Wednesday, April 19, 2017

Ahok-Djarot kalah pilkada DKI Jakarta. Fix sudah kalah, Anies-Sandi fix menang. Anies-Sandi dan segenap pendukungnya pasti sedang bahagia gegap gempita merayakan kemenangan ini. Saya, ucapkan selamat! Selamat menjadi pemimpin, selamat menunaikan tugas mulia melayani Jakarta. 

Nah, orang bertanya pada saya. Kamu pendukungnya Ahok? Clear sekali jawaban saya, iya saya pendukung Ahok. Selama dia masih bekerja jujur, bersih, dan tulus, sampai kapanpun dan dalam posisi apapun saya adalah pendukungnya pak Ahok.



Lalu kamu benci Anies-Sandi donk? Kenapa harus benci, saya hanya tidak punya cukup energi untuk suka atau benci mereka. Sama kayak gini lho, sama Dje saya ya cinta. Sama Ben saya ya cinta. Tapi kalau sama Raffi Ahmad misalnya, ya biasa saja. Cinta ya engga, suka juga engga, benci juga engga. Apa ya, sejenis kita bertemu some random guy nyebrang di zebra cross pas kita lagi nyetir mobil. Ga ada rasa apa-apa kan, benci engga, cinta juga ga ada. Nah itu yang saya rasakan pada Anies -Sandi. Sekarang mereka menang Pilkada, ya wis, selamat. Sudah jatahnya dia kan.

Trus Ahok kalah, kamu gimana? Ya ga gimana juga, memangnya kalau Ahok kalah berarti perjuangannya untuk kerja jujur bersih dan tulus akan berakhir? Saya rasa tidak, begitu juga saya. Apa ini berarti saya akan kecewa pada dia? Tentu saja tidak, selama dia masih berpegang pada nilai kebenaran, siapapun dia, apapun yang dia lakukan akan selalu mendapat dukungan saya. Saya akan tetap mendukung, saya akan tetap berusaha memberikan kontribusi pada sekitar. Lewat tulisan dan lewat beasiswa kakak asuh. (karena sementara ini, hanya itu yang saya bisa)



Klise memang, tetapi dalam sebuah pertarungan pasti ada menang dan kalah. Apalagi ketika yang dipertarungkan adalah urusan rasa. Ya menurut saya pemilu adalah tentang rasa, lebih gede porsi perasaan daripada logikanya. Kenapa? Coba tanya pada dirimu sendiri, saat memilih calon pemimpin yang hanya kita kenal selintas, bukankah kita menggunakan rasa? Rasa-rasanya bapak ini orang baik, terlihat dari wajahnya. Rasa-rasanya bapak ini ilmu agamanya tinggi, terlihat dari bajunya. Atau malah, rasa-rasanya ibu ini orangnya adil, terlihat dari senyumnya. 

Sukur-sukur kita ketemu dengan sosok semacam Ahok, yang kinerjanya dengan mudah dapat kita pantau karena keterbukaannya membagikan semua di internet. Sukur-sukur kita hidup di jaman yang sama dengan Ahok, yang di jaman gonjang-ganjing begini masih ada orang setulus dan sejujur dia. Nah, kalau tidak tau kinerjanya inilah jadinya menggunakan rasa! Sukur-sukur perasaan kita sejalan dengan fakta. 

Lalu, setelah Ahok kalah bagaimana dengan Jakarta? ya jangan tanya saya, saya bukan orang Jakarta, bukan juga pemimpin Jakarta yang baru. Hahaha.. hanya saja Jakarta pasti akan berkembang, dengan riuhnya pilkada terakhir ini saya yakin kontrol sosial terhadap pemimpin yang baru akan semakin kencang, semakin kritis, semakin nyinyir. Terserah nanti si pemimpin baru mau lebih terbuka, mau lebih baik atau mau mendengar masukan rakyat kan. Kalau tidak, ya penduduk Jakarta punya waktu 5 tahun untuk memilih dan memilah pemimpinnya nanti. Kalau bagus, kan untung di kita semua.

Nah, Ahok sudah kalah, Anies menang, kamu dicibir oleh temanmu yang pendukung Anies gegara jagoanmu kalah, kamu akan bagaimana? Ya tidak bagaimana juga, toh kebanyakan cibiran ditulisnya di media sosial, yang setiap detik sudah ketimpa update-an lainnya. Toh cibiran yang diajukan ke saya hanya lewat sebaris dua baris kalimat yang tak banyak membangun arti apa-apa. Kecuali kawan ini membuat tulisan, dan menyampaikannya dengan terstruktur, saya salut! Dan saya akan dengan suka cita mengakui kehebatannya. Tapi tak usah ragu, saya tetap mengakui kemenangan Anies-Sandi.



Menurut saya, jika kita mengaku pendukung cerdas, tak ada faedahnya berdebat di media sosial. Pemenang sudah terpilih, apa lagi yang mesti diributkan? Ada, yang mesti diributkan adalah bagaimana kita bersama-sama menjadi kontrol terhadap para pemimpin. Mari bersama belajar memberikan masukan bukan nyinyiran tak berguna. Ayo bersama belajar menjadi warga negara bertanggung jawab dengan memberi pendapat kritis bukan mengkritik tanpa fakta. Ingat, kritik tanpa fakta namanya fitnah. Fitnah, ujung-ujungnya neraka juga. 



Sekali lagi selamat Anies-Sandi, selamat menjadi pemimpin amanah, pemimpin pilihan rakyat.

Pak Ahok, terimakasih telah menunjukkan pada saya arti ketulusan dan kejujuran. Karena saat melihat bapak bekerja saya merasa bahwa pemimpin seperti bapak yang akan selalu menjadi panutan saya.

Pak Ahok, terimakasih telah menunjukkan pada saya arti jiwa kesatria dan keberanian. Dari bapak saya belajar bahwa tidak peduli seberapa orang yang membenci dan mencaci kita, selama kita memperjuangkan kebenaran, tidak ada yang perlu ditakutkan.

Pak Ahok, terimakasih telah menunjukkan pada saya tentang indahnya hidup berdampingan. Dari bapak saya semakin mensyukuri setiap perbedaan yang saya temukan dalam hidup, karena perbedaan membuat hidup lebih berwarna dan membuat dunia menjadi lebih indah.

Pak Ahok, saya bangga penjadi pendukung bapak. Dan selama bapak jujur dan tulus bekerja, disana tulisan-tulisan saya akan selalu ada untuk mendukung Bapak.






A Piece of Mind . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates