Monday, December 27, 2021

Absurd Life Series #2 : Di Surga Ada Apa?

Topik ini tiba-tiba muncul dalam obrolan tidak jelas dengan seorang kawan. Entah awalnya apa, muncul topik tentang pekerjaan-pekerjaan yang kemungkinan besar diganjar surga setelah meninggal. Daftar teratas tentu saja profesi dokter. Menyelamatkan nyawa itu sudah kasta tertinggi perbuatan baik umat manusia seharusnya. 

Ini sekilas percakapan berfaedah itu:
Saya       : kalau dokter itu kemungkinan besar masuk surga sih.
Teman    : emang di surga ada apaan?
Saya       : ada 47 bidadari yang menunggu dan melayanimu (ini asli saya ngaco)
Teman    : klo mau 47 bidadari doang, sekarang masih hidup juga bisa. Tinggal bayar.
Saya       : hhmmm, klo gitu bisa makan nasi padang sepuasnya tanpa takut gendut
Teman    : Sekarang jg saya bisa makan nasi padang sepuasnya dan ga gendut
Saya       : ga tau lah, belum pernah mati kan.

Setelahnya kok malah kepikiran. Di surga nanti memang ada apa?

Di banyak kepercayaan, surga adalah ultimate goals setelah meninggal. Tempat segala yang kita inginkan tersaji di depan mata tanpa usaha, gratis, tidak usah bayar pajak dan tentu saja tidak usah berebutan. Semua-mua-nya ada! Apapun yang membuatmu bahagia.

Tetapi, ada juga kepercayaan lainnya, tujuan tertinggi dari hidup malahan tidak hidup lagi. Terputus dari siklus hidup dan mati. Dalam Hindu disebut Moksha. Dalam ajaran Buddha disebut Parinibanna. (Kalau saya salah, please kasi tau ya)

Yang lumayan membuat saya mikir, jangan-jangan memang surga itu ada. Makanya hampir semua agama dan kepercayaan bermuara pada Tuhan (entah namanya apa), Surga, dan Neraka? Atau mungkin juga sebenarnya Surga dan Neraka adalah representasi hal-hal yang kita tau dalam dunia yang fana ini. 

Surga adalah recognition atau reward karena hal-hal baik yang sudah kita lakukan atau pencapaian kita atas target yang sudah ditentukan. Lalu sebaliknya neraka adalah consequences atau punishment karena hal-hal buruk yang dilakukan atau hasil yang jauh dibawah target yang ditetapkan. Semacam evaluasi kinerja tahunan gitu. Kalau bagus mungkin dapat bonus (hanya bos yang tau), kalau jelek jangankan bonus, gaji dibayar tepat waktu saja sudah sukur.

Lalu, bagaimana dengan para introvert.
Bayangkan mereka yang semasa hidup ketenangannya adalah ketika dia sendirian malas-malasan di kamar, sambil baca buku atau sambil main game, lalu karena berbuat baik diganjar surga lalu berkumpul beramai-ramai dengan orang baik lainnya dari segala penjuru alam semesta, ditemani bidadari dan malaikat segala. Rame gitu lhooo, kayak parade makhluk-makhluk baik. Kalau saya rasanya itu bukan reward, malah lebih ke punishment. Semasa hidup sudah capek lah berurusan dengan manusia lain, berbuat baik niatnya kalau surga nanti ga usah ketemu manusia lagi, eh tapi malah numplek jadi satu compound. Lelah lagi.

Mungkin surga itu sama kayak bahagia.
Lebih ke state of mind. Bukan kayak cluster perumahan di bikini bottom yang kamu harus bertetangga sama orang lain. Tapi lebih ke preferensi masing-masing orang, yang membuat mereka bahagia apa. Kalau bahagianya dirubungin puluhan bidadari ya monggo. Mau makan nasi padang sepuasnya ayo. Atau mau leyeh-leyeh juga boleh.

Yah, tulisan ini sungguh sangat tidak berfaedah memang.

Kalau saya sih pengennya kalau nanti meninggal ya udah gitu aja. Ilang. Ga lanjut kemana-mana lagi. Done! Finish! Khalas! Tapi karena belum pernah jadi belum tau bagaimana.

Hanya saja, seperti seorang Om bilang di another obrolan tidak berfaedah lainnya, yang paling pasti dari kehidupan di dunia ini hanya mati. Sangat biologis dan klinis.

Selamat menyambut tahun baru!




Photo by Daria Shevtsova from Pexels

Wednesday, December 15, 2021

Apa Ukuran Kebahagiaan?

Beberapa waktu lalu seorang kawan randomly bertanya ke saya tentang definisi kebahagiaan dan kesuksesan. Apakah ukuranya adalah keluarga, pasangan, uang, jabatan, pendidikan, atau apa?

Saya agak bingung juga.
Kalau yang ditanya ukuran berat badan, ukuran sepatu atau ukuran beha, dengan mudah bisa saya langsung berikan. Tapi ukuran bahagia?

Setelah berpikir sejenak, ini jawabanya waktu itu: Saya tidak pernah berpikir sejauh itu. Nyaris tidak pernah mikir bahagia itu gimana.

Yah, saya tidak pernah memikirkan apa ukuran dan tolak ukur kebahagiaan. Most of the time I am planning my life and enjoy the ride.

Beberapa kali rencana-rencana hidup itu tidak tercapai. Bahkan gagal total. Baru saja kemarin pengajuan kredit ditolak karena bank belum berani kasi hutangan ke karyawan hotel. Kecewa sebentar, lalu memikirkan semua baik buruknya, akhirnya bahagia karena kreditan di tolak bank. Setidaknya hidup saya akan sangat tenang dan damai meskipun cita-cita yang sudah direncanakan dengan matang harus diubah masterplan-nya agar lebih masuk akal.

Begitu juga rencana bertemu Issam yang direncanakan matang-matang dari jauh-jauh hari dan berkali-kali gagal total gara-gara pandemi dan kebijakan pemerintah yang berganti tak tentu. Frustasi iya, nangis-nangis karena kangen. Setelahnya baik-baik lagi, bersyukur dan heran kok bisa pacaran 3 tahun, 2 tahunnya lewat video call doang. Bahagia karena uang yang tadinya buat foya-foya liburan bisa dipinjam untuk benerin mobil yang tiba-tiba mogok.

Bahagia ternyata terjadi begitu saja. Hal-hal kecil yang kadang tidak diharapkan. Malah kadang terjadi ditengah bencana. Coba deh ingat-ingat cerita susah di masa lalu, lalu ceritakan pada orang-orang sekitar, jatuhnya pasti kita akan menertawakan masa-masa itu. Seringnya saya malah menertawai diri sendiri. Kok ya bisa bodo begitu. Kok ya bisa sangat naive melihat dunia. Kok bisa ditipu mentah-mentah. Lalu bahagia karena sadar kesulitan-kesulitan itu yang menjadikan saya yang sekarang. Lebih dewasa rasanya. Meskipun belum pintar-pintar amat, tapi lebih matang kalau hitung-hitungan tentang hidup.

Sering kali entah karena ulah siapa, kebahagiaan dianggap berkorelasi positif dengan kesuksesan. Lalu indikator kesuksesan ada pada uang, jabatan, strata sosial. Mungkin benar juga sih itu ukurannya, makanya setiap negara menghitung keberhasilan pemerintahnya dengan Gross Domestic Product (GDP), makin gede makin baik. Begitu juga perusahaan, tiap bulan saya ikut meeting untuk tau Gross Operating Profit (GOP), makin gede makin disayang owner. Kalau malah GOL (Loss) artinya siap-siap cari kerja tahun depan. Jadi memang bisa saja itu dijadikan indikator kesuksesan. Tetapi apakah kesuksesan ini berkorelasi positif dengan kebahagiaan?

Saya mencoba membandingkan data tentang peringkat kebahagiaan negara-negara di dunia vs negara-negara dengan GDP terbesar di dunia (karena capek bikin tabel yang bagus, jadi saya buat 5 besar saja)

Source: World Happiness Report & Data Worldbank

Apa yang kalian lihat di perbandingan itu? Ternyata kebahagiaan tidak melulu berbanding lurus dengan kekayaan dan harta. Top 5 negara paling bahagia itu tidak ada yg bahkan masuk top 20 negara dengan GDP terbesar. Islandia (Iceland) bahkan rangking 110 GDP-nya. Pun Indonesia, masun negara G20 karena GDP kita selalu 20 besar tetapi ketika berurusan dengan kebahagiaan agak jauh di bawah. Sementara negara dengan GDP terbesar di dunia adalah Amerika Serikat, tingkat kebahagiaannya "hanya" di ranking 17.

Negara-negara yang selalu dalam daftar teratas dalam daftar negara paling bahagia selalu adalah negara-negara Nordik. Negara yang sangat jauh dari khatulistiwa. Negara yang jauh dari kata-kata subur. Bagaimana mau subur, tanah-tanah mereka dilapisi es. Melihat matahari juga jarang. But yet, mereka paling bahagia di muka bumi. Coba deh baca Geography of Bliss-nya Eric Weiner, dia membahas hal ini.

Kalau katanya ibu saya, uang memang bisa membuat bahagia. Di kampung kami banyak nian kasus prahara rumah tangga rata-rata karena masalah ekonomi. Mungkin maksudnya adalah, at a certain point, uang memang memberikan perasaan tenang. Sense of security. Ketika kita tahu bahwa kebutuhan pokok terpenuhi. Tidak perlu khawatir tentang pangan, papan dan sandang. Masuk akal kalau banyak yang percaya kalau kebahagiaan berbanding lurus dengan harta dan kekayaan. Dalam list kebahagiaan itu, negara-negara yang tidak bahagia dipenuhi oleh negara-negara miskin di Afrika macam Rwanda & Zimbabwe, dan juga negara-negara yang sedag konflik macam Afganisthan dan Yaman.

Kembali ke kebahagiaan di level personal. Ya saya akui kondisi saya sekarang dengan pekerjaan yang baik dan penghasilan yang stabil memberi kontribusi pada level ketenangan. Tetapi kebahagiaan? Lain lagi ceritanya. Tahun 2010 ketika saya pertama kali bekerja dan gaji hanya ratusan ribu sebulan, rasanya juga sudah bahagia saat ini. Tingkat kebahagiaannya beti-beti dengan sekarang.

Lalu apa ukuran kebahagiaan untuk saya?

Setelah saya pikirkan sesaat sebelum menulis ini, saya tetap tidak mau memikirkannya. Terlalu banyak memikirkan tentang kebahagiaan malah bisa membuat tidak bahagia.

Biarkanlah kehidupan berjalan dan memberikanmu kejutannya. Kalau buruk dan membuatmu kurang bahagia, setidaknya itu menjadi pengingat bahwa bahagia itu rasanya menyenangkan. Kan katanya kalau belum pernah rasanya menderita, akan sulit untuk paham rasanya bahagia. Lihat saja orang yang kaya dari lahir, jauh lebih sulit dibuat bahagia. Saya bisa sesekali makan di restaurant Vietnam saja rasanya bahagiaaaaa. Syahrini dikasi makan steak berlapis emas mungkin biasa saja karena sudah terlalu biasa.

Penting untuk membuat diri kita merasa aman dan tenang. Dengan kondisi keluarga dan ekonomi, agar setelahnya lebih woles menjalani hidup.

So, semoga semakin sering bahagia ya....

Oh, ini jawaban saya waktu itu ketika ditanya tentang definisi bahagia

Terimakasih Bu Guru Made sudah membuat saya mikir dan akhirnya menulis tentang ini :)


Sunday, December 12, 2021

Tergoda untuk Menyerah

Sesekali terasa lelah
Tergoda untuk menyerah
Balik kanan dan mengaku kalah

Kadang rasanya gundah
Ketika hati selalu resah
Ingin sekali berhenti dan pasrah

Apakah ini saatnya berubah?
Atau hanya pertanda agar sedikit berserah?
Agar hati dan jiwa tak lagi lemah

Pada akhirnya logika menjawab tanya
Hidup manusia yang sebenarnya fana
Mencari cinta yang seharusnya nyata

Aku dan kamu berusaha tetap ada
Menarik kemungkinan dalam setiap cerita
Meski kadang rasanya tak bisa

Lelah bukan berarti berhenti mencoba
Menyerah kadang terpikir tapi tak menggoda
Kalah hanya saat darah tak lagi mengalir ke kepala

Kepada kamu
Aku cinta selalu
Meski tak mudah dah tak tentu
Aku tunggu, bersama setumpuk rindu



Nusa Dua, 12 Dec 2021
11.31 pm

Photo by Nick Fewings on Unsplash


Thursday, December 2, 2021

My Absurd Life Series #1 - Cara Menjawab Pertanyaan "Kapan Kawin?"

Beberapa kali obrolan tentang pertanyaan "Kapan Kawin?" muncul dalam percakapan antara saya dan sahabat terdekat. Bukan, mereka bukan literally menanyakan kapan saya akan menikah dan berumah tangga. They know me too well. Tetapi tentang konteks pertanyaannya. 

Saya sempat ragu menulis ini sebenarnya, tetapi rasanya harus. Ragu karena saat ini sedang banyak campaign yang menyatakan menanyakan kapan kawin adalah sebuah pelanggaran privasi seseorang. Membuat orang insecure dan depresi. Bahkan saat musim hari raya konon katanya sampai banyak yang malas mudik atau malas ikut acara keluarga karena malas ditanya kapan kawin.

Muncul juga rupa-rupa cara menjawab pertanyaan ini dengan cara yang konyol, sarkasme sampai serius. Lalu muncul berbagai pembelaan tentang hak azasi, kesetaraan gender, dan banyak lagi.

Lalu apa yang membuat saya ragu untuk menulis? 
Karena ternyata saya tidak setuju dengan orang-orang yang merasa bahwa pertanyaan kapan kawin itu adalah pertanyaan yang dilarang dan bisa membahayakan jiwa si objek penderita. Agaknya terlalu berlebihan. Bagaimana kalau kita ubah sedikit saja sudut pandangnya. Sedikit. Janji!

Let me tell you about myself a little bit. 8 bulan lagi saya akan berumur 34 tahun. Punya pacar dan serius. Tapi belum tahu kapan akan menikah. Bahkan apakah akan menikah saja saya belum tahu. Saya bukan orang yang memutuskan untuk tidak menikah. Ya, saya ingin menikah. Saya ingin punya suami. Tetapi memang ada beberapa pertimbangan yang harus dihitung dengan benar sebelum keputusannya diambil. Kalau ada yang mau tahu alasan detailnya kenapa saya tidak akan merasa tersinggung kok, sebisa mungkin pasti akan saya jelaskan. 

Seberapa sering ditanya "Kapan Kawin?"? Oh please, anda pasti bisa membayangkan. Tidak hanya di acara keluarga atau di lingkungan terdekat saja. Kemarin urus kredit di bank dan orang bank tahu saya masih lajang pertanyaannya begitu juga. 

Pernah stress ditanya seperti itu? Mungkin pernah. Tapi sudah sangat lama tidak lagi. Alasannya? Saya akhirnya melihat pertanyaan itu ya hanya sebatas pertanyaan saja. Tinggal dijawab. Selesai. Variasi jawaban saya biasanya:
"Iya nunggu jodohnya dulu" 
"Doakan semoga segera ya"
"Ditunggu ya, mudah-mudahan ada jalannya" 
Ya semodelan itu saja.

Memang kadang ada pertanyaan lanjutannya semacam "Duh, tunggu apa lagi sih?" atau "Kamu terlalu pemilih mungkin" atau di kasus saya yang lumayan sering "Jangan ngejar karir terus, nanti keburu tua"
Variasi jawaban saya biasanya, sama dengan yang tadi, semacam "Iya nih, doakan saja ya". Dulu masih suka jahil, jawabnya kadang gini "Iya nih, bantu cariin donk" atau semacam "Yah, nunggu dilamar soalnya" lalu suasana bisa menjadi lebih cair.

Saya tidak terlalu setuju kalau kita fokusnya adalah "mengharapkan orang lain untuk tidak bertanya hal itu". Ini sia-sia, bahkan dalam banyak agama besar di dunia mereka percaya bahwa janganlah menaruh harap pada manusia, karena dari semua kepahitan hidup, yang paling pahit adalah berharap kepada manusia.

Jadi, instead of mengharapkan orang lain tidak bertanya "Kapan Kawin?" "Kapan Punya Anak?" "Kapan Lulus Kuliah?" dll, bukankah sebaiknya lakukan apa yang kita bisa lakukan sendiri, menata pikiran, jangan terlalu terbawa hati, anggap itu sebagai pernyanyaan biasa lainnya. Sebiasa orang bertanya "Kamu kok tidak suka makanan pedas?" Tidak usah marah, tinggal dijawab saja.

Rasa-rasanya sebagian besar orang yang bertanya-tanya kepo itu tidak ada sedikitpun niat jahat. Mungkin memang itu cara mereka untuk bersosialisasi. Dan mungkin hanya itu pertanyaan yang terlintas dipikiran mereka. Jangan sampai hanya karena itu kita terbawa emosi. Ujung-ujungnya overthinking. Menganggap semua orang jahat dan tidak mau bertemu orang. Agak susah soalnya. Kita bukan Yeti yang bisa hidup sendiri di pegunungan himalaya. Bahkan mungkin Yeti juga punya tetangga dan saudara. Ada yang baik, ada yang rese.

Kembali lagi tentang pertanyaan "Kapan Kawin? itu, pada akhirnya kita tidak akan pernah bisa mengontrol tindakan dan perkataan orang lain. Yang bisa kita lakukan hanyalah memutuskan apa yang akan kita lakukan dan katakan. Menjadi dewasa memang kadang menyebalkan, tetapi kalau dijalani dengan lebih santai akan bisa menjadi menyenangkan kok. Percaya deh.

Love you all!

Source: https://unsplash.com/photos/KZcWygxZ_J4 (Taken by: @timmossholder)



Tuesday, November 2, 2021

Selamat Ulang Tahun SMA 1 Singaraja - Cerita Dari Seberang Meja

Timeline facebook dan IG saya cukup ramai dengan ucapan ulang tahun untuk almamater saya. SMA 1 Singaraja. Foto-foto jaman SMA juga bersliweran. Sayangnya, saya tidak punya foto jaman SMA. Jangankan foto, handphone saja saya baru punya setelah kelas 2 SMA. Itupun lungsuran dari entah siapa lupa. But then, still 3 tahun SMA adalah salah satu fase terbaik dan terajaib dalam hidup saya. And for that, I have to thank to SMA 1 Singaraja. 

Saya rasa, most of Alumni-nya SMANSA Singaraja akan sangat bangga bersekolah di sekolah terbaik ini. Regardless saat SMA dulu masuk kelas unggulan, juara olimpiade, group sispala, geng OSIS, atlet sekolah, gadis-gadis populer, atau bahkan anak nerd macam saya. We have one thing in common, we are so proud being "anak SMANSA". Satu kesamaan lainnya mungkin most of us adalah budak les pelajaran tambahan! I mean, everyday les pelajaran tambahan dari jam 3 sore sampai jam 8 malam. Sad.

The uniform tells it all. What so called batik smansa, yang mungkin karena kualitas kain atau entah apa, pasti akan menipis dan rombeng setelah beberapa lama di pakai (but I have a strange feeling now that the more rombeng the shirt, the cooler you got) membuat saya merasa agak jumawa sebenarnya. 

Yang paling menguntungkan, dan sebenarnya absurd adalah label. Yaps, ketika kita sebutkan bahwa sekolahnya di SMANSA Singaraja, hampir semua orang akan berasumsi bahwa kami anak pintar. Remember, asumsi! Of course not all of us adalah anak pintar. Termasuk saya. Saya cukup beruntung berada dalam lingkungan orang-orang pintar ini.

Sama seperti di SMA manapun, murid-murid SMA biasanya digolongkan dalam beberapa cluster utama. Kalau peng-cluster-an versi saya di SMANSA Singaraja ada golongan ini:

The Top Tier - The Genius Kids: di sekolahan saya isinya anak-anak olimpiade science. Ini yang Olimpiadenya sampe tingkat internasional lho ya. Ke luar negeri bukan buat jalan-jalan tetapi buat adu rumus fisika, kimia, matematika, biologi. Termasuk juga mereka yang juara lomba karya tulis ilmiah, tingkat internasional juga. Golongan ini yang paling mengintimidasi sebenarnya. You can find them easily. Mereka selalu di kelas unggulan, selalu tampak sangat nerd, sangat jarang bergaul dengan anak-anak di kelas lainnya. Setelah lulus juga kuliahnya cukup seragam kalau tidak di perguruan tinggi terbaik (ITB, UI, UGM, ITS, IPB), tinggal cek di Jurusan Kedokteran Unud atau sekolah kedinasan macam STAN dan STIS. Mereka berkeliaran disana. 

The Cool Kids - terkadang dianggap anak-anak bandel. Yaps, mereka juga biasanya akan berkawan bersama. Most of them sangat mengikuti trend at least untuk ukuran kota Singaraja. Motor, pakaian, gaya rambut, handphone. Beberapa dari mereka are good looking. Mungkin dari keluarga yang berkecukupan. (ini kenapa saya jadi profiling macam FBI sih!). Oh, banyak dari anak-anak cool kids ini juga anak band. Jadi kalau ada acara sekolah mereka pengisi acaranya. Saya tidak ingat apakah mereka menyanyi dengan baik atau tidak. Di acara-acara sekolah saya biasanya agak terlalu sibuk jajan. Sesekali mereka juga bandel. Kejadian yang melekat di ingatan saya adalah suatu ketika upacara bendera, entah kesalahan apa yang mereka lakukan, beberapa dari mereka harus berdiri di lapangan basket tanpa sepatu. Yang cukup impresif dari anak-anak ini, meskipun mereka di sekolah tidak masuk kelas unggulan, saat kuliah most of them masuk top tier university juga. Jurusan-jurusan favorit juga. Jangan tertipu dengan tampilan luar, they are all smart kids.

The Queen Bee's - terdengar shallow memang. Maafkan cara kerja otak saya waktu SMA. Group ini isinya memang gadis-gadis cantik. Good looking, good shape and presentable. Lumayan mudah memasangkan mereka dengan The Cool Kids. Profile-nya, seingat saya, most of them punya rambut panjang yang indah (saat itu saya belum sadar kalau ada namanya proses smoothing dan rebonding). Di saat kami yang lain ke sekolah dengan kemeja yang ukurannya 2 kali lebih besar dari ukuran badan kami, mereka memakai kemeja yang pas di badan. Bukan yang pas berlebihan, tapi cakep aja. Seringnya mereka akan selalu bersama-sama. Ke kantin, kumpul di lapangan sekolah, kelas mereka juga biasanya berdekatan. Mungkin faktor geographis kelas mempengaruhi eratnya tingkat pertemanan mereka. Saya tidak tau banyak tentang mereka. Agak menyesal kenapa saya kurang mengobservasi mereka.

The Trias Politica - terdengar ngeri. Dan memang mereka adalah para penegak keadilan dan penumpas kebatilan. Hahaha. No. Konsepnya di SMANSA Singaraja itu dulu ada OSIS, MPK (Majelis Perwakilan Kelas), dan Kamtib (Keamanan dan Ketertiban). Yang saya ingat, trias politica ini mengurusi razia ketertiban, lomba gerak jalan 17an, acara ulang tahun sekolah, MOS (dalam terjemahan bebas saya: Masa Olok-Olok Siswa Baru). Isinya cukup beragam. The cool kids ada disini, beberapa anak-anak yang serius dengan leadership kuat terutama dan paling banyak. The Genius nyaris tidak ada, kalaupun ada biasanya karena mereka harus mewakili kelas. Ingatan paling kuat saya adalah saat kelas 1 SMA sebenarnya kami dilarang naik motor sendiri, tentu saja saya melanggar. Jadi saat razia kena hukuman karena mereka menemukan kunci motor saya. Sampai akhirnya saya cukup cerdik punya tempat persembunyian kunci motor yang tidak akan saya ceritakan dimana! HA!

Unclassified - I think this is where I belong. Bersama dengan sebagian besar anak-anak lainnya. Tidak cukup pintar untuk disebut genius. Tidak cukup keren untuk menjadi cool atau queen bee's, dan di kasus saya terlalu malas untuk masuk menjadi bagian dari trias politica

Saya sangat beruntung sebenarnya. Bukan menjadi pusat perhatian orang-orang, saya punya cukup banyak waktu untuk observing. Melihat interaksi teman-teman saya dan belajar banyak dari sana. I mean, apa yang saya percaya saat ini, dan cukup fundamental, berawal dari masa SMA itu. Ketika saya bertemu dengan orang-orang pintar itu. Dengan pemikiran-pemikiran yang mungkin tidak mudah untuk dipahami banyak orang tetapi entah kenapa pas dengan ide-ide di kepala saya. Hal-hal yang sebenarnya agak terlalu berat untuk anak SMA. Tentang Tuhan, tentang agama, tentang spiritualitas, tentang kehidupan, alam semesta beserta isinya. Ini kenapa masa SMA saya ajaib.

Paling aneh adalah saya pernah masuk tim olimpiade matematika. What on earth saya bisa lolos coba. Waktu itu dipilih rangking 30 besar se-Bali, dan saya rangking 29 sepertinya. Hahaha. Itu asli hanya karena keberuntungan. Lalu selama beberapa minggu kami mendapat pelatihan intensif untuk mengerjakan soal-soal matematika rumit level olimpiade yang mungkin nantinya digunakan untuk menghitung volume pesawat ulang alik! Tidak sedikitpun pelajaran selama pelatihan itu yang nyantol di kepala. Ingatan saya selama pelatihan olimpiade adalah bagaimana caranya bolos dari kelas membosankan itu.

Meski nerd, saya juga punya geng kok. Sekumpulan teman-teman yang keren dan mau berteman dengan saya yang membuat masa SMA menjadi cukup normal. Ya, mereka dari golongan the genius, the cool kids, the queen bee's dan trias politica. Entah kejadian kosmik apa yang membuat kami betah berkawan. Bersama mereka saya merasakan menjadi bagian dari group teater sekolah yang tampil beberapa kali di muka umum. Merasakan riuhnya pesta ulang tahun. Ikut geram ketika seorang teman putus cinta. Beberapa kali menyukai teman satu angkatan atau kakak kelas yang tidak berujung kemana-mana. Dan yang sangat menyenangkan, akhirnya bertemu orang yang bisa saya ajak ngobrol tentang Harry Potter! 

Dan pada akhirnya, saya yang tak pandai berteman ini masih sangat sering ngobrol tak tentu hingga hari ini dengan beberapa dari mereka. If I mention your name please stand up: Win, Cika, Jati, Nia. Thank you for the friendship.

Saya tidak bisa berbagi photo keriuhan masa SMA, tetapi saya bisa berbagi cerita. Kenangan-kenangan ajaib dan absurd selama 3 tahun terbaik itu. 

Terimakasih SMANSA Singaraja sudah memberikan sahabat-sahabat terbaik. Cerita-cerita absurd. Pola pikir ajaib dan bertahan hingga kini,  membuat saya sangat bangga saat bercerita tentang masa SMA.

Dari Saya,
Yang saat ini lebih sering berada di seberang meja.

The Epic Gedung Utama Sekolah
Picture from: https://foursquare.com/v/smansa-singaraja/4c91f0514c19ef3bf45489e1?openPhotoId=4f9247a4e4b08038d70488aa


Sunday, September 26, 2021

Ketika Sedang Bersedih, Coba Lakukan Hal-Hal Ini

Beberapa minggu belakangan, saya banyak mendengarkan. Berusaha menjadi tempat bercerita beberapa kawan yang sedang kesulitan. Berbagai masalah yang kadang asing, seperti masalah dengan pasangan, masalah dengan mertua/ipar, rekan kerja dan atasan yang menyebalkan, atau anak-anak yang beranjak remaja dan kelakuannya macan setan semua, atau bahkan masalah dengan diri sendiri.

Kadang-kadang saya agak takut, bukan takut karena cerita mereka, tetapi takut akan reaksi saya. Apakah saya harus ikut marah, sedih dan kecewa? Apakah saya harus memberikan mereka saran? Apakah saya seharusnya memberikan pendapat pribadi tentang situasi yang diceritakan? Takut kalau saya lakukan itu, malahan akan memberburuk situasi mereka? Atau malah kalau saya tidak melakukannya hubungan yang sudah fragile itu malah akan tambah porak poranda?

Cukup bersyukur pekerjaan saya cukup besar porsi tugasnya adalah mendengarkan. Terkadang untuk membantu mereka untuk mencari solusi atau bahkan memberikan solusi, sering juga memang mendengarkan saja. Berempati, memberikan pelukan di akhir hari. Meskipun pandemi ini membuat pelukan tak lagi menjadi hal yang membuat nyaman. 

Maka, ketika kawan bercerita tentang masalah -masalahnya, most of the time saya tidak memberikan solusi apapun. Saya hanya bisa mendengarkan. Hanya itu yang bisa dilakukan. Membuka telinga dan hati selebar-lebarnya untuk menampung kesedihan, kemarahan dan kekecewaan mereka sebanyak-banyaknya. 

Cukup senang kalau di akhir cerita mereka bisa menangis dengan lebih lega dan bercerita lebih lancar. Sangat senang ketika mereka merasa jauh lebih baik dan bahkan bersedia mencari bantuan profesional untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka. Dan paling senang karena pada akhirnya, saya belajar banyak dari cerita-cerita itu.

Saya menulis ini, kalau ada yang sedang merasa susah hati, belum bertemu kawan yang pas untuk dicurhatin, tetapi merasa sesak dan ingin melepas penat, ada beberapa hal yang hampir selalu saya katakan  ketika ada teman yang curhat. Semoga membantu.

1. Menangislah sepuasnya
Salah satu episode dalam spongebob yang akan selalu saya ingat, adalah ketika spongebob berkata kurang lebih "Aku suka menangis, karena menangis membantuku menyelesaikan masalah". 

Well mungkin sebenarnya tidak menyelesaikan masalah, tetapi sering kali menangis membuat kita merasa jauh lebih lega. Beban di hati terangkat sedikit. Di kasus saya, menangis kadang membuat saya kelelahan lalu tidur dengan nyenyak.

Ada beberapa kawan yang bercerita, awalnya kesulitan menangis. Terutama mereka yang laki-laki. Saya sepenuhnya paham, kita terlahir di budaya yang sangat maskulin dimana menjadi laki-laki tidak boleh lemah. Dan menangis adalah salah satu indikasi kelemahan menurut sangat banyak budaya di dunia. 

Padahal menangis itu melegakan! Beneran. Coba deh. Kalau malu menangis di depan orang lain, menangis sendiri juga ga masalah. Kalaupun tidak membuat lega, setidaknya membuat lelah dan bisa tidur sedikit lebih nyenyak. Dalam kondisi stress, tidur yang nyenyak adalah kemewahan. 

2. Bertanyalah pada diri sendiri sebanyak-banyaknya
Dalam cerita-cerita itu, kadang mereka juga meminta pendapat saya. Masalahnyaaaaa, mereka minta pendapat saya apakah:
- Lebih baik bercerai atau tetap bersama
- Lebih baik tetap bekerja atau resign
- Lebih baik tinggal di rumah atau pergi 

Well, kalau berceritanya ke ibu saya, dia biasanya akan bilang gini "Hiiiihhhh, kalau istrinya kurang ajar gitu mending cerai aja kan kak!" atau dia bisa juga bilang gini "Hah? pacarnya jahat gitu? Ditinggal aja udah!" Saya ingin juga menjawab begitu. Tapiii, ini kan bukan tentang saya. Bukan saya yang menjalani.

Karena itu, saya selalu bilang "Cobalah untuk lewati beberapa hari ini dengan bertanya berulang-ulang pada dirimu sendiri, pertanyaan yang sama berulang-ulang, pertanyaan yang harus mampu kamu jawab sejujurnya" Daftar pertanyaan yg saya berikan kurang lebih begini:

Tanyakan pada dirimu apakah:
- adakah hal-hal baik yang mungkin kamu lupa karena sedang sangat marah padanya?
- kamu bisa meraih mimpi-mimpimu dengan atau tanpa dia?
- kamu akan lebih bahagia dengan atau tanpa dia?

Tak perlu beri tahu jawabannya pada orang lain, simpan untuk dirimu sendiri.
Tak perlu harus langsung tau jawabannya, beri dirimu waktu yang cukup untuk berpikir jernih. Kata orang bijak, beri kesempatan dirimu menyelaraskan hati dan pikiran. Dan semoga apapun jawabannya, harus membuatmu lebih bahagia. 

Bukan bahagia yang instant, meskipun proses menuju kesana menyakitkan, tetapi kamu tau kalau kamu membuat keputusan yang kamu mau, dan membawamu dalam perjalanan menuju hal yang lebih membahagiakan. Baik dan buruk,  tak melulu jadi perkara utama. Karena nyatanya semua orang punya ukuran-ukurannya masing-masing yang seringnya tak seragam. Ukuran bahagia saya belum tentu pas di ukuran bahagia kamu kan?

Jangankan ukuran bahagia, ukuran beha aja beda-beda.

3. Ijinkan dirimu untuk merasakan semua emosi
Seorang kawan meluapkan marah dan tangisnya hari itu. Dia merasa dirinya tidak baik-baik saja. Tapi hanya sekejap, tak sampai beberapa detik dia langsung bilang "ok, stop it. I have to be calm, banyak orang yang tidak seberuntung aku. Aku harus bahagia."

Saya agak kaget, hah jadi udah segitu aja sedih dan marahnya?! Saya tanya apakah dia baik-baik saja. Dan jawabannya membuat saya sedih "Ya, saya kan harus selalu bersyukur dengan semua hal baik disekitar saya. Saya ga boleh marah dan sedih begini. Ga bersyukur banget kayaknya"

Hmmm, sepertinya ini yang dinamakan toxic positivity. Seberapa sering kalian melihat tulisan "positive vibes only" tadinya saya pikir juga begitu, bahwa kita harus selalu mensyukuri apa yang kita punya. Selalu bahagia. Tapiii, kan kita manusia.Tidak diciptakan untuk selalu positive vibes. Kadang sedih, marah, kecewa, ceria, bersemangat, ga mood. Boleh kan?

Ga mungkin manusia itu akan selalu bahagia. Atau selalu sehat. Pasti akan pernah sedih. Pasti akan pernah sakit. Entah sedih karena Tokyo (Money Heist) mati di tengah2 serbuan tentara. Atau flu masuk angin gegara begadang lembur jualan nasi jinggo smpe subuh.

Menurut psikolog saya setahun lalu ketika saya mencoba tegar sekuat batu karang "Saya tau kamu pasti kuat, tapiii, kamu harus memberikan kesempatan tubuh dan pikiranmu utk merasakan semua emosi yang kamu alami. Beri dirimu waktu untuk menikmati perjalanan emosi itu. Tujuan akhirnya, agar kamu lebih menghargai semua perjuangan yang kamu lalui. Agar kamu ingat, untuk menjadi sekuat ini, kamu melewati sangat banyak rintangan dan kamu berhasil" (duh, nulis ini jadi nangis)

Begitu juga menurut Gede Prama dalam tulisan-tulisannya, beliau sering berkata "Rasa sakit adalah berkah yang dibuang oleh begitu banyak orang" Dalam meditasinya dia menuntun proses meditasi dengan kata-kata "rasakan dimana rasa sakit itu berada, dimana dia berasa, peluk dan dekap rasa sakit itu erat-erat, agar dia merasa nyaman" Oh ya, saya sangat suka beliau.

Memang kita harus mampu mengontrol diri. Mensyukuri segala berkah, Menjadi bahagia
tetapi untuk sampai di titik itu, ijinkanlah sejenak dirimu untuk merasa. Untuk menjadi manusia, menjadi lega.

4. Berikan dirimu waktu untuk menjadi versi dirimu yang paling bahagia
Dalam perjalanannya, kita memang memainkan banyak peranan. Tak cukup hanya kita yang sedang mandi dan sesaat menikmati tenangnya dunia ini, eh tapi katanya ibu-ibu yang punya balita bahkan mandipun tidak tenang.

Disaat banyak quotes bilang "Be Your Self" apa arti sebenarnya? Siapakah diri kita yang sebenarnya? 

Well, hidup memang seriuh itu. Dari masih dalam kandungan kita sudah diberi label: calon bayinya Ibu Sri Rahayu dan Bapak Wirnada yang beragama Hindu. Lalu saat sekolah kita adalah murid yang membawa nama baik sekolah. Lalu menjadi sahabat seseorang, menjadi pacar seseorang. Sampai akhirnya menikah menjadi istri/suami, menjadi menantu, lalu menjadi ibu dan/atau bapak. 

Saya yang tidak pernah mengambil peranan sebanyak itu terkadang juga merasa cukup gamang. Keputusan-keputusan yang saya ambil apakah mempengaruhi kedua orang tua saya? Apakah mempengaruhi hubungan saya dan pacar? Apakah mempengaruhi karir saya? Jadi saya cukup mengerti, ketika kita kadang bingung juga "Who am I actually?"

Kita adalah semua peranan yang mau tidak mau harus kita jalani. Dan dari semua peranan itu, banyak hal-hal membahagiakan yang seringnya kita lupa. Lupa betapa menyenangkannya berpegangan tangan di pantai sambil minum kopi dengan pasangan. Lupa kalau setelah gajian rasanya bahagia karena bisa membeli skin care kesukaan. Lupa betapa tentram dan damainya membaca buku sendirian di dalam kamar sebelum akhirnya ketiduran.

Jadi ketika saya mendengarkan cerita mereka tentang betapa hidup bisa menjadi sangat melelahkan, saran saya biasanya: berikan dirimu waktu untuk menjadi versimu yang paling bahagia. Kalaupun tak bisa lama, sekejap juga tak apa.

Nikmati sedikit saja waktu untuk memastikan kamu bahagia. Kalau bahagiamu adalah sejenak berdua dengan pasangan, lakukan, titip anak-anak beberapa jam di keluarga terdekat. Kalau bahagiamu adalah hanya sepuas hati berpelukan dengan anak-anakmu, lakukan. Kalau bahagiamu adalah duduk sendiri di pantai sanur sambil menulis, lakukan. Karena bahagiamu yang sekejap itu mudah-mudahan membantumu mengambil keputusan yang akan membuatmu jauh lebih bahagia. Insya Allah.

5. Jangan merasa bersalah karena perlu bantuan
Setelah menangis, kawan saya meminta maaf berulang-ulang pada saya. Meminta maaf karena dia menangis, meminta maaf karena dia sudah mengganggu waktu saya dengan ceritanya.

Jangan! Jangan pernah meminta maaf karena kamu bersedih. Kamu sepenuhnya berhak. Dan jangan sekalipun pernah meminta maaf karena merasa perlu teman bercerita. Karena saat kalian berani bercerita, artinya kalian tau ada hal-hal yang salah dan harus diperbaiki. Ini menurut saya adalah salah satu hal paling berani yang seseorang bisa lakukan: mengakui ada yang salah dan berusaha memperbaikinya.

Saya bukan professional yang bisa memberikan saran dan jalan keluar. Hal terbaik yang bisa saya lakukan hanya mendengarkan. Tapi, kalau memang kalian merasa bahwa mengambil keputusan sendiri tak lagi mungkin dilakukan, tak masalah kalau mencari bantuan dari ahlinya.

Mungkin bantuan dari psikolog atau psikiater untuk menenangkan hati dan pikiran. Bisa juga bantuan professional secara legal ketika berhadapan dengan hal-hal yang berkaitan dengan hukum. Kalau saya, sedikit-sedikit tentang ketenagakerjaan masih paham. Di luar itu, kita bisa mencari jalan keluarnya bersama.

Source: https://unsplash.com/photos/nJupV3AOP-U?utm_source=unsplash&utm_medium=referral&utm_content=creditShareLink



Jangan merasa kecil hati ketika kamu bersedih. Jangan merasa wajib bahagia. Kasihi dirimu. Beri dirimu waktu untuk menyembuhkan luka.

Curhat kadang membuatmu lebih lega.

Sunday, August 1, 2021

SDL Series #5 - Bekerja dengan Orang-Orang Dari 15++ Negara. Gegar Budaya. Gegar Bahasa.

Beres urusan kartu kependudukan, rekening bank, dan sarapan chicken shwarma ditambah mango goose (masih ingat cerita absurd ini ditulisan sebelumnya? Ini link-nya: Mango Goose), saya 100% legal sebagai TKW di Oman.

Setelah musim liburan dan hotel mulai sepi, saya mulai fokus pada pekerjaan di HRD. Akhir tahun 2017, saya mulai memperhatikan detail data karyawan. Nama-nama mereka, posisi di masing-masing department, gaji dan benefit, masa kerja, rata-rata umur, dan tentu saja kewarganegaraannya.

Saat itu ada kurang lebih 16 kewarganegaraan berbeda yang bekerja di hotel atas gunung ini. Kalau di list negara-negara asal para karyawan adalah: Oman, Indonesia, Malaysia, Philipina, India, Srilanka, Bangladesh, Nepal, Maladewa, Selandia Baru, Inggris, Uzbekistan, Maroko, Tunisia, Kenya, Mesir. Setelahnya bertambah lagi warga negara lain seperti Kamerun, Australia, Iran dan Pakistan. Kami seperti sebuah miniatur perkampungan PBB di atas gunung di negeri antah berantah.

Ada 6 kewarganegaraan dalam foto ini: India, Srilanka, Oman, Inggris, Nepal, Indonesia

Bahasa pemersatu kami tentu saja bahasa Inggris.
Setelahnya bahasa Hindi adalah bahasa terbanyak yang dipakai, baru kemudian bahasa Arab. Selain oleh orang India, bahasa Hindi juga menjadi pemersatu negara-negara asia selatan lainnya terutama Bangladesh dan Nepal. Beberapa orang Srilanka juga bisa bahasa Hindi. Tetapi anehnya, ada orang India yang tidak bisa bahasa Hindi! Mereka adalah kawan-kawan saya yang asalnya dari India Selatan, Kerala. Bahasa yang mereka pergunakan adalah Bahasa Malalayam atau kadang bahasa Telugu. Pikir saya "Oh, bahasa daerah kalau di Indonesia" 

Sedangkan kalau Bahasa Arab, selain orang Oman, dipergunakan juga oleh mereka yang dari Maroko dan Tunisia. Tapiiii, ternyata bahasa Arab mereka beda-beda. Orang Oman sering bilang kalau bahasa Arabnya orang Maroko itu berbeda dialeknya. Sehingga kadang mereka juga saling tidak mengerti. "Wah-wah, ini semacam bahasa Melayu, serumpun tapi tak sama" kata saya. 

Ketika kami sedang berkumpul dengan rekan-rekan senegara, tentu saja bahasa masing-masing menjadi primadona. Apalagi ketika saya dan mbak-mbak SPA yang 99% dari bali, full mebasa Bali. Lumayan sebagai penghilang kangen rumah.

Berbagai macam bangsa, berbagai macam bahasa, berbagai macam kebiasaan dan budaya juga. Nah kali ini saya ingin bercerita tentang hal-hal menarik perhatian saya ketika berkawan dengan mereka semua. Ini hanya berdasarkan observasi saya saja, tidak ada muatan SARA. 

Oman
Sebagai negara tuan rumah, hampir 30% karyawan saya orang Oman, atau disebut Omani. Persentase ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara teluk Arab, Golf Corporation Council (GCC). Pemerintah Oman menurut saya adalah salah satu pemerintahan monarki Arab yang sangat baik pada rakyatnya. Tak hanya sekedar mengumbar kekayaan alam, His Majesty (Alm) Sultan Qaboos bin Said juga mengajarkan rakyatnya untuk tetap bekerja, tak hanya mengandalkan minyak. 

Di perusahaan kami juga termasuk, untuk bisa mempekerjakan orang asing, ada kuota pekerja Omani yang harus dipenuhi dulu baru bisa mengajukan visa kerja untuk warga negara lainnya. 

Berkawan dengan orang-orang Omani, mengubah pandangan saya tentang orang Arab dan bahkan saudara muslim. Mereka orang-orang paling genuine yang saya temui. Lahir sebagai orang Bali yang diakui keramah tamahannya, rasanya masih kalah dengan keramahan dan kehangatan saudara-saudara saya di Oman. Ya, mereka menyebut kami para pekerja asing sebagai sister dan brother. Masih ingat kata-kata Ahmed, chief security yang juga pensiunan army, His Majesty Sultan Qaboos mengajarkan rakyatnya untuk selalu memperlakukan orang asing sebagai saudara sendiri. Ahmed bercerita bahwa petuah sang Sultan sangat jelas, mereka (orang asing) bukan tamu kita, melainkan mereka adalah saudara-saudara kita. Ah, meleleh hati ini.

Cerita ini tak akan saya percaya kalau hanya di mulut saja. Saya membuktikan sendiri. Bagaimana saya dijamu sampai kekenyangan dan disayang bak adik perempuan bungsu. Tak hanya di satu keluarga, setiap ke rumah teman Omani, siapapun, dimanapun, sama!

Sebagai perempuan, banyak kawan bilang hati-hati di negara Arab, nanti saya "diapa-apain". Tapi, tidak sekalipun saya merasa tidak aman selama di Oman. Tidak akan ada orang yang "suit-suiti" atau memandang dari atas kebawah kalau saya jalan sendiri atau jalan bersama teman perempuan lain. 

Teman-teman di hotel lebih manis lagi. Suatu kali, jerawat saya sangat parah. Tiba-tiba Al Rashdi, salah satu driver, datang ke kantor membawakan saya cream anti alergi Sudocream. Kata dia "Madam, ini bagus untuk kulit sensitif, saya tanya sama petugas apotek, dia yang kasi saran" Saya bisa apa selain meleleh. Ya khaaan.


Dari paling belakang: Hamed, Joy, Masood, Saya, Khalifa. Ketiganya adalah driver kesayangan kami

Begitu pula hal-hal kecil tapi manis lainnya yang terlalu banyak untuk saya tulis. Mulai dari roti buatan istrinya yang dibawakan ke kantor dan harus saya coba. Mengantar dan menunggui saya di rumah sakit ketika saya terguling-guling dari tangga sampai kaki saya harus di gips, dan bahkan membelikan bahan-bahan masakan dari toko yang hanya ada di Muscat! Mereka Juara. Saya tidak melebih-lebihkan bahwa Omani kalau sudah mempercayai kita, akan melakukan nyaris segalanya dan akan siap sedia 24 jam untuk membantu kita!

Banyak orang Oman tidak berbahasa Inggris, tetapi lebih banyak yang mengerti. Mungkin karena setengah lebih penduduknya adalah expatriat, mau tidak mau mereka menjadi bisa paham, meskipun tak lancar dalam penggunaannya. 

Beberapa tambahan bahasa Arab yang saya pelajari selama tinggal di Oman selain Assalamualaikum, Alhamdulilah, Insyallah, dan fulus antara lain:
Ini bukan arti harfiah ya, tetapi arti yang dijelaskan kawan Omani saya dalam bahasa pergaulan sehari-hari. Penulisannya juga mungkin salah, karena seharusnya dituliskan dalam tulisan Arab.
Khalas = selesai, beres perkara, bubar, end of discussion
Khali Wali = (ini sebenarnya bahasa yg tidak formal dan cenderung kasar) bodo amat
Mafi Muskil = tidak masalah
Mafi Fulus = tidak ada uang
Shukran = terimakasih; pasangannya Afwan = Sama-sama
Habibi = sayangku (laki-laki); pasangannya Habibti = sayangku (perempuan)
Na'am = ya, oke, copy that
Walahi = beneran deh. Yakin deh sama saya
Ahbik = aku cinta kamu

Kurang banyak sih yang lain, sampai sekarang menghitung satu sampai lima dalam bahasa Arab saja masil selalu lupa. Parah.

India
Sebagai negara berpenduduk terbesar kedua di dunia (data terakhir yang saya dapat di worldmeters per 1 Agustus 2021, jumlah penduduk india nyaris 1,4 miliar jiwa). Oman dipenuhi oleh orang India. Warga negara India adalah warga negara terbanyak setelah Omani. Jika dibuat perbandingan Omani : India = 3:1. Kurang lebih setiap anda bertemu 3 Omani, maka dipastikan anda akan bertemu 1 orang India.

Budaya India sangat lekat dengan kehidupan kami di Oman. Nyaris semua stasiun hiburan di TV menayangkan acara hiburan India. Film Bollywood (Hiburan berbasis bahasa Hindi), Tollywood (Hiburan berbasis bahasa Telugu), dan Kollywood (hiburan berbasis bahasa Tamil). MTV yang di siarkan adalah MTV India. Makanan yang kami makan sehari-hari sebagian besar (nyaris 90%) berasal usul dari India. Jaringan toko emas terbesar dimiliki yang dibintang-iklani-i oleh Kareena Kapoor dimiliki oleh orang kaya India. Jaringan rumah sakit dan jaringan pasar swalayan terbesar juga milik pengusaha India. 

Tak heran, bulan-bulan pertama di Oman saya masih suka bingung, ini benar saya bekerja di negara Arab atau jangan-jangan sebenarnya saya nyasar ke salah satu distrik di India. :)

Bagaimana dengan orang-orangnya?
As you seen on TV banget. Memang tidak semua seganteng Hritik Roshan atau secantik Aishwarya Rai. Sama macam di Indonesia tidak semua orang setampan Reza Rahardian atau secantik Raisa. Tetapiii, semua orang India yang saya kenal, gemar berpesta! Menari dan bernyanyi. Selalu. Setiap ada kesempatan. Saya terbengong-bengong ketika pertama kali mengadakan staff party, mereka tak henti menari macam di film-film Bollywood itu. Dengan gerakan tari gemulai. Tak peduli bentuk tubuh dan ukuran perut, mereka menari penuh suka cita. Segalau apapun rasanya kalau melihat kawan-kawan India menari pasti akan ikut bahagia!

Jangan lupakan bahasa tubuh. Goyangan leher utamanya. Sebenarnya tidak hanya untuk orang India. Hampir semua orang asia selatan memiliki bahasa tubuh yang sama. Goyangan leher ini mewakili banyak hal. Mulai dari persetujuan terhadap lawan bicara, ketidaksetujuan, paham mengerti, bingung dan tak paham, atau sekedar mendengarkan lawan bicara dengan seksama. Semua diwakili dengan gelengan kepala! Saya kadang tanpa sadar ikut geleng-geleng saat mereka melakukannya, kalau saya sadar, pasti saya buru-buru berhenti dan minta maaf. Bukan maksud menghina, tiba-tiba saya kepala saya goyang-goyang macam boneka tempel di dashboard mobil! 

Dalam hal berbahasa Inggris, saya tadinya kira kalau Hindi adalah bahasa resmi mereka, ternyata tidak. Seperti yang saya ceritakan di paragraf awal, kalau ada orang dari Kerala ngobrol dengan orang dari New Delhi, kemungkinan besar mereka akan bicara dalam bahasa Inggris. Baru kali ini saya benar-benar paham dan bangga dengan sumpah pemuda, yang mengikrarkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bangsa! 

Oh, beberapa kejadian absurd yang saya alami ketika ngobrol dengan teman India karena perbedaan logat dalam bicara bahasa Inggris. Ketika saya bertanya tentang proses memasak nasi biryani. Kawan saya menjelaskan bumbu-bumbunya termasuk kata dia "claw will make the taste really good!" Saya kaget dan nganga claw kan artinya cakar/kuku, macam cakar beruang atau macan. Ini bikin nasi biryani atau ramuan untuk film Harry Potter?! Saya tanyakan sekali lagi apakah beneran pakai claw? bukannya itu menjijikkan. Kawan saya bilang "loh, kok menjijikkan, claw bikin badan jadi hangat. Makanya jadi campuran untuk banyak ramuan dan rokok!" Ahaaaaaa, barulah otak saya nyambung, yang dimaksud claw itu sebenarnya clove! Cengkeh!!!

Satu lagi, setelah kawan India tahu kalau saya punya pacar, dia bertanya pada saya "Winda, do you law him?" Alamaaak, apalagi ini, saya pacaran, bukan mau kepengadilan sampe bawa-bawa hukum (law) segala. Tapi berbekal pengalaman claw, saya tidak terkecoh, saya mikir dulu sebelum bereaksi. Ah, maksudnya "Winda do you love him?" Love = cinta, bukan Law = hukum. Arrrgghhhh!!!

Kiri: Jose (Kerala); Kanan: Saj (New Delhi); keduanya punya bahasa ibu yang berbeda


Nepal
Tahukah kalian kalau Nepal adalah salah satu negara yang tidak punya laut?
Saya tidak tahu apakah ini berhubungan atau tidak, tetapi kawan-kawan Nepali itu rata-rata tidak doyan ikan. Beneran deh. Segala sari laut mereka tidak bisa makan. Ikan, Udang, Kepiting, Cumi, Gurita, Kerang, buat mereka biota laut ini adalah makanan aneh dan dihindari sebisa mungkin.

Saya yang lahir besar di Bali, dengan hasil laut melimpah, ikan bakar dijual mulai dari restoran bintang lima sampai bakaran di pinggir jalan sangat tidak terima awalnya. Kok ya ada manusia tidak suka seafood. Padahal tidak alergi, ga masuk akal!

Jadi, lauk sehari-hari mereka hanyalah Mutton (daging domba), daging ayam dan  kadang-kadang bakri (daging kambing). Mereka tidak makan daging sapi karena semua Nepali yang saya kenal beragama Hindu. Dan Hindu adalah agama terbesar di Nepal (81% dari total populasi). Saya sampai kepikiran, sedih sekali mereka, sedikit sekali pilihan lauk pauknya. Sementara kita punya sumber protein hewani yang sangat beragam. Makin bahagia jadi orang Indonesia.

Meski sangat dekat dengan saudara-saudara Nepali, saya tidak pernah sanggup ikut jamuan makan mereka. Terlalu pedas. Supeeeer pedaaasss!!!! Menurut saya, para Nepali adalah golongan penantang kepedasan tingkat dunia. Segala cabai segar, cabai kering, bubuk cabai, masuk semua dalam sepanci kecil curry yang mereka buat. Saya lelah. Kalau diundang makan malam oleh geng Nepali, saya bawa bekal sendiri. Awal-awal, mereka tersinggung, karena menurut mereka saya mengada-ada. Seharunya (berdasarkan pergaulan mereka sebelum-sebelumnya) orang Bali itu pecinta pedas seperti mereka. Setelah saya bercucuran air mata (dan air ludah) karena kepedasan, barulah mereka percaya dan melabeli saya "Fake Balinese" alias orang Bali abal-abal. Hahaha...

Geng Nepali juga adalah geng yang paling sering nongkrong dengan saya. Mereka sangat terbuka dan ramah. Mereka juga sangat bangga bercerita tentang keluarganya dan tanah kelahirannya. Makanya 2019 saya memutuskan ke Nepal bukan semata demi mengikuti jejak Dr Strange mencari Kamar Taj, tetapi karena penasaran dengan cerita-cerita geng Nepali. 

Sebagian dari Geng Nepali (dari kiri): Tomnath, Dhruba, Robin, Nilraj


Tentu saja, perjalanannya penuh keabsurdan, tetapi kembali ke geng Nepali, mereka bahkan meminta beberapa anggota keluarganya untuk menjamu saya makan malam selama di Pokhara! Saya rindu sekali mereka. Padam, Nilraj, Robin, Dhruba, dan anak-anak lainnya.

Bangladesh
Hampir semua negara GCC tidak lagi menerima warga negara Bangladesh untuk bekerja di negara mereka. Entah apa alasannya saya kurang paham. Ada yang bilang karena reputasi pekerja  Bangladeshi yang kurang baik, ada juga yang bilang alasannya politis. 

Oman, masih menerima pekerja Bangladesh. Sayangnya, 99% dari mereka bekerja kasar dan di strata terbawah. Termasuk pekerja outsourcing yang dibayar sangat rendah. Dalam irisan pengalaman saya bekerja bersama, hanya pernah satu kali saja Bangladeshi yang menempati jabatan Assistant Department Head. Sisanya mereka pekerja kasar.

Mungkin ini erat kaitannya dengan tingkat kemiskinan yang tinggi dan tingkat pendidikan yang sangat rendah. Entahlah, saya harus research kembali. Tetapi sebagian besar karyawan Outsource Bangladeshi yang bekerja dengan saya tidak bisa Bahasa Inggris samasekali, agak lancar Hindi, sedikit Arabic. Bayangkan saja, bagaimana pusingnya saya harus bicara pada mereka. Yang cukup pintar berkomunikasi dengan mereka adalah kawan saya, Joy. Permasalahan muncul ketika Joy libur, mau tak mau saya harus komunikasi langsung pada mereka.

Percobaan Pertama
Seminggu tiba di Oman, saya minta tolong salah seorang tim housekeeping Bangladeshi, namanya Safayeet, untuk memindahkan lemari dari kamar tamu ke kamar utama di apartment. Saya menjelaskan dengan gambar layout kamar dan sketsa gambar lemari dan layout kamar. Dia mangut-mangut, semacam paham penjelasan saya. Karena tak yakin, saya panggil Padam, ketua geng Nepali untuk menjelaskan lagi dalam Hindi. Menurut Padam, Safayeet sudah beneran paham. Mafi Muskil lah.

Teknisnya, Safayeet akan melakukan pindahan lemari jam 6 sore, saya pulang ikut bis jam 9 malam, tinggal beberes baju. Eng Ing Eng, begitu sampai apartment, kaki saya lemas macam agar-agar karena kaget. Bukannya lemari yang pindah, tetapi kamar utama yang saya tempati kosong melompong! Dia pindahkan lemari, meja rias, dan kasur dari kamar utama ke kamar tamu! Bukannya menangis, saya tertawa terpingkal-pingkal.

Percobaan Kedua
Karena Joy libur dan saya sedang rapi-rapi kantor, saya perlu beberapa kardus. Saya pikir saya sudah lebih bisa ngobrol dengan Safayeet kan kami sudah bekerja lebih dari enam bulan. Jadi saya minta bantuan dia untuk mengambilkan beberapa dus kosong dari gudang. Saya beri tahu dia "take some empty mineral water boxes" saya juga tunjukkan ukuran kardus yang diperlukan. Beberapa menit kemudian, dia datang, menggotong sebuah kardus. Dengan keheranan saya lihat kardusnya, Astagfirullah yang dia bawa adalah satu kardus air mineral baru terisi penuh. Lagi-lagi saya terpingkal-pingkal dan Safayeet hanya garuk-garuk kepala. Mungkin dia kira saya gila, dibawakan air satu kardus bukannya terimakasih malah ngakak!

Terlepas dari miskomuniskasi yang menurut saya lawak, anak-anak Bangladeshi ini adalah orang-orang yang sangat manis. Saya sangat tahu kalau mereka sayang pada saya. Setiap kali saya bertemu mereka pasti menyapa dengan sangat kencang! Setiap pulang libur panjang saya pasti dapat pelukan erat mereka. Yang paling manis adalah, sampai sekarang, mereka tetap tidak pernah absen menanyakan kabar saya pada Issam. Setiap kali Issam datang ke hotel mereka pasti minta ditelponkan agar bisa menyapa saya. Ah, jadi baper.

Bangladeshi yang mengurusi kantin, kecuali yg di belakang saya tanpa hairnet, Beliau adalah chef kantin, Ajaya (Kerala - India)


Philipina
Suatu ketika di Airport, kali kedua saya mendarat di Oman, setelah visa kerja diterbitkan, melewati pertokoan duty free, seorang wanita memanggil-manggil "Kabayan, kabayan!". Saya tidak hiraukan, pasti bukan saya. Tapi cukup heran juga, jangan-jangan yang jaga orang Sunda, dan ada temannya bernama kabayan. Karena penasaran, saya masuk ke toko itu. Tapi pura-pura melihat-lihat makanan yang dijual.

Wanita itu (yang saya yakin adalah penjaga toko) menghampiri saya dan mencolek lengan saya sambil menyapa "Kabayan!" hah? Saya panik! Saya bukan kabayan, kalaupun salah mengenali sejak kapan ada perempuan bernama Kabayan? Setahu saya, Kabayan adalah nama tokoh laki-laki sunda yang diperankan Didi Petet di TV. Saya sontak menjawab dalam bahasa Indonesia "Maaf, saya bukan Kabayan." Langsung mbak penjaga toko yang belakangan saya tahu bernama Ana berkata "Oh sorry, i thought you are my Kabayan, my fellow Pinoy!" (Oh Maaf, saya kira kamu saudara sesama Filipina). Kamipun terpingkal-pingkal bersama begitu saya jelaskan tentang Kabayan dalam bahasa Indonesia. Sedangkan dalam bahasa mereka Kabayan berarti saudara senegara.

Ketika sudah bekerja, saya semacam diadopsi oleh geng Pinoy ini. Alasan awalnya adalah mereka makan babi! Sering masak babi! dan doyan Bali! Kesukaan saya adobo! Assisten sekaligus sahabat terbaik saya juga seorang Filipina, Joy.

Kesayangan Juara 1: Joy!

Di Oman, orang sering sekali mengira saya juga Pinoy. Jamak ceritanya saya di Mall langsung diajak ngobrol dalam bahasa Tagalog oleh petugas apotek atau penjaga toko. Menurut mereka wajah saya sangat Pinoy. Memang agak mirip sih, ketika Joy berkunjung ke Bali saja saya baru sadar dia sangat mirip Ibu! Orang-orang Filipina bekerja nyaris di semua bidang. Termasuk perhotelan, perawat, penjaga toko, customer service, petugas bandara, pramugari dan pramugara juga! Salut! Bahasa Inggris mereka juga sangat baik. Lebih baik daripada rata-rata orang Indonesia.

Tapiii, bukan berarti saya tidak pernah berkendala dalam berkomunikasi dengan mereka. Orang Filipina sangat sering (bahkan selalu) tertukar ketika melafalkan F, V, P, dan B! Okelah kalau F dan V, kita juga suka bingung karena mirip sekali, tetapi yang lain-lain itu loooohhhh....

Contoh yang membingungkan saya:
Pibe = five, saya kira maksudnya adalah Vibe 
Mobing = moving, saya kira Mobing = gerakan beramai-ramai gitu
Brabe = brave, saya dengarnya Bribe = penyuapan
Lib = Live, saya bingung mencari artinya karena tak menyangka
Porebar = forever, saya kira nama sebuah Bar

Dalam pengucapan, mereka menucapkan O dengan sangat jelas. Mungkin seperti kita mengucapkan R dengan penuh getaran. Contoh
Impossible = dibaca Imposibol
Ball = dibaca Bol
People = dibaca Pepol

Dari kurang lebih 15++ kewarganegaraan di hotel, itu baru dari 5 negara yang saya ceritakan.
Belum lagi orang-orang Maroko dan Tunisia yang fasih berbicara dalam 3 bahasa internasional sekaligus yaitu Inggris, Perancis dan Arab. Membuat mereka menjadi "primadona" saya untuk di bagian-bagian yang banyak ngobrol dengan tamu. Oh, mereka yang saya kenal, baik laki-laki dan perempuan adalah penari perut yang hebat! Dan mereka tidak pernah sungkan untuk menari di setiap pesta! Semarak!

Ada juga para wanita dari Kenya dan Kamerun, yang dalam setiap kesempatan selalu menggunakan wig berbagai bentuk dan warna. Dan mereka sangat bangga. Belum lagi menggunakan daster dengan warna-warna cerah ketika sedang tidak bekerja. Meriah sekali!

Belum lagi ketika harus mengingat-ingat nama kawan-kawan yang berasal dari Srilanka.
Dalam perjalanan hidup saya yang singkat ini, orang-orang Srilanka adalah para pemilik nama terpanjang dan tersulit untuk saya ucapkan. Lidah keriting ketika melafalkan, otak kribo ketika mengingat.

Terbayang betapa gegar budayanya saya ketika harus memahami kebiasaan kebiasaan mereka semua. Apalagi bekerja di bagian HRD, selain paham, saya juga harus bisa berempaty pada mereka semua. Rasanya susah sekali di awal, bagaimana mau paham kalau bicara saja belum nyambung. Tetapi, pada akhirnya mereka yang membuatnya menjadi mudah. Mereka menerima saya seperti menerima keluarga sendiri. Ketika hati sudah terbuka, maka yang lain menjadi lebih mudah.

Sudah dulu ya, besok saya lanjut lagi hal-hal ajaib lainnya!


Thursday, July 22, 2021

Aku Pengen Deh Suka Baca, Tapi... (Tips Memilih Buku Bacaan)

Tapi tiap baru baca beberapa halaman sudah ketiduran.
Tapi ga bisa fokus saat membaca, lebih asik nonton.
Tapi bukunya ga menarik, jadi cepat bosan.

Sama seperti hobi yang lain, tidak semua orang harus suka membaca. 
Kawan-kawan saya hobi main futsal misalnya, bukan berarti saya harus suka futsal juga
Atau banyak teman saya yang lain sangat hobi makan makanan pedas, sementara saya lebih baik menyerah saja.

Membaca sebenarnya jauh lebih mudah daripada main futsal atau makan makanan pedas. Lebih minim resiko. Resiko paling bahaya mungkin bablas begadang atau malah bablas ketiduran. Eh tapi kalau membaca buku aliran sesat dan kita ikut tersesat berbahaya juga sih.

Saya yakin sebenarnya semua orang pasti suka membaca.
Masalahnya adalah mereka belum ketemu buku yang pas. Hobi membaca itu persis seperti hobi makan, semua pasti suka tetapi belum tentu semua makanan bisa disukai orang yang sama. Jangankan kita, Nex Carlos si food bloger kenamaan yang memakan nyaris segala jenis makanan kalau dikasi sayur akan nyerah dan tidak suka.

Pun membaca. Ada orang yang sukanya membaca novel sci-fi , tapi malah diminta membaca buku-buku pengembangan diri, pasti tidak akan betah dan langsung ketiduran.

Pertanyaan yang paling sering ditanyakan ke saya adalah "Win, buku apa ya yang bagus buatku" 
Ini pertanyaan super susah! Sama seperti kalau tetiba saya bertanya ke kalian "Film apa ya yang bagus?" Lalu kalian memberi saya referensi film-film horor, pasti tidak akan mungkin saya tonton.

Tapi, ada beberapa tips yang mungkin bisa saya bagikan agar bisa memilih buku yang menyenangkan untuk dibaca. Here you go...

1. Baca Ringkasan Pada Sampul Belakang
Ini adalah cara paling sederhana.
Biasanya di sampul belakang buku isinya adalah uraian singkat isi buku. Penulis dan penerbit juga sangat paham bahwa banyak pembaca seperti saya yang memutuskan membeli buku berdasarkan ringkasan singkat tersebut sehingga mereka akan membuat ringkasan yang menarik dan mewakili isi buku secara keseluruhan.

Biasanya beberapa review dari media atau pembaca yang juga dicantumkan di sampul belakang buku ini. Jadi semakin banyak gambaran yang kita punya.

Buku-buku terbitan Gramedia (dan beberapa penerbit lain) juga mencantumkan klasifikasi buku, biasanya di atas barcode, seperti kumpulan cerita pendek, novel 13 remaja, 18+, 21+ , fiksi ilmiah, dll.

Ini contohnya


Lebih afdol lagi kalau sudah ada buku yang bungkus plastiknya sudah terbuka. Jadi bisa membaca beberapa halaman untuk tau feel dan gaya penulisannya. Sama kalau membeli baju, kita coba dulu di kamar pas selama beberapa menit sebelum memutuskan membeli kan? 

2. Baca Review
Sama seperti film, hampir semua buku pasti ada reviewnya. Kalau saya biasanya cek review-review buku di goodreads.com , Semacam IMDB tetapi untuk buku. Jadi masing-masing buku sudah ada sinopsisnya, rating dan juga top comments dari para reviewer.

Biasanya setiap tahun ada readers choice award untuk setiap kategory. Tinggal pilih dari sana buku favorite pembaca, dari pengalaman saya buku-buku itu memang beneran bagus.




My personal advise: pilih buku yang ratingnya diatas 3,5 biar lebih aman. Dan luangkan waktu membaca beberapa review disana. Mirip seperti melihat-lihat pilihan hotel di situsnya Trip Advisor.

Saya juga menulis review beberapa buku yang saya baca disana. Klik disini utk melihat review saya di goodreads: Winda-goodreads-account

3. Perhatikan Penerbitnya
Terutama untuk buku-buku terjemahan. Penerbit yang baik adalah penerbit yang punya penerjemah novel yang sudah berpengalaman. Memangnya ngaruh? Bangeeeet.

Ketika terjemahannya kurang pas, rasanya ada yang menusuk lidah dan kepala. Bahasanya berputar-putar dan susah dipahami, akhirnya malah kita tidak paham blas dengan isi buku. Beberapa kali saya menemukan kasus ini. Yang pada akhirnya membuat saya lelah lalu menyerah.

Memang kecenderungannya penerbit dengan nama besar punya kualitas terjemahan dan kualitas editing yang lebih baik. Sebenarnya tidak hanya nama besar sih, banyak penerbit meskipun bukan raksasa tapi punya kualitas buku dengan tingkat idealisme tinggi. Salah satu kesukaan saya adalah kualitas buku-buku terbitan Marjin Kiri. 

Penerbit yang baik, akan memperhatikan editing. Saya (dan mungkin kalian juga) akan sangat terganggu jika terdapat banyak kesalahan penulisan, tanda baca, atau bahkan ada kesalahan tata letak halaman. Belum lagi layout. Kalau layoutnya acak kadut, mood membaca juga terganggu sih.

4. Follow Instagram Account @_putu_winda
Sekalian promo ya! Hahahaha....
Gara-gara Pandemi, setahun lebih saya tidak punya hal menarik untuk di post di instagram, sampai akhirnya biar tidak bosan, buku-buku yang menurut saya menarik (bagus ataupun kurang bagus), saya post di IG. 

Sebenarnya Reviewnya sih bukan tipe review yang mengulas isi buku, saya lebih senang menuliskan apa yang saya rasakan setelah membaca buku-buku itu. Saya termasuk penganut paham Maya Angelou yang bilang: I've learned that people will forget what you said, people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel.

Pokoknya gitu lah
Cus follow! la la la la ~~






5. Don't Be Afraid! Take the Risk!
Hidup itu kurang afdol kalau kita ga berani ambil resiko! Beli makan di tukang lalapan yang baru buka juga resiko, tapi kalau enak kan bisa jadi langganan.

Main paragliding juga penuh resiko, tapi bikin ketagihan!

Apalagi cuma beli dan baca buku, resikonya keciiilll, tapi kemungkinan besar bikin happy!

So, selamat memilih buku bacaan!

Eh satu lagi maha penting, DILARANG MEMBELI BUKU BAJAKAN! 
Haram dan dosa!




Thursday, July 15, 2021

Beauty Standard - Cantik (Alhamdulilah), Pinter (Masyallah), Nyinyir (Yuk Ah!)

Beberapa hari belakangan ini saya lihat seliweran di feed Instagram tentang influencer yang merasa risih dan kecewa ketika sebuah brand daleman kelas dunia mengganti para "malaikat"-nya dengan wanita-wanita yang lebih beragam dan mewakili kenyataan. Wanita dengan kulit berwarna, wanita berbagai ukuran, wanita berbagai bentuk.

Bukannya embracing the change, Mbak Influencer bilang sekarang para model-nya buriq, ga healthy, lalu malah nyerempet-nyerempet kalau sebenarnya orang-orang hanya iri pada tubuh mereka-mereka yang "bagus" dan orang-orang hanya bisa nyinyir dan tidak ada usaha untuk meraih "body goals"-nya model cawet dan beha ini. Akhirnya si mbak influencer dihujat oleh netijen. Tetapi, tambah panas karena bukannya minta maaf, mbak influencer tetap ngotot bahwa dia punya standard sendiri, ngapaen lu orang repot. Belum lagi ada teman si embak yang ikut belain, plus ibunya! Ibunya segala berkata kalau orang-orang yang menghujat anaknya itu belum tentu lebih cantik.

Saya salut sama ibunya. Namanya juga seorang ibu, pasti akan membela anaknya apapun yang terjadi. Ibu si influencer maksudnya. Kalau itu ibu saya, trus saya ngomong aneh-aneh macam itu, astajim, ga selamat. Saya yang ga selamat! Bukan yang nyiyirin saya. Hahahaha....

Karena kepo, saya lihat-lihat laman Instagram mbak influencer ini. Disitu ditulis dia Menteri Kecantikan. Kurang tau juga di negara mana, mungkin di Ministry of Magic. Kan soalnya dia sukanya pergaulan angel-angel (bacanya pake bahasa Inggris, kalau bahasa jawa nanti beda jauh artinya) gitu. 

Berdasarkan checklist standar kecantikan yang sudah out of date alias dari masa lampau, mbak ini memang tergolong cantik. Atau setidaknya semua kriteria bisa dicentang. Contoh: kulit mulus, kaki jenjang, bibir munju, hidung macung, ketiak halus, perut rata, apa lagi yaaaa.... mmmm.... oh iya! Mbak-nya nampak bergelimangan harta! Penting itu dicatat.

Agak kurang paham, mbak ini bergaul dimana. Referensi hidupnya bagaimana. Apakah mungkin dia hidup di sebuah fasilitas ilmiah terisolasi (macam film The Island) yang semua penduduknya sama dan seragam. Yang diciptakan dari cetakan kue sehingga bentukannya sama. Kayaknya begituuuu, makanya dia merasa bahwa ada beauty standard. Macam SNI gitu lho. Mulai dari helm sampai botol air, ikut standar SNI biar aman. Dia pikir, tubuh manusia juga begitu, standar SNI. Sama macam dia.

Sebenarnya ada memang standar manusia hidup sih. Bernapas. Jantung masih bisa memompa darah. kurang lebih begitu. Badan ini kan produk ilahi. Bukan produk cetakan pabrik rice cooker di Sidoarjo sana. Kalau kata ibu saya, punya anak tiga, pabriknya sama, rute keluarnya juga sama, bentukannya beda-beda. Apakabar 7 milliar manusia di muka bumi. Kalau semua ikut standard si Mbak, bukannya malah ngeri ya? Helm SNI yang ada standar-nya aja masih macam-macam bentuk dan stickernya kok.

Ataaaauuuu, ini baru kepikiran. 
Waktu jaman sekolah dulu Mbak Influencer memang selalu mencari nilai standard. Ga mau di atas rata-rata dan menjadi paling pintar di sekolahan. Atau ga pernah mecoba kebandelan seru masa remaja yang membuat nilai kadang di bawah rata-rata sehingga dimarahi guru BK (saya pernah, adu jotos sama teman gegara rambut teman saya isi lem alteco). 

Mungkin dia penganut, "ya wis, ikut standar aja. Kalau standar KKM (Kriteria Kelulusan Minimal) pelajaran matematika adalah 7,0 kenapa harus berusaha dapat nilai lebih". Rata-rata air. Tidak menonjol. Ah membosankan. Tapi saya sepertinya salah. Hidup mbak influencer tampak baik-baik saja. menyenangkan dengan foto-foto diri memenuhi laman sosial medianya. Apalah saya ini yang feed IG isinya buku melulu. Nerd Winda. Super nerd.

Coba si mbak influencer pernah berada di situasi seperti saya (dan banyak orang lainnya) yang punya ukuran-ukuran tubuh di atas rata-rata. Bukan hanya masalah pergendutan atau perjerawatan atau perkulitputihan. 

Contoh di kasus saya, ukuran kaki di atas rata-rata.43. Kalau belanja sepatu cocoknya di bagian sepatu laki-laki. Cari sepatu atau sandal yang cantik susah. Trus kalau sudah begitu, mbaknya menyalahkan ukuran kaki saya yang terlalu besar, harusnya kaki saya diet biar kecilan karena jelas-jelas ga masuk beauty standard? Gitu?

Bagaimana dengan ukuran bokong? 
Saya punya kawan yang supeeer rajin olah raga, makanan sehat selalu, perut rata, tapi punya bokong gede. Yang beneran gede, sampai dia agak kesusahan kalau mau beli celana! Trus masa dia harus operasi bokong biar proporsional sesuai dengan "standar kecantikan" yang tidak masuk akal itu?  

Lalu ada juga para perempuan petite macam adik saya yang kalau cari baju selalu dapatnya di section anak-anak? Apakah lantas dia yang tingginya tidak memenuhi standard kecantikan si Mbak Influencer ga berhak pakai cawet dan beha? Astajim! Nyinyir amat saya.

Sukurnya para perempuan ini sangat empowered dan proud of her body. Kalau misalnya dia adalah anak gadis yang sedang mencari jati diri dan mencari sosok yang bisa dijadikan panutan, kan sedih. Mbak Influencer nanti bukannya tanggung jawab takutnya malah bilang "ya kan itu standar saya, saya ga maksain orang lain" 

Yes, you can have your own beauty standard as you said. Keep it with you, do not promoting it on your social media account. Namanya social media, ya buat bersosialisasi. Kalau gunanya buat nyimpen memories, bisa beli safe deposit box. Atau beli album foto, taruh di meja ruang keluarga. Duh, kok tambah gemas sih setelah menulis ini.

Kan ngeri ya kalau semua orang mengumbar-umbar private life standar mereka. Laki-laki yang punya ideal penis size standard misalnya. Cukup dia yang paham lah, Bukan berarti pas ukuran dia sudah sesuai "standard" trus dia umbar-umbar fotonya di social media. Ngeri amat.

(Terlihat) Cantik itu penting, karena mau tak mau, dunia kita visual. Kesan yang kita ciptakan dari penampilan itu sangat berpengaruh.
Tetapi, jangan sampai lupa diri. Keinget biar cantik aja, tapi logikanya ketinggalan. Kasian, dikasi otak dengan volume sangat besar malah ga dimanfaatkan. 

Udah ah, kasus Covid melonjak tinggi, pastikan kalian bahagia. Atau setidaknya usahakan sedikit bahagia ya.

Nih, ada salam dari Nepali Women yang beneran cantik-cantik semua :) 

Personal collection






A Piece of Mind . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates