29 Tahun dan Terus Belajar dari Kehidupan
Beberapa waktu terakhir ini emosi saya seperti naik roller coaster.
Naik turunnya agak terlalu extreem. Saat naik tinggi tentu tak mengeluh karena bahagianya luar biasa, seperti ketika berlibur ke Maumere, berbagi seekor babi guling selepas odalan di kantor, atau ketika mendapat kejutan ulang tahun super manis dari teman-teman.
Yang menjadi masalah tentunya ketika kurvanya curam menurun. Rasanya sangat sedih, terpuruk, menangis (yang bahkan ibu saya berkata, tumben Winda nangis), dan marah! Ingin menghujat seisi dunia, merasa semua tidak adil, merasa kecil dan tak berdaya.
Saat itu (kurva menurun) sebenarnya saya langsung ingin menulis. Menjabarkan argumentasi-argumentasi logis bahwa saya benar dan mereka salah. Menguliti semua yang saya anggap menentang saya dan membeberkan aibnya pada dunia.
Ya, saya bahkan sudah siap dengan semua data dan fakta yang mendukung argumentasi saya. Saya siap menyerang, saya siap marah. Bagi saya, untuk urusan ini, urusan yang menyangkut prinsip hidup, tidak ada yang boleh mengganggu keputusan saya. Kalau memang mereka tidak terima, saya siap untuk bersama-sama terbakar dan kalah menjadi abu.
Mengerikan bukan?! Ya, begitulah kira-kira saat ego membutakan mata, saat emosi menguasai kepala, pada hakikatnya begitulah manusia terpuruk dalam keangkuhannya sendiri
Bersyukur saya punya orang tua luar biasa. Ibu dan Bapak saya, mereka yang dengan segala upaya berusaha menenangkan saya. Berkali-kali membisikkan agar mengalah untuk menang, mengingatkan saya untuk lebih tenang, berpikir kembali, menata hati, bicara sebagai orang dewasa - bukan sekedar badan saya yang dewasa.
Entah orang tua saya hatinya terbuat dari apa, bahkan teman-teman saya juga heran.. kata mereka kalau org tua saya bukan Ibu Bapak , pasti saya sudah dibantu menyusun strategi menyerang. Atau lebih-lebih, pasti mereka sudah menyuruh saya berhenti berurusan dengan pihak sebelah.
Nyatanya tidak, nyatanya mereka benar.. Mereka benar bahwa dengan lebih tenang, pikiran akan menjadi lebih terbuka, hati menjadi lebih lapang, dan sadar ketika kita ngotot melawan apalagi dengan kekerasan, pada akhirnya kita sama saja seperti mereka.
Bersyukur saya didampingi pacar luar biasa. Yang menguatkan di setiap sedih dan menjadi sandaran ketika jatuh. Entah dimana dia mendapat hati sebesar itu, menjadi penampungan segala frustasi dan kemarahan saya. Entah dimana dia mendapat hati sebaik itu, memaafkan semua kesahalan dan mengalah demi kebaikan saya.
Entah kenapa dia bisa mencintai saya...
Jika tiba waktunya, tentu ada saatnya bertahan dengan apa yang saya yakini atau malah mengalah demi apa yang mereka yakini.
Tetapi sekarang, saya rasa cukup meresapi setiap sakitnya. Menikmati setiap nyeri dan luka yang dibuatnya. Membuat saya sadar, betapa selama ini hidup saya sempurna.
Ketika belakangan ini tidak ada lagi yang perlu saya keluhkan. Saya punya pekerjaan yang sangat saya cintai, teman-teman kerja yang selalu membuat saya bahagia, adik-adik yang tidak pernah merepotkan dan selalu menjadi penghiburan, pacar dengan cinta seluas semesta dan tentu saja orang tua luar biasa dengan cinta tak berhingga.
Ketika semua berjalan seperti seharusnya dan tidak ada alasan saya untuk tidak bahagia, apakah cobaan kecil ini harus menghancurkan semuanya? Tentu saja tidak, dan sudah pasti tidak.
Ya, saya sempat jatuh terpuruk dan bersedih.
Tetapi itu hanya sebentar, bukankah untuk mensyukuri semua kebahagiaan kita harus pernah berpapasan dengan kesedihan?
Ya, saya sempat kecewa dan menangis.
Tetapi itu hanya sesaat, apa yang saya alami ini adalah penyeimbang hidup. Bukankan di bumi ini semua harus berpasangan dan seimbang?
Saya masih belajar mejadi sabar, menjadi dewasa, belajar mengalah untuk pada akhirnya memenangkan kebahagiaan.
29 Tahun, dan ini adalah awal dari semua pelajaran.
29 Tahun, dan saya bahagia
Naik turunnya agak terlalu extreem. Saat naik tinggi tentu tak mengeluh karena bahagianya luar biasa, seperti ketika berlibur ke Maumere, berbagi seekor babi guling selepas odalan di kantor, atau ketika mendapat kejutan ulang tahun super manis dari teman-teman.
Yang menjadi masalah tentunya ketika kurvanya curam menurun. Rasanya sangat sedih, terpuruk, menangis (yang bahkan ibu saya berkata, tumben Winda nangis), dan marah! Ingin menghujat seisi dunia, merasa semua tidak adil, merasa kecil dan tak berdaya.
Saat itu (kurva menurun) sebenarnya saya langsung ingin menulis. Menjabarkan argumentasi-argumentasi logis bahwa saya benar dan mereka salah. Menguliti semua yang saya anggap menentang saya dan membeberkan aibnya pada dunia.
Ya, saya bahkan sudah siap dengan semua data dan fakta yang mendukung argumentasi saya. Saya siap menyerang, saya siap marah. Bagi saya, untuk urusan ini, urusan yang menyangkut prinsip hidup, tidak ada yang boleh mengganggu keputusan saya. Kalau memang mereka tidak terima, saya siap untuk bersama-sama terbakar dan kalah menjadi abu.
Mengerikan bukan?! Ya, begitulah kira-kira saat ego membutakan mata, saat emosi menguasai kepala, pada hakikatnya begitulah manusia terpuruk dalam keangkuhannya sendiri
Bersyukur saya punya orang tua luar biasa. Ibu dan Bapak saya, mereka yang dengan segala upaya berusaha menenangkan saya. Berkali-kali membisikkan agar mengalah untuk menang, mengingatkan saya untuk lebih tenang, berpikir kembali, menata hati, bicara sebagai orang dewasa - bukan sekedar badan saya yang dewasa.
Entah orang tua saya hatinya terbuat dari apa, bahkan teman-teman saya juga heran.. kata mereka kalau org tua saya bukan Ibu Bapak , pasti saya sudah dibantu menyusun strategi menyerang. Atau lebih-lebih, pasti mereka sudah menyuruh saya berhenti berurusan dengan pihak sebelah.
![]() |
Ini mereka, Ibu Bapak Juara Satu |
Nyatanya tidak, nyatanya mereka benar.. Mereka benar bahwa dengan lebih tenang, pikiran akan menjadi lebih terbuka, hati menjadi lebih lapang, dan sadar ketika kita ngotot melawan apalagi dengan kekerasan, pada akhirnya kita sama saja seperti mereka.
Bersyukur saya didampingi pacar luar biasa. Yang menguatkan di setiap sedih dan menjadi sandaran ketika jatuh. Entah dimana dia mendapat hati sebesar itu, menjadi penampungan segala frustasi dan kemarahan saya. Entah dimana dia mendapat hati sebaik itu, memaafkan semua kesahalan dan mengalah demi kebaikan saya.
![]() |
Ini juga Dia yang cintanya Luar Biasa |
Jika tiba waktunya, tentu ada saatnya bertahan dengan apa yang saya yakini atau malah mengalah demi apa yang mereka yakini.
Tetapi sekarang, saya rasa cukup meresapi setiap sakitnya. Menikmati setiap nyeri dan luka yang dibuatnya. Membuat saya sadar, betapa selama ini hidup saya sempurna.
Ketika belakangan ini tidak ada lagi yang perlu saya keluhkan. Saya punya pekerjaan yang sangat saya cintai, teman-teman kerja yang selalu membuat saya bahagia, adik-adik yang tidak pernah merepotkan dan selalu menjadi penghiburan, pacar dengan cinta seluas semesta dan tentu saja orang tua luar biasa dengan cinta tak berhingga.
Ketika semua berjalan seperti seharusnya dan tidak ada alasan saya untuk tidak bahagia, apakah cobaan kecil ini harus menghancurkan semuanya? Tentu saja tidak, dan sudah pasti tidak.
Ya, saya sempat jatuh terpuruk dan bersedih.
Tetapi itu hanya sebentar, bukankah untuk mensyukuri semua kebahagiaan kita harus pernah berpapasan dengan kesedihan?
Ya, saya sempat kecewa dan menangis.
Tetapi itu hanya sesaat, apa yang saya alami ini adalah penyeimbang hidup. Bukankan di bumi ini semua harus berpasangan dan seimbang?
Saya masih belajar mejadi sabar, menjadi dewasa, belajar mengalah untuk pada akhirnya memenangkan kebahagiaan.
29 Tahun, dan ini adalah awal dari semua pelajaran.
29 Tahun, dan saya bahagia