalah pengecualian).
Si Wika tidak suka makanan yang
berbumbu berat. Klo bahasa di rumah dia sukanya yang “ringan-ringan” seperti
tumis sayur, mi goreng, Chinese food. Buat dia big no untuk masakan Bali yang
super berbumbu sejenis lawar, tum, komoh. Dia suka sekali dengan sushi (saya
dan Esa tidak suka).
Kalau Esa tidak suka sayur
samasekali!! Suka makanan pedas dan makanan Bali. Dia a real example of
carnivore dah. Yang jelas, orang tua saya tidak pernah memaksa kami untuk
mengkonsumsi makanan sehat. Mungkin dipikiran mereka, bodo lah ini anak tiga
yang penting ga mati. Hahaha..
MAINAN
Jaman sekarang banyak yang bilang
kalau sebaiknya anak-anak dibiarkan bermain di luar ruangan, sehingga muncul
game Pokemon Go, agar orang-orang mau bermain di luar ruangan. Begitupun para
orang tua yang suka dilema, mengijinkan anaknya main di luar tapi nanti malah
di culik atau main game online melulu. Memang susah juga sih jaman sekarang ini
ya.
Mungkin orang tua saya jauh lebih
beruntung karena hidup jaman dulu yang tidak banyak tekanan untuk menjadi orang
tua ideal. Dan perkembangan game online belum seramai sekarang.
Dan seperti yang saya rasakan,
orang tua saya tipe yang membiarkan (cenderung pasrah) kami main berbagai hal.
Saya tipe anak yang suka main di luar rumah (mungkin semua anak di jaman saya
juga begitu), biasanya main ke tukad (sungai), sawah, kebun, lari-lari di gang
dan sejenis itu. Wika tipe anak yg sukanya ngendon di kamar, jarang ada
temannya yang main ke rumah, jarang main juga sih dianya. Esa generasi PS,
jarang keluar rumah, hari-hari lebih banyak nongrong di depan TV.
Tapi rasanya orang tua saya juga
tidak pernah membanding-bandingkan kami beertiga. Dibiarkan saja kami dengan
hobi masing-masing. Saya tidak dipaksa untuk ngendon di rumah biar lebih ayu,
wika tidak dipaksa untuk lebih “ramah” ke orang-orang. Hanya esa yang dipaksa
untuk berhenti main PS karena kelamaan di depan TV! Hahaha..
PELAJARAN TAMBAHAN (LES)
Kalau dipikir-pikir, orang tua
saya benar-benar demokratis. Sangat jarang mereka memaksakan maunya mereka ke
maunya kami. Mungkin tidak pernah malah. Contohnya tentang les ini.
Saya dan wika bersekolah di SMA
favorit, dimana tolak ukur keberhasilan siswanya dilihat dari keikutsertaan
kami dalam olimpiade sains. Sudah lumrah kalau teman-teman kami menjuarai lomba
sains sampai tingkat dunia (kejam memang). Nah, terbayang kan bagaimana
persaingan di kelas.
Saya yang serampangan mengarah ke
bodoh ini, memang niat mendaftarkan diri ke berbagai les di luar sekolah.
Pokoknya tiada hari tanpa pelajaran tambahan. Biasanya les baru selesai jam 8
malam! Penyiksaan memang. Baru sekarang saya sadar, setelah ikut les pun saya
tetap tidak sepintar mereka yang juara olimpiade! Hahaha… tapi orang tua saya
tidak pernah berkomentar. Mereka selalu mengiyakan saya les ini itu.
Kalau wika, siswa anti les! Tidak
satu pun dia ikut pelajaran tambahan. Meskipun dia selalu di sekolah yang sama
dengan saya, dan dia selalu di kelas unggulan. Pulang sekolah ya dia langsung
pulang dan tidur siang! Kalau kata dia “lebih baik tidur siang, toh nilainya yg
les sama saja dengan nilaiku yang tidak les” Orang tua kami pun mengamini, tak
sekalipun mereka menyuruh wika ikut les.
Esa paling nyentrik. SMA berbeda
dengan saya dan wika, tidak ikut les samasekali dan bahkan tidak ikut bimbel! Dan
tetap saja orang tua saya adem ayem bahagia. Entahlah apa yang ada di pikiran
mereka. Apa mereka terlalu percaya dengan kami atau pasrah. Tapi anehnya,
diantara kami bertiga hanya esa yang diterima kuliah lewat SPMB (sekarang
namanya SBMPTN).
Yang sering saya (curi) dengar
dari ibu bapak kalau mereka sedang ngobrol adalah “biar saja mereka sukanya
apa. Yang penting tidak nakal”
Tidak Les, Tidak Les, Les sampe Gila |
KULIAH
Bapak saya guru di kampung. Entahlah berawal dari mana, kalau orang tuanya Guru biasanya orang-orang "berharap" anaknya jadi guru juga. Paling tidak salah satu anaknya.
Memang sih, banyak contoh seperti itu. Sebagian besar kawan-kawan saya malah. Bapak/Ibunya guru, anaknya jadi guru. Bapak/Ibunya PNS, anaknya PNS. Bapak/Ibunya kerja hotel anaknya kerja hotel. Apalagi kalau Bapak/Ibunya dokter, nah ini lebih banyak lagi. Hampir yakin salah satu atau salah dua anaknya jadi dokter juga
Tapiii, orang tua saya ya balik lagi. Urusan kuliah mereka punya harapan pastinya, semacam Ibu saya yang ingin salah satu anaknya jadi dokter. Tapi mungkin krn kapasitas otak kami yang kurang mencukupi, ujung-ujungnya anak-anaknya pada kuliah yang aneh-aneh.
Saya kuliah Manajemen Pariwisata (ini dipaksa ibu karena malu kalau anaknya tidak kuliah) tanpa pernah tau nanti lulus jadi apa. Lha saya pilih jurusannya aja asal centang karena jurusan itu yang paling atas di list. Agak sedeng memang. Dan sekarang saya jadi mbak-mbak kantoran swasta yang bahkan tidak terdaftar BPJS.
Lalu Wika, kuliah di kampus swasta yang tidak begitu terkenal di Jakarta. Alasannya sederhana, karena di dapat beasiswa penuh. Kalau ada yang gratis ya untuk apa mesti yang bayar kan. Sekarang anaknya jadi buruh pabrik pipa di bekasi. Ibu Bapak saya hepi-hepi saja. Walaupun sebenarnya mereka ingin wika kerja di bank, di tempat adem, keliatan mentereng. Sudah lama mereka terbiasa pasrah mungkin dengan pilihan-pilihan kami
Bapak saya guru di kampung. Entahlah berawal dari mana, kalau orang tuanya Guru biasanya orang-orang "berharap" anaknya jadi guru juga. Paling tidak salah satu anaknya.
Memang sih, banyak contoh seperti itu. Sebagian besar kawan-kawan saya malah. Bapak/Ibunya guru, anaknya jadi guru. Bapak/Ibunya PNS, anaknya PNS. Bapak/Ibunya kerja hotel anaknya kerja hotel. Apalagi kalau Bapak/Ibunya dokter, nah ini lebih banyak lagi. Hampir yakin salah satu atau salah dua anaknya jadi dokter juga
Tapiii, orang tua saya ya balik lagi. Urusan kuliah mereka punya harapan pastinya, semacam Ibu saya yang ingin salah satu anaknya jadi dokter. Tapi mungkin krn kapasitas otak kami yang kurang mencukupi, ujung-ujungnya anak-anaknya pada kuliah yang aneh-aneh.
Saya kuliah Manajemen Pariwisata (ini dipaksa ibu karena malu kalau anaknya tidak kuliah) tanpa pernah tau nanti lulus jadi apa. Lha saya pilih jurusannya aja asal centang karena jurusan itu yang paling atas di list. Agak sedeng memang. Dan sekarang saya jadi mbak-mbak kantoran swasta yang bahkan tidak terdaftar BPJS.
Lalu Wika, kuliah di kampus swasta yang tidak begitu terkenal di Jakarta. Alasannya sederhana, karena di dapat beasiswa penuh. Kalau ada yang gratis ya untuk apa mesti yang bayar kan. Sekarang anaknya jadi buruh pabrik pipa di bekasi. Ibu Bapak saya hepi-hepi saja. Walaupun sebenarnya mereka ingin wika kerja di bank, di tempat adem, keliatan mentereng. Sudah lama mereka terbiasa pasrah mungkin dengan pilihan-pilihan kami
Wisudanya mbak yang tengah |
MENGAMBIL KEPUTUSAN
Ini mungkin yang menjadikan Ibu Bapak salah satu orang tua paling nyentrik dalam radius 100 meter. Sulit saya mengingat saat mereka melarang keputusan-keputusan yang saya ambil. Mungkin iya dulu ketika kami masih kecil dan masih terlalu bodoh untuk memutuskan segala hal sendiri.
Tapi sejauh ingatan saya, apa yang ibu bapak lakukan adalah, gini nih omongannya (terjemahan bebas ke bahasa Indonesia krn di rumah kami berbahasa Arab! Ga deng, bahasa Bali) "Ya terserah kamu saja maunya gimana, Ibu sama Bapak kan cuma liatin, kamu yang jalanin" Nah kalau omongannya begitu maksud terselebungnya adalah "Yakin lu? Coba dipikir lagi baik-baik? Jangan sampai nyesel"
Atau kadang mereka bilangnya "Yakin kamu tu? Kalau menurut bapak sih blablabla (sudut pandang dia)" yang maksud terselubungnya kurang lebih adalah "Kids, I dont think that's the best idea, but you may try"
Ada saatnya mungkin mereka kecewa dengan keputusan yang saya ambil, ketika saya sendiripun menyesali keputusan-keputusan itu, tapi malah biasanya mereka yg paling dulu datang ke saya dan bilang "Ga apa, besok coba lagi yang lain" atau semacam "Sudah lewat, biar saja. Besok ulangi lagi" (nih kan jadi kangen ya mbak mbak penulisnya)
YA MANJA, YA MANDIRI JUGA
Ini sebenarnya yang paling membingungkan dari mereka. Waktu masih kecil dulu, kami dipaksa mandiri. Dari kecil saya sudah terbiasa bersih-besih rumah, cuci baju sendiri, bantu-bantu di kantin, memberi makan babi, dan hal-hal domestik lainnya.
Anehnya, semakin besar, kami semakin dimanja. Contohnya, kalau kita sedang di rumah, ketika ibu bapak di dapur memasak, ya kita disana juga.. tapi saya dan adik-adik ngobrol kesana kemari macam radio FM dari banyuwangi. Pun urusan membersihkan rumah dan kamar dan lainnya, tak lagi kami disuruh ini itu. Entah alasannya apa, mungkin karena belakangan selalu ada asisten rumah tangga yang membantu Ibu. Hanya saja, orang melihatnya kami manja. Padahal tidak samasekali.
Paling savage tentu ceritanya Wika. Diantara kami bertiga dia yang kelihatannya paling manja. Kesayangan Ibu Bapak. Tapi coba sekali tahu ceritanya. Dari pertama kali daftar kuliah oniline, Ibu Bapak samasekali tidak tahu menahu. Pun ketika dia berangkat ke Jakarta untuk pertama kami, kami tidak temani. Ya dia cari tempat kos sendiri, menjelajah kota sendiri, segalanya sendiri.
Sampai lulus kuliah, saya hanya mengunjungi dia dua kali, Ibu bapak bahkan lebih parah, hanya sekali saat dia wisuda! Hahaha...
Wika beberapa kali pulang naik kereta estafet Jakarta - Bali modal nekat, diiyakan oleh mereka. Jalan-jalan backpacker sendiri juga mereka iyakan. Pertanyaannya palingan "Adik gak takut?" Ya, Ibu bapak sangat percaya pada kami.
Tapi sekali lagi di saat yang sama memanjakan kami dengan cara-cara tak masuk akal. Misalnya pulang dari dokter cuma karena demam, balik ke mobil digendong!
Pergi KKN ke pedalaman diantar ke lokasi padahal di Bapak sedang sakit.
Atau ditamani ketika ambil darah di lab, trus saya tanya "Pak boleh nangis ga pas diambil darah?" jawabnya bapak "Boleh, tapi jangan keras-keras" (ini saya sudah mau lulus kuliah!)
Ya mau gimana, jangankan kami, anjing-anjinya saja dimanja dengan cara-cara yang kadang berlebihan.
Nah dari list tak beraturan itu, saya simpulkan kalau Ibu Bapak saya bukan orang tua ideal versi milenial. Mereka tak menggunakan standar manapun sepertinya (jadi kalau sertifikasi ISO mereka akan gagal).
Seperti katanya Esa, dengan mereka tidak ada yang bisa kami sembunyikan. Bawaannya gatel ingin menceritakan segalanya. Hahaha..
Sepert yang Wika, kelebihannya Ibu Bapak adalah mereka benar-benar mengerti kami. Dan pesan penting dari mbak yang satu ini adalah: "Maybe it's actually simple, if you want your kids listen to you, listen to them too. Basic"
Yaps, Ibu Bapak bukan orang tua ideal, tapi mereka yang terbaik dan yang bertanggung jawab terhadap keanehan kami!
Ini mungkin yang menjadikan Ibu Bapak salah satu orang tua paling nyentrik dalam radius 100 meter. Sulit saya mengingat saat mereka melarang keputusan-keputusan yang saya ambil. Mungkin iya dulu ketika kami masih kecil dan masih terlalu bodoh untuk memutuskan segala hal sendiri.
Tapi sejauh ingatan saya, apa yang ibu bapak lakukan adalah, gini nih omongannya (terjemahan bebas ke bahasa Indonesia krn di rumah kami berbahasa Arab! Ga deng, bahasa Bali) "Ya terserah kamu saja maunya gimana, Ibu sama Bapak kan cuma liatin, kamu yang jalanin" Nah kalau omongannya begitu maksud terselebungnya adalah "Yakin lu? Coba dipikir lagi baik-baik? Jangan sampai nyesel"
Atau kadang mereka bilangnya "Yakin kamu tu? Kalau menurut bapak sih blablabla (sudut pandang dia)" yang maksud terselubungnya kurang lebih adalah "Kids, I dont think that's the best idea, but you may try"
Semoga mereka bahagia punya anak macam saya |
YA MANJA, YA MANDIRI JUGA
Ini sebenarnya yang paling membingungkan dari mereka. Waktu masih kecil dulu, kami dipaksa mandiri. Dari kecil saya sudah terbiasa bersih-besih rumah, cuci baju sendiri, bantu-bantu di kantin, memberi makan babi, dan hal-hal domestik lainnya.
Anehnya, semakin besar, kami semakin dimanja. Contohnya, kalau kita sedang di rumah, ketika ibu bapak di dapur memasak, ya kita disana juga.. tapi saya dan adik-adik ngobrol kesana kemari macam radio FM dari banyuwangi. Pun urusan membersihkan rumah dan kamar dan lainnya, tak lagi kami disuruh ini itu. Entah alasannya apa, mungkin karena belakangan selalu ada asisten rumah tangga yang membantu Ibu. Hanya saja, orang melihatnya kami manja. Padahal tidak samasekali.
Paling savage tentu ceritanya Wika. Diantara kami bertiga dia yang kelihatannya paling manja. Kesayangan Ibu Bapak. Tapi coba sekali tahu ceritanya. Dari pertama kali daftar kuliah oniline, Ibu Bapak samasekali tidak tahu menahu. Pun ketika dia berangkat ke Jakarta untuk pertama kami, kami tidak temani. Ya dia cari tempat kos sendiri, menjelajah kota sendiri, segalanya sendiri.
Sampai lulus kuliah, saya hanya mengunjungi dia dua kali, Ibu bapak bahkan lebih parah, hanya sekali saat dia wisuda! Hahaha...
Wika beberapa kali pulang naik kereta estafet Jakarta - Bali modal nekat, diiyakan oleh mereka. Jalan-jalan backpacker sendiri juga mereka iyakan. Pertanyaannya palingan "Adik gak takut?" Ya, Ibu bapak sangat percaya pada kami.
Tapi sekali lagi di saat yang sama memanjakan kami dengan cara-cara tak masuk akal. Misalnya pulang dari dokter cuma karena demam, balik ke mobil digendong!
Pergi KKN ke pedalaman diantar ke lokasi padahal di Bapak sedang sakit.
Atau ditamani ketika ambil darah di lab, trus saya tanya "Pak boleh nangis ga pas diambil darah?" jawabnya bapak "Boleh, tapi jangan keras-keras" (ini saya sudah mau lulus kuliah!)
Ya mau gimana, jangankan kami, anjing-anjinya saja dimanja dengan cara-cara yang kadang berlebihan.
Nah dari list tak beraturan itu, saya simpulkan kalau Ibu Bapak saya bukan orang tua ideal versi milenial. Mereka tak menggunakan standar manapun sepertinya (jadi kalau sertifikasi ISO mereka akan gagal).
Seperti katanya Esa, dengan mereka tidak ada yang bisa kami sembunyikan. Bawaannya gatel ingin menceritakan segalanya. Hahaha..
Sepert yang Wika, kelebihannya Ibu Bapak adalah mereka benar-benar mengerti kami. Dan pesan penting dari mbak yang satu ini adalah: "Maybe it's actually simple, if you want your kids listen to you, listen to them too. Basic"
Yaps, Ibu Bapak bukan orang tua ideal, tapi mereka yang terbaik dan yang bertanggung jawab terhadap keanehan kami!
Sungguh swbuah cerita yg menarik kak. Hehe
ReplyDeleteSeneng bisa mampir ke blog ini