Wednesday, July 2, 2025

Winda: The Overthinking Mbak-Mbak Kantoran

Sudah terlalu lama tidak menulis. Terlalu overthinking. Apakah topik yang akan ditulis cukup menarik untuk dibaca orang-orang? Apakah premisnya cukup masuk akal untuk dijadikan sebuah artikel. Dan yang paling tidak bisa saya terima: apakah tulisan ini cukup keren untuk Winda, si mbak-mbak kantoran late thirties yang beberapa waktu terakhir banyak mengevaluasi posisinya di tempat kerja sebagai Director of Human Resources.

Ok, let me get this straight, I am now trying to be more honest to myself. Trying. Thats the key, and it might not be easy. For whatever reasons I dont know, i am not so comfortable to say and talk about my position out loud. I am grateful for sure. And of course proud. But, i am so afraid that it will sound sombong and people wont appreciate it.

Dont get me wrong, I love my job. I really do. Tidak seperti meme yang sering menertawakan office job seolah-olah kegiatan bekerja kantoran ini a big joke. No, for me, this is part of me. Part of my identity. Like it or not all my personal achievements are only possible because of this 9-6 job. 

Not only the house, car, travelling, my parents comfort. Beyond that, my decision making skills, my problem solving capability, my "prepare for the worst" value, and even Winda the extrovert, all because I was well trained at work. Actually there were times i "consult" my friend, siblings, even my parents in a very "HR way" and thats what they like when they talk to me. Sense and solutions. I guess.

But sometimes i am overwhelmed. A friend told me once "Winda, i want you to feel! Angry with me! Sad with me! Not giving me some logical advice." Maybe this person were right. I have to feel a bit more. But feeling is hurt. I dont like it.

Being an HR Director I feel that have some sort of responsibility to be resourceful. When people are confused with their problem, i should always be able to give them options, to decide the solutions. You know, menjadi Kak Inda dan Ibu Winda. I tried, almost all the time. Tapi kadang-kadang saya juga tidak tahu jawabannya. Kesalahan terbesarnya mungkin, instead of bilang "maaf, i cant help you or i dont know what to do" saya biasanya akan bilang "wait, give me sometimes. let me think/find another way" It's actually menyenangkan. Rewarding malah kalau masalahnya selesai.

Ketika interview dengan tempat kerja yang sekarang, salah satu pertanyaannya (calon) bos adalah "what do you enjoy the most from your job" with no hesitation i said "conflict management. solving the unpleasant situation that seems unlikely to be handled by others." It sounds cooky i know, but thats the reality. The side effects, I actually absorbing lots of the collateral damage. The low energy, the heat of emotions, the wave of sadness, and of course the joy of celebrations. Maybe that's actually because I am a pick me girl. Am I? Always want to be different. Always want to control the room. The best in the group. The attention seeker. Maybe that's who I am.

What I am so afraid now? Am I being too much? Am I getting so sombong and annoyed people around me? Am I stealing the lights from others? I cant do this. I have to slow down. I have to lay low. I guess.

And I am tired. I need time alone. Soon.

Friday, April 11, 2025

Random Thought: Sebenarnya Apa Yang Salah Dengan Negara Ini?

Saya menulis ini dalam perjalanan kereta dari stasiun Tegal ke Gambir, setelah obrolan tanpa tujuan dengan Dok seperti biasa.

Keresahan-keresahan saya kali ini sebagian besar bersumber dari kondisi politik dan bagaimana pemerintah mengelola negara ini. Telalu banyak hal yang harus dikritisi dan dipertanyakan. Terlalu banyak hal yang diliuar nalar. Sebenarnya apa yang salah dengan Negara ini.

Dok membandingkan Indonesia dengan Cina. Saya protes keras. Terlalu jomplang lah. Pembadingnya akan menjadi oke kalau dibandingkannya dengan Rwanda atau Nigeria. Minimal Cambodia mungkin. Sekarang saja Vietnam nampaknya jauh lebih maju kok. 

Kalau tidak percaya, baca berita ini: Pertumbuhan Ekonomi Vietnam Kalahkan Indoneisa

Suka tidak suka, pertumbuhan ekonomi pasti menjadi indikator keberhasilan suatu negara. Dan rumah tangga. Dan manusia pada umumnya. Meskipun katanya kebahagiaan tidak melulu tentang uang, tetapi pada porsi tertentu base line ekonomi itu harus terpenuhi dulu. Kan.

Lalu, setelah Presiden 8 berkuasa, masalah politik dan pemerintah rasanya semakin parah dan tidak pernah habis. Yang membuat gusar, urusan-urusan prinsip. Bagaimana pemerintah membelanjakan APBN. Membiayai program-program mercusuar yang sangat rentan (dan nyaris pasti) dikorupsi. Dan yang paling meresahkan saya adalah proses pengesahan UU TNI yang untuk ukuran negara se-lelet Indonesia, prosesnya sangat instant! Kebijakan-kebijakan yang terlalu mencurigakan untuk dipercaya niatannya benar-benar untuk kebaikan bangsa, bukan untuk kepentingan kaumnya.

Sebenarnya sudah beberapa kali kami membicarakan ini. Obrolan yang tidak berujung kemana-mana sebenarnya. Terlalu membuat mumet kalau tidak dibicarakan. Apa sih yang salah dengan negara ini. Kenapa mental manusianya (dan terutama pejabatnya) buruk sekali!  

Hal yang harus saya jelaskan, Dok tidak selalu setuju kok dengan pandangan politik saya. Contoh, jaman debat capres dulu, Dok cukup percaya kalau Wapres sebenarnya lumayan pintar. Jawaban-jawaban yang diberikan bukan jawaban standar yang bisa dihapal, meskipun belakangan dia mulai mempertanyakan penilaiannya. Atau ketika muncul rekaman Presiden 8 diwawancara oleh para Pimred dan Najwa Shihab (saya belum nonton), katanya kelihatannya Pak Presiden ini terlihat pure ga tau banyak masalah yang sebenarnya terjadi. Tingkat kognitif beliau ya memang selalu segitu dari jaman dulu. Saya ngomel, itu salahnya, salah pilih orang! Tapi Dok bilang, untuk urusan sebesar ini, pasti akan ada yang kelewatan. Lagi-lagi saya tidak setuju. Yang kelewatan masalahnya urusan besar! Undang-undang! Bukan sekedar pejabat punya selingkuhan dan beranak pinak. Ya, saya perlu obrolan-obrolan penyeimbang ke-emosian macam ini.

Dalam setiap perdebatan dan obrolan yang lebih sering tidak berfaedah itu, ujung pertanyaannya selalu sama. Apa sih yang salah dengan Negara ini? Kenapa setelah nyaris 30 tahun reformasi, korupsi masih begitu-begitu saja, penegakan hukum juga begitu-begitu saja, pertumbuhan Ekonomi membaik tetapo kalau dibandingkan negara lain ya cukup sewajarnya, kekuatan Paspor juga tidak bertambah signifikan. Apa yang salah?

Ternyata kesimpulan kami juga selalu sama, entah apa, tapi cukup yakin ada yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia. Proses pembentukan karakter, ketahanan mental, daya juang, keinginan berkompetisi. Entah karena sistem pendidikan yang selalu berganti setiap pergantian menteri, entah kesejahteraan guru yang menjadi prioritas terakhir untuk negara ini, entah memang negara menganggap kepintaran itu tidak penting! Iya, kemarin Presiden 8 bilang gitu kok.

Contohnya, bapak saya adalah pensiunan guru SMA. Hampir separuh hidupnya menjadi Guru PNS. Beliau cerita, tingkat kelulusan murid SMA itu 100% bukan karena kualitas pendidikan dan anak-anak yang baik. Tetapi karena terpaksa! Karena ranking sekolah ditentukan oleh tingkat kelulusan itu, segala tunjangan guru yang tidak seberapa itu juga ditentukan oleh tingkat kelulusan. Tau ga gaji guru PNS itu berapa? Mereka yang sudah golongan IV macam Bapak, itu antara 3jutaan - 6jutaan saja. Itu mereka yang rata-rata masa kerjanya 20+ tahun! Coba saja tanyakan pada guru PNS disekitarmu atau cek artikel ini: Rincian Gaji Guru

Pun dengan kurikulum sekolah, kegiatan membaca tidak dianggap penting. Lihat saja kondisi perpustakaan di sekolah-sekolah, menyedihkan. Lebih penting makan siang gratis sih memang daripada membaca. Kalau ga makan mati, kalau ga membaca ya ga apa, masih hidup saja. Di banyak sistem pendidikan di negara maju, membaca adalah kewajiban, menulis adalah keharusan. Dua kegiatan yang di Indonesia ini sangat diremehkan. Padahal kegiatan ini lama-lama akan menjadi kebiasaan, menjadi budaya. Dan menurut saya, dua hal ini adalah dasar untuk berpikir kritis dan strategis. Well, bisa saja saya salah kan tapi.

Selain pendidikan, ada yang salah dengan sistem di negara ini. Tidak jauh-jauh dengan sistem pemerintah deh, sistem antrean rumah sakit coba. Kacau! Kapan terakhir kali anda ke rumah sakit pemerintah? Perhatikanlah sistem antreannya yang diterapkan, lalu pikirkan hal-hal yang bisa dipermudah dalam sistem birokrasinya. Bisa. Tapi entah kenapa tidak mau. Tidak kurang orang pintar yang bisa membuat sistem yang lebih rapi. Sehingga siapapun kepala rumah sakitnya, sistemnya sudah berjalan dan rapi. Apakabar sistem peradilan, tanya sekeliling deh kalau ada orang yang berkasus bagaimana (dan berapa uang) prosesnya berjalan. Riweh!

Begitu juga dengan pemerintahan dan politik. Sistem untuk menjaga stabilitas. Bukannya kalau pejabat Pak Ahok, baru bisa accountable, pejabat lain engga bisa. Seharusnya ada sistem yang bisa diterapkan. Banyak kok orang Indonesia yang sekolah ilmu politik bahkan ke sekolah-sekolah terbaik di muka bumi, tapi entah kenapa mereka semacam tidak dimanfaatkan. Malahan yang terpilih jadi Menteri banyak yang dipertanyakan kognitif dan intelktualnya, padahal sama-sama sekolah di luar negeri.

Banyak orang akan bilang kepada saya, jangan cuman bisa nyinyir dan protes, kasi solusi! Sejujurnya, ini sambil mikir solusinya apa. Akhir tahun lalu dengan seorang teman sempat ngobrol intense mau bikin sekolah! Rasanya sangat banyak hal yang perlu saya siapkan dan kerjakan. Tapi sekarang Ferry Irwandi katanya mau bikin sekolah, semoga Istiqomah dan Amanah! 

Saya yakin, pendidikan yang baik akan mengubah banyak hal, termasuk kondisi negara!

Sementara ini, ijinkan saya mengeluh saja dulu ya. Beasiswa kakak asuh tetap jalan kok. 4 anak sudah sarjana dan bekerja, 2 lagi masih kuliah. Semoga ini menjadi salah satu jalan untuk mereka menjadi warga negara yang lebih baik. Setidaknya tidak nambah-nambahin carut marut sosial ekonomi. Semoga bisa terus berlanjut, diberi rejeki dan kewarasan.

Happy weekend!

P.S tulisannya akhirnya selesai di Sanur, sambil minum kopi dan memandang lautan.

Source: Photo by Brian Wertheim on Unsplash



Wednesday, March 26, 2025

Ingin Berani

Ingin sekali berani.
Menulis keresahan-keresahan tentang negeri.
Seperti Wiji Tukhul, tak berhenti sampai hilang serupa ditelan bumi

Ingin sekali berani.
Menuntut proses hukum untuk sang suami
Meski kecewa berkali-kali
Seperti ibu Suciwati

Ingin sekali berani.
Berjuang menuntut petinggi negeri
Untuk mereka yang hilang, diculik, dibunuh, dan atau dicurangi
Seperti Munir Said Thalid, bahkan sampai dia mati

Ingin sekali berani
Melawan diktator yang bangkit kembali
Dari sisa-sisa rezim yang yang mati suri
Mengambil kebebasan, merampas hak menuntuk kembali

Ingin sekali berani.
Menulis tanpa harus berhati-hati
Takut jika nanti berakhir dipopor senjata TNI

Ingin sekali berani.
Menuntut pemerintah dan ikut demo berhari-hari
Berteriak meminta keterbukaan dan perubahan dari sore hingga pagi
Tapi takut jika akhirnya di bui

Ingin sekali berani.
Melawan sekumpulan oligarki
Meski rasanya berdiri nyaris sendiri
Tapi sebenarnya banyak kawan diluar sana nyaring melawan dan tak bersembunyi.

Ingin sekali berani.
Semoga aku bisa lebih berani.

Wednesday, February 19, 2025

Menyerah, Pasrah, atau Kalah? AKU MEMILIH MARAH

Banyak orang sedang marah
dengan kelakuan bromo corah
lebih lagi oleh pemimpin serakah
inginnya mengubah arah
mengganti sejarah
menumpahkan darah
Tapi rasanya aku ingin menyerah

Banyak orang sedang luka
dengan janji-janji yang ujungnya dusta
katanya makan siang gratis untuk siswa belia
nyatanya gaji guru mereka sita
memang urusan perut paling penting untuk kami yang jelata
lebih penting daripada pikiran yang cerdas terbuka
Tapi aku lelah dan tak bisa lega

Banyak orang sedih
dengan congkaknya penguasa pilih kasih
seolah bijaksana, nyatanya pamerih
katanya wong cilik, tapi pembela wong sugih
seakan baik budi, sayangnya hanya tukang sembelih
Tapi aku jerih

Banyak orang akhirnya melawan
karena tak lagi bisa percaya kawan
ketika penguasa sukanya menebar ancaman
konstitusi dikuasai politisi gadungan
yang dikiranya sang pangeran 
tidak lebih dari sekedar badut hobi cengengesan
Tapi aku kelelahan

Sampai kapan kalian para durjana berkuasa
5 tahun kurasa, 
10 tahun mereka maunya,
Kalau bisa selamanya!
Gila!

Merusak, mengoyak, menganiaya
Mereka tidak meminta nyawa.
Belum! Mereka meminta raga dan jiwa!
Kewarasan dan kecerdasan mereka tukar dengan tipu dunia maya
Sementara bumi pertiwi mereka perkosa
koyak sampai tak bersisa!

Mereka buat kami semakin bodoh dan tak peduli
Ciptakan generasi minim literasi
Jejali kami dengan kecanduan judi
Sehingga otak dan hati tak lagi punya arti
Sementara kalian jarah tanah ulayat leluhur kami!
Babi!

Bisa kalian tertawa terbahak
Sementara kami nyaris mati tersedak
Pintar kalian menutup telinga, pekak!
Sementara kami kehilangan semua hak!

Aku lelah. 
Terpikir untuk menyerah.
Pasrah

Tapi aku MARAH
belum mau kalah.
Kalau kalian anggap ini sia-sia, terserah!
Aku belum siap menyerah.

Mungkin saatnya turun kejalan dan berteriak tentang keadilan
Atau mungkin saatnya menggunakan ilmu kanuragan
Paling tidak aku masih bisa bersuara lewat tulisan.

Wahai pemimpin negara jumawa
Kalian ada di setiap doa doa
Agar malaikat tidak alpa mencatat dosa
Karena kalian sudah kupesankan kavling di neraka!
Jahanam!






Sunday, February 9, 2025

Sebuah Argumen (Tidak Valid) - Tentang Cinta

Sabtu pagi, saya punya waktu berlama-lama melakukan ritual sakral wajib semua umat manusia di kamar mandi. Sambil nongkrong, mendengar lagu-lagu India romantis, sambil melakukan keahlian utama saya, daydreaming alias berkhayal.

Menghayalnya jadinya romantis, gegara mabok lagunya Arijit Singh dan Armaan Malik nampaknya. (Karena kalu dengarinnya produk Hans Zimmer menghayalnya biasanya tentang alien).

Okay, lets talk about love. The most favorite eternal topic. Bukan tentang jatuh cinta, dimabuk cinta atau putus cinta. I have no enough capability to talk about it. Urusan percintaan romantis saya mainly gagal total. This is about love it self. What love is.

Under my nice morning hot shower, saya memutuskan cinta adalah kemauan dan kehendak ikhlas untuk berkompromi dan berkorban demi orang lain (atau hal lain) yang pada akhirnya menjadi sumber kebahagiaan personal. Nah, ribet ga tuh!

Lets put that in a bullet points, yaps clarity needs bullet points including love!

Kemauan
Kalau ga mau dan ga pengen maka ga akan bisa diusahakan dong. Jangankan cinta, makan nasi padang aja harus ada kemauan dulu kan. Apalagi something as big as love. Some people said love is magical. 

Well it's actually chemical. A complex chemical reaction in the brain. Testosterone and estrogen for the most ancient part - lust. Dilanjutkan dengan  dopamine, oxytocin dan entah apa lagi. Reaksi kimia ini ada tahapan dan durasinya. Untuk menjaganya tetap stabil, perlu usaha. So nothing magical about it.

Sama seperti kembang api, orang-orang dulu mengira kembang api itu produk sihir. Kenyataannya adalah kombinasi kimia yang komplex dengan hasil yang indah. That's love. Chemical reaction. Reaksi kimia dalam otak dan tubuh manusia dan menghasilkan rasa yang indah macam butterfly in my stomach - situation. Duh, ini ga nyambung blas. next!

Kehendak Ikhlas
Kalau tidak ikhlas berarti paksaan, bahasa puitisnya para pujangga itu, urusan hati tidak bisa dipaksakan. Semuanya harus karena kemauan tulus ikhlas atas ilham ilahi. Kalau dipaksakan jadinya malah kisah cinta Siti Nurbaya (btw kurikulum sekolah jaman sekarang masih membahas perkembangan sastra Indonesia ga sih?).  

Tapi entahlah ya, di salah satu artikel BBC (klik disini kalau mau baca) menyatakan bahwa tahun 2018 93% pernikahan di India itu karena perjodohan. Dan menariknya lagi, India tergolong negara dengan tingkat perceraian paling rendah di dunia. 

Padahal kalau menggunakan argumen lemah saya tentang Kehendak Ikhlas, perjohohan harusnya kehendak dipaksakan dong. Well, marriage doesn't necessarily about love and we are all agree about that (I hope). Sementara tentang angka perceraian, ada jauh lebih banyak kompleksitas sosial yang harus dijabarkan ketika menjelaskan angka-angka ini. Termasuk agama, ekonomi, bahkan politis.

Duh, ga nyambung lagi. Next dan janji akan balik ke setingan romantis!

Kompromi
Well, saat tidak ada hal yang sempurna di alam semesta rasa (termasuk rumus fisika menurut Prof Brian Cox). Including your love interest. 

Let say you love Bali so much, you yet still need to compromise with the traffic, the overcrowd, and the not so smart Bule sometimes. Because at the end you loves their beach, the babi guling, the free feelings of wearing tank top only without no one cares and questioned you.

Atau ketika kita cinta kali dengan pasangan tetapi ternyata dia tidurnya ngorok. Well, karena cinta harus mau kompromi dong. Either tidur pakai airplug, tidur di ruangan terpisah atau si tersangka ngorok ikut terapi biar ngoroknya ilang.

Because they said, love will tackle all the obstacle. Cinta bisa mengalahkan segala halangan dan rintangan. Jangankan cuman ngorok, agama dan restu orang tua saja bisa dihempas atas nama cinta kan! 
Selama mau berkompromi, tidak selalu win-win. Kadang mengalah, kadang mengalahkan. Tidak selalu bisa menjadi pemenang. Gitu! - katanyaaaa

Berkorban
Kompromi dan berkorban ini menjadi semacam sebab akibat. Kalau siap berkompromi berarti siap mengalah untuk beberapa hal. Seperti yang saya tulis di paragraph sebelumnya, konsep win-win itu untuk saya agak absurd. Pasti ada yang "mengalah untuk menang" atau "mengalah untuk ketenangan bersama" atau "mengalah karena udah males aja".

Keputusan untuk mengalah, meredakan marah, menurunkan ego, mumutuskan untk sejenak turun ring tinju adalah berkorban. Berkorban karena terlalu cinta. Bercinta itu bukan bertarung. Ketika bertarung, semua dikerahkan sampai titik darah penghabisan. Perbedaannya dengan bercinta? Ya itu, berkorban itu intinya iklas.

Dalam KBBI saja arti kata berkorban adalah menyatakan kebaktian, kesetiaan dan sebagainya. Semacam kegiatan yang mulia kan?

Hampir semua ibu, rela mengorbankan diri demi anaknya. Literally her life for her children. Nothing greater than mom's love to their kids i think. Banyak orang tua berkorban their personal comfort for their family and kids. This could be cultural or social, but this must also been love kan.

Bahkan in a friendship, we give our time for them. That's the least we can do, but actually time is the most precious resources. We can't repeat it. We almost can't add it. Our time is limited. And when we are willing to giving up our time for something or someone, that's love.

Pada Akhirnya Menjadi Sumber Kebahagiaan Personal.
So, cinta memang se-paradox itu.
Di satu waktu kita ikhlas kehilangan, terluka, berkorban, tersakiti atas nama cinta. Dengan sadar sepenuhnya mau mengalami penderitaan. Kenapa? Kenapa manusia bisa se-masokis itu atas nama cinta.

Karena semua itu pada akhirnya cinta dan segala kompleksitasnya menjadikan kebahagiaan untuk yang menjalani. Jarak yang jauh bekerja ke kapal pesiar tidak menjadikan putus asa ketika pulang kerumah sudah bisa melihat rumah impian sejak anak-anak mulai nampak wujudnya. Bekerja lembur sampai migrain menyala-nyala serasa seperti candaan saja ketika tabungan akhirnya cukup untuk jalan-jalan ke Peru untuk melihat Machu Pichu.

Bertahan dalam hubungan yang belum tentu ideal dan terkadang menyesakkan terbayar ketika sesekali masih bisa dielus kepala dan diajak makan malam bersama. Setia pada pasangan yang seringnya membuat hati ngilu (dan bahkan terkadang badan biru-biru) terbayar ketika bertemu kerabat dan karib tidak lagi harus menjelaskan kenapa belum juga punya pasangan di tatapan lega para tetua karena akhirnya standar sosial sudah terpenuhi semua. Kesakitan dan pertaruhan nyawa ketika melahirkan terbayar lunas ketika bayi tersebut lahir dan menangis keras.

Yah, cinta sebenarnya se-egois itu.
Pada akhirnya semua demi keuntungan sendiri. Kabahagiaan yang hanya diri sendiri paham bagaimana rasanya. Meski dunia mengatakan pasangan buruk rupa, perangainya bagai durjana, tetapi ketika membuat bahagia, yah sudah bertahan.

Cinta akan berkhir ketika tidak ada lagi alasannya untuk bahagia dalam situasi yang sama. Entah karena sudah tidak ada lagi yang bisa dikorbankan, entah karena sudah lelah ikhlas, atau karena tidak ada lagi reaksi kimia. Ketika semuanya hilang, ya sudah. Selesai urusan cinta-cintaan ini.

I used to say, there's a very thin line between love and stupidity.
Of course this is not a valid arguments, but that's what i feel.

Well, kontemplasi sabtu pagi di kamar mandi saya ternyata lumayan juga! Hahaha...
Mari merayakan cinta!

Disclaimer: this photo is for illustration only 😜








 

A Piece of Mind . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates