Saturday, December 21, 2024

Obrolan Makan Siang #3: Generation Gap. How Much Gen Z Frustrates You?

Disclaimer:
Tidak ada penelitian dan pengolahan data ilmiah yang dilakukan tulisan ini. 
Data yang ditampilkan adalah dari berbagai sumber (formal & informal, termasuk bertanya pada netizen Instagram) yang saya jadikan sebagai referensi. Keseluruhan isi tulisan adalah pendapat (tidak valid) saya.

Beberapa bulan lalu saya mengisi kelas untuk Team Leader dan Assistant Manager tentang Interview Skill. Fokusnya tentang mencari tahu bagaimana kandidat menghadapi berbagai situasi dalam pengalaman sebelumnya.

Lalu salah seorang peserta bertanya "Bu, bagaimana kalau kandidatnya Gen Z? Menurut Ibu mereka itu gimana? Ibu mau merekrut Gen Z?" Jawaban cepatnya: of course, I will. (yah, meskipun saya sadari generation gap ini tidak mudah untuk dijembatani, boleh baca di tulisan saya sebelumnya disini: Pikiran Absurd Setelah Menginterview Gen Z)

Tapi belakangan ini, generation gap ini menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan dan dijadikan konten di sosial media. Sebagian besar konten-konten itu kurang lebih saling menonjolkan kekurangan generasi tertentu di generasi lainnya. Orang tua menilai anak muda dan sebaliknya, begitu saja sih sebenarnya. Cuman dibalut dengan istilah kekinian yang untuk generasi lebih dulu, agak membingungkan.

Oke, untuk kepentingan tulisan ini, saya membuat summary data dan statistik sederhana tentang Gen-Gen ini:
Dari berbagai sumber termasuk data BPS.


Saya adalah generasi Y, Millennials. Saya masih ingat hampir lima belas tahun lalu, tahun-tahun awal saya mulai bekerja, sering kali ada training dan bahkan workshop tentang cara bekerja dengan Millennials. Pesertanya Ibu dan Bapak para manager di perusahan. Mereka rata-rata Gen X dan ada Boomers juga. Saya agak nyasar di training itu. Mendengarkan pandangan mereka tentang Millennial, kok jelek-jelek gitu yaaa.... Mereka ngomongin saya! Hahaha... 

Masih ingat kok, katanya Millennial itu engga sabaran. Loyalitasnya rendah. Tidak bisa diharapkan bertahan lebih dari 5 tahun di perusahaan (yaps, my personal statistic memang rerata 2,4 tahun aja kok). Mau segalanya instan macam mi cup. Pokoknya di mata mereka Millennial ini kurang bisa diandalkan. Waktu itu saya protes alasannya beda perspektif tentang cara melihat segalanya saja, cumaan, saya sendiri, mereka banyak (bos-bos pulak) kalah suara jadi lanjut mendengarkan saja.

Sekarang, rasanya dejavu. Giliran saya dan Millennial lain yang akan merekrut dan bekerja dengan para Gen Z ini. And now I can understand apa yang diributkan ibu bapak manager jaman 15 tahun lalu itu. Pertanyaan peserta training saya di awal tulisan tadi: Emang mau rekrut Gen Z? Menurutmu Gen Z itu gimana?

Source: https://vocal.media/confessions/millennial-and-gen-z



Mari urai pikiran kusut saya seperti biasa.

Dari hasil bertanya di IG stories, pandangan Millennial terhadap Gen Z itu, saya urutkan dari jawabannya yang paling sering muncul:

1. Lemah, mudah menyerah dengan keadaan
Saya rasa pandangan ini karena seringnya exposure di sosmed tentang mental health, life work balance dan sejenisnya itu. Masih ingat awal-awal muncul istilah healing. Orang-orang mulai bilang istilahnya salah, tidah seharusnya sedikit-sedikit healing.

Lalu ketika banyak bermunculan ide bahwa mental health adalah hal yang paling penting dan paling utama. Selalu yang menjadi kambing hitam adalah toxic environtment. Toxic bos. Toxic office. Toxic relationship. Semacam, it's always someone else's fault!

Belum lagi ketika ada anak-anak sekolahan yang ketika dimarahin guru malah lapor ke orang tua, bahkan lanjut lapor polisi. Komentar gen Y biasanya semacam "Kalau jaman kita, sudah dimarahin guru kalau lapor ke orang tua bukannya dibela akan semakin dihajar makanya kita jadi kuat!" atau "Alaaahh segitu aja ngeluh, jaman kita guru-guru lebih keras lagi. Dipukup penggaris dan dilempar penghapus malah sudah biasa." 

Familiar kan dengan situasi itu.
 
2. Ga Sopan. Kritis, jadinya selalu berani berpendapat.
Kalau bahasa yang sering dipakai oleh salah satu bos saya, challenge the status quo. Gen Z ini nampaknya tidak takut untuk menyampaikan isi pikirannya. Tanpa merasa sangat perlu untuk memikirkan sopan santun dan unggah ungguh yang selama ini dipegang teguh oleh generasinya yang lebih tua.

Di kantor, saya beberapa kali menghadapi situasi ini. Mereka yang mempertanyakan kebijakan-kebijakan perusahaan. Bukan berarti generasi sebelumnya menerima, tapi biasanya ketidaksetujuannya disampaikan hanya pada circle pertemanannya. Atau dibahas sambil becanda ngenes di smoking area. Gen Z menyampaikannya langsung di meeting. 

Kami kaget-kaget kadang dengan keberanian mereka. Tapi saya most of the time senang dengan keterbukaan itu. Malah menjadi ruang diskusi yang lebih sehat. Saya juga bisa belajar dan mengobservasi perilaku mereka. Jadi bisa lebih paham apa yang penting untuk mereka, bagaimana mereka melihat masalah dan apa yang mereka lakukan di situasi "orang dewasa" itu.

Tidak hanya mereka, di rumah juga sama. Adik-adik saya. Kemarin Esa cerita kalau dia ada disagreement dengan atasannya di kantor. He was not misuh-misuh ga jelas, dia WA langsung atasannya dan minta meeting untuk membahas masalah itu. Mereka bahas dengan terbuka, dan voila, mereka menemukan jalan tengah untuk bersepakat. Menarik! Hal macam ini agak kurang menjadi kalcer di generasi saya. 

3. Tech Savvy dan menghabiskan banyak waktu di sosial media
Kayaknya ini tidak perlu dijelaskan lagi kan? Biarpun ternyata mereka ini kalau di sosmed kebiasaanya jarang update-update. Kalau keseringan post malah katanya engga cool. I just simply dont understand this one. 

Tapi katanya masalah yang sering muncul gegara teknologi ini, anak gen Z menjadi tidak sabaran. Mereka mudah frustrasi dengan hal-hal yang perlu waktu. Concentration span (rentang perhatian) mereka juga sangat pendek katanya. Ada penelitiannya juga dan pernah saya tulis di sini.

Tapi ini rasanya bukan hanya ke gen Z saja. Bos-bos saya yang boomers juga engga bisa sabaran. Maunya segala instant! Ooopsss

4. Kreatif
Salah satu team saya di kantor lama namanya Edi, anak gen Z. Kalau ngobrol memang tidak pernah bisa diajak serius. Tapi, setiap diberikan project apapun jadi! Mulai dari bikin stiker cuci tangan yang engaging, ngurusin flow shuttle karyawan, sampai eksekusi annual company celebration, semua beres! 

Kalau urusannya project kreatif, pasti beres dan cakep hasilnya sama dia. Kadang-kadang saya malah belajar banyak. Dia yang selalu membawa ide-ide bagaimana biar kerjaan makin gampang dan gampil! Dia yang kasi training canva ke ibu-ibu di kantor. Sampai akhirnya kami semua cukup mahir "main" canva kalau kepepet pas dia libur.

Kreatif ini sepertinya berbanding lurus dengan point sebelumnya. Tech Savvy itu. Dan sekarang sangat banyak stimulus disekitar kita. 

5. Mageran
Bagian mageran ini rasanya muncul karena pandangan yang pertama. Mereka mudah menyerah. Kadang terlihat menjadi pemalas. Padahal kemungkinan juga mereka sedang mencari cara termudah untuk menyelesaikan sesuatu dengan lebih cepat dan tidak usah mengikuti cara-cara lama. Balik ke kreatif itu.

Ada juga kemungkinan Gen Z dianggap mageran karena sering terlihat manja. Situasi semacam segalanya sudah tersedia dihadapan mereka. Sebagian besar anak Gen Z sudah punya akses internet dari mereka masih SD. Di desa-desa juga kok, di kampung saya anak tetangga sering nebeng wifi di rumah Bu Wir.

Baik dan buruk, tapi kesan yang saya dapatkan banyak teman-teman yang memandang Gen Z ini kok agak kureng kalau dijadikan wodk force. Entah karena dianggap lemah dan manja itu atau karena gap usia dan pandangan hidup yang agak berbeda saja sebenarnya.

Coba perhatikan tabel statistik ala-ala yang saya buat diatas, dilihat dari jumlahnya, Gen Z ini memang paling banyak. Secara angka, mau tidak mau mereka adalah workforce terbesar yang kita punya. Sederhananya, suka tidak suka, kita harus mempekerjakan mereka. Pilihannya adalah mereka atau sesama Millennials. Pandangan umumnya para Gen Z ini karena masih muda, fresh graduate dan masih punya banyak ambisi, mereka punya flexibilitas lebih tinggi dan bahasa kerennya: punya lebih banyak opportunity to grow longer within the company. Aiiih, sok canggih kali lah bahasa mbak-mbak corporate slave ini. 😝

Selain data statistik yang mau tidak mau kita akan hadapi, ada satu lagi yang sering saya obrolkan dengan teman-teman di kantor, termasuk juga saya sampaikan saat mengisi kelas. Kalau dilihat bibit bebet bobotnya, Gen Z ini lahir dari orang tua Gen X dan beberapa Millennial awal-awal. Like it or not, we raised the generation. Sama seperti saya raised by Boomers and Gen X. 

We in this situation is not only their parents ya. Kita semua as the whole society maksudnya. Kita yang memberikan kemudahan-kemudahan instant pada anak-anak ini. Contoh paling sederhana, karena tidak mau mereka mengalami segala kesusahan hidup, kita cenderung melayani keinginan mereka. Weekend harus jalan-jalan dan main untuk kompensasi waktu yang hilang selama weekdays. Rumah dipasang internet karena sudah menjadi keharusan macam pasang listrik dan air. Alat sekolah harus dibantu siapkan agar ketika di sekolah tidak reweh nanti malah dipanggil gurunya.

Atau ketika kita sebagai orang tua tidak terima anak kita dimarahin oleh gurunya. Alasannya yang absurd dan sering saya dengar, di rumah saja saya tidak pernah memarahi anak, apa hak anda memarahi anak saya ini? Lah gila! Kelakuan anaknya macam setan. Bagaimana mereka ga ngelunjak karena merasa selalu dibela. Ketika melihat berita ada murid yang melawan guru komentar kita "Jaman kita lebih baik" well, we are part of that creating the new jaman my friend.

Atau kemarin obrolan random banget di mobil dengan anak-anak kantor yang beneran kombinasi dari Milennial dan Gen Z, topicnya adalah ketika punya uang pilih beli mobil dulu atau rumah dulu. Mungkin seperti tebakan kalian. Milennial pilih rumah, Gen Z pilih mobil. Benar atau salah tergantung argumentasi mana yang lebih pas untuk value masing-masing orang. Karena tidak ada jawaban benar dan salah. Tidak harus men-judge cara pikir salah satu generasi. Kita tidak pernah tahu Gen Z ini sudah melek saham dari mereka masih SMA. Balik lagi ke adik-adik saya, tabungan mereka saham, saya belum paham! 

Kita juga sebenarnya yang double standard kan jadinya. Kita sendiri masih gamang dengan identitas kita sebagai Millennial. Apakah kita yang bangga dengan kerasnya gemblengan hidup (yang masih jauh lebih mudah kalau dibandingkan Gen X ) atau kita yang gegap gempita menyambut perubahan dan kemudahan (tapi masih gaptek kalau dibandingkan Gen Z)

Like it or not, they are the biggest productive human resources yang kita punya saat ini. Instead of frustrasi dan skeptic, saya rasa banyak hal yang bisa kita obeserve dari anak-anak ini. Terutama tentang cara mempermudah hidup dengan cara-cara mageran yet productive-nya mereka.

And we also need to helps them untuk lebih realistis. Based on our bit of longer experience kalau hidup itu adalah controlled chaos, jadi pasti akan ada gila-gilanya, we just need more resilient. 

So, how much Gen Z frustrates you? 

Saturday, November 9, 2024

Pikiran-Pikiran Absurd Setelah Menginterview Sangat Banyak Gen Z

Mari kita samakan dulu perspektif tentang Gen Z, untuk kepentingan tulisan ini, Gen Z adalah mereka yang lahir antara tahun 1997 - 2012. Jadi anak Gen Z paling tua itu usianya tahun ini adalah 27 tahun (mak, kok udah tua juga mereka) dan yang paling muda adalah 12 tahun.

Source: https://www.investopedia.com/generation-z-gen-z-definition-5218554 


Anak-anak calon Intern/Trainee/PKL yang saya interview beberapa hari lalu itu berarti usianya sekitar 18 - 21 tahun, sejatinya Gen Z berarti kan.

Pengalaman menginterview mereka ini sebenar-benarnya absurd dan mind-blowing! Mengerti kenapa banyak feed IG dan atau teman-teman millenial lain selalu merasa bekerja dengan gen Z itu challenging dan kalau bisa engga usah. 

Saya bekerja di industri perhotelan, anak-anak yang saya interview kemarin rata-rata melamar untuk bagian Housekeeping, Culinary, Restaurant Service dan beberapa di Front Office. Di Bali, beberapa dekade terakhir sedang menjamur kuliah diploma 1 program keahlian pariwisata khususnya untuk bisa berangkat ke kapal pesiar. Durasi programnya secara resmi adalah 12 bulan, 6 bulan pelajaran dan praktik di kampus, 6 bulan program training di industri. Biasanya mereka akan ditempatkan di Hotel atau Restaurant di Bali. 

Hari itu saya menginterview sekitar 25 sampai 30 orang, hampir semuanya melamar di bagian Housekeeping. Inilah jawaban- jawaban yang membuat saya entah tertawa miris dan jengkel frustrasi.

Beberapa dari mereka berasal dari Kabupaten lain, untuk ke Badung itu kurang lebih 3 - 4 jam perjalanan. Jadi biasanya saya bertanya kapan mereka sampai di Badung. Beberapa berangkat di hari yang sama, berangkat subuh, ganti baju di Indomaret lalu langsung ke lokasi interview dibantu Google Maps. Cool, oke juga lah perjuangan anak-anak ini. Lalu adalah satu anak ini yang mengaku dia datang sehari sebelumnya dan nebeng di rumah kakaknya. Saya casually bertanya “Kakakmu tinggal dimana?” Tau ga jawaban dia apa? Saya yakin tebakan kalian salah, jawaban dia “oh saya kurang tau sih Miss dia tinggal dimana” Eeehhhh, gimana itu maksudnya. Agak terlalu membagongkan, apalagi kata dia “Kan share loc, tinggal ikutin aja." Ya ampun! Bisa ya se-ignorant itu. 

Pertanyaan standar saya ke mereka semua selalu, kenapa memilih department Housekeeping? Percaya tidak, kalau 25 orang diantara anak-anak ini jawabannya selalu: karena saya suka bersih-bersih. Bukan jawabannya yang salah, kalau memang suka bersih-bersih ya bagus-bagus saja kan, masalahnya lho kok bisa lebih dari 80% jawabannya sama dan seragam. Terlalu mencurigakan. Sampai saya tanya, itu dikasi tau sama gurunya ya suruh jawab begitu? Of course kata mereka, engga Bu, memang benar suka bersih-bersih. Pengen rolling eyes aja dah! Saking kesalnya saya bilang “Sekali lagi kalian jawab suka bersih-bersih, ga akan saya terima training di sini. Baru mereka memberikan jawaban yang sepertinya lebih masuk akal.

Jawaban masuk akalnya termasuk, disuruh sama Bapak saya karena katanya kesempatan kerja di Housekeeping lebih banyak. Fair enough dan masuk akal untuk saya, tidak semua orang bercita-cita menjadi Nuclear Scientist dan tercapai kan. Tentu saja tidak berakhir indah demikian, saat saya tanya Bapakmu kerja dimana? Dia bilang di Kuta. Ok good, next question: Hotel apa? Ga Tau. Departement apa? Ga Tau. Astajiiiimmmm! Ini saya berhadapan dengan makhluk hidup jenis apa siiihhh….. Sampe saya ngomel-ngomel dan bilang: Tapi Bapakmu kan yang bayarin uang kuliah??!! Gimana ga empet deh coba.

Lalu ada lagi murid durhaka, kebetulan saya tau SMA tempat dia bersekolah dulunya, karena Pak Wir dulu adalah mantan Kepala Sekolah Pre-Opening pada jamannya. Benar-benar karena nostalgia, saya tanyakan siapa Kepala Sekolah sekarang. Seperti yang sudah anda duga, jawabannya Ga Tau. Alasannya karena lulusnya sudah lama. FYI ya, ijazah kelulusannya ditandatangani Juli 2024, dan mereka saya interview bulan Oktober 2024. Gimana engga inggin berkata-kata kasar kita. Geram!

Pertanyaan besar saya adalah apa yang membuat anak-anak gen Z ini bisa se-ignorant itu dan nyaris seragam? Perkembangan teknologi? Pola Asuh? Sistem pendidikan? or all answer are correct?

Apakah perkebangan teknologi terlalu cepat untuk kemampuan otak manusia yang sebenarnya masih bekerja dengan otak purbakala?

Apakah polah asuh yang terlalu memanjakan dengan memberikan kemudahan sehingga anak-anak ini menjadi tidak cerdas? Tapi masalahnya kan yang mengasuh Gen Z ini adalah Gen Millenial juga. Salah kita sebenarnya mereka bertingkah polah macam sekarang.

Bagaimana dengan sistem pendidikan. Sudahkah kurikulum dibuat agar siswanya menjadi cerdas atau sekedar untuk "clicking the box?" Saya berkata demikian karena Pak Wir itu pensiunan guru SMA. Kata beliau, sekolah jaman terakhir dia masih mengajar, sangat dihindarkan anak-anak tidak naik kelas. Sebodoh apapun mereka. Alasannya, agar target kelulusan siswa 100% tercapai. Kalau tidak lulus, reputasi sekolah taruhannya. Dampaknya, kinerja guru dipertanyakan, kenaikan pangkat dipersulit. Gaji guru yang sudah terlalu kecil, makin tidak bisa diandalkan. Belum lagi kelakuan orang tua jaman sekarang, sedikit-sedikit melaporkan guru ke polisi. Dahlah, biar saja. Bapak Umar Bakri juga pontang panting angkat kaki kalau begini. Kurang lingkaran setan apalagi coba! Lingkaran Lucifer sih kalau ini. 
Tuh kan jadi panjang! Namanya juga pikiran absurd. Sudah pasti kemana-mana.

Jangan heran kalau tiba-tiba anak sudah lulus SMA tapi tidak paham konsep bilangan prima. Atau pembagian pecahan. Jangan heran kalau mereka bahkan tidak tahu kalau negara-negara arab termasuk benua Asia. Siapa juga yang akan peduli!

Yang membuat saya miris sekali dengan interview kemarin itu (selain yang sudah saya cerita tadi), Sekolah diploma 1 ini tidak murah. Kisaran biayanya antara 15 juta - 20 juta untuk satu tahun. Dalam satu tahun itu hanya 6 bulan belajar dikelas (potong libur semester dan ina inu palingan efektif belajar hanya 4,5 - 5 bulan saja, lalu job training selama 6 bulan). Bandingkan dengan program Sarjana di kampus pemerintah, rata-rata SPP per semester 4 juta (bahkan anak-anak beasiswa saya ada yang hanya 1juta atau 500ribu per semester). Jadi sebenarnya biaya sekolah D1 ini mahal banget! Menang banyak ga itu sekolahnya.

Saya bercerita ke beberapa teman tentang keresahan ini. Jawaban mereka nyaris-nyaris serupa. Lalu saya juga bertanya pada teman-teman di Instagram. 

Next tulisannya, tentang hasil mini survey di IG ya!

So, now tell me, kalau kalian Gen Millenial, what do you thing about Gen Z. And Vice Versa!


Monday, September 30, 2024

Iri Pada Dahlan Iskan

Setiap kali ada kasus aneh di muka bumi, terutama yang bekaitan dengan politik, seringnya saya akan melihat catatan harian Dahlan Iskan di website beliau https://disway.id/kategori/99/catatan-harian-dahlan . Saya sangat suka mencari tahu pandangan beliau tentang berbagai hal. Membaca tulisan-tulisannya yang selalu informatif dan mudah dimengerti.

Dulu, website ini hanya semacam blog hariannya Pak Dahlan. Belakangan sudah beragam isinya. Bahkan sudah menjadi portal berita sungguhan. Mirip situs resmi koran Jawa Pos yang beliau sukses beliau pimpin dari tahun 1982-2018! Jaman saya SMP-SMA Jawa Pos adalah koran langganan Alm. Kakek. Dari sejak itu bercokol di kepala kalau ada di Jawa Pos berati beritanya bisa dipercaya.

Tapi waktu itu saya belum tau ada sosok bernama Dahlan Iskan. Yang saya tahu hanya koran Jawa Pos tok. Saya mulai mengenal profil beliau ketika pertama kali diangkat penjadi Dirut PLN jaman presiden SBY. Kemudian oleh presiden yang sama beliau diangkat menjadi menteri BUMN. Rasanya jaman beliau menjabat menteri BUMN-lah ketika mobil listrik rencananya dikembangkan, tetapi berbagai masalah membuat rencana itu gagal.

Dalam perjalanannya dia juga tidak lepas dari berbagai kontroversi. Pak Dahlan sempat beberapa kali menjadi tersangka kasus korupsi. Bahkan pernah sampai dipenjara meski akhirnya dibebaskan karena dinyatakan tidak terbukti bersalah oleh pengadilan. Nanti kalian cari tau sendiri lah case-nya apa. Tulisan ini bukan tentang itu.

Yang membuat saya iri dengan Pak Dahlan, bukan tentang prestasi dia menjadi pejabat publik. Saya iri dengan konsistensi dia menulis! Dari 2018, Pak Dahlan menulis satu artikel tiap hari di websitenya DISWAY. Selalu, tidak pernah absen! Ciri khasnya, kalau merujuk pada Subjek perempuan Pak Dahlan akan selalu menggunakan akhiran “-nyi” instead of “-nya” Coba deh baca, nanti kalian akan mengerti!

Tulisannya tidak melulu berat tentang politik Indonesia, kadang juga tentang group senamnya. Tentang kunjungan ke warga tionghoa, tentang cuaca pilpres di Amerika, tentang hobi. Nyaris tentang segalanya. 6 tahun dan selalu setiap hari. Konsistensi menulis inilah yang membuat saya iri.

Memang tidak mengherankan, Pak Dahlan itu mantan wartawan senior Tempo. (Kenapa sih rata-rata mantan wartawan senior Tempo ini keren-keren!) Tapi tetap saja tidak semua mantan wartawan, mantan pejabat publik dan sampai saat ini masih aktif mengurusi beberapa perusahaan bisa menulis tiap hari.

Iri dengan Pak Dahlan semakin menjadi-jadi ketika saya yang pekerja kantoran ini sangat pemalas dan tahun ini menulisnya sedikiiit sekali! Tidak ada alasan sok sibuk, memang saking malas saja!

Hari ini sepulang kerja mendengarkan podcast Raditya Dika dimana dia juga ternyata menulis tiap hari. Jurnaling istilahnya. Seaneh dan sependek apapun harus tetap ditulis. Lifetime homework istilah dia.

Seketika saya ingat DISWAY. Ingat rasa iri saya pada Pak Dahlan. 

Semoga rasa iri ini berbuah baik. Mencoba menulis lebih konsisten lagi. Sependek dan seajaib apapun, pasti ada cerita yang bisa dibagikan setiap hari.

P.S.

Cerita Pak Dahlan yang cukup terkenal dan dia tulis menjadi sebuah buku adalah perjalanannya menerima donor hati di China akibat kanker hati yang dia derita di tahun 2007. Beberapa tahun kemudian Alm. Kakek saya juga didiagnosa kanker hati. Salah satu tante menyarankan transplantasi hati yang sebaiknya dilakukan di Singapore atau di China. Biayanya sangat besar tentu saja. Tapi anak-anaknya nampak ingin menyanggupi. Usia kakek saat itu tidak lagi muda. Mungkin pertengahan atau akhir 70an, dokter juga menyatakan kalau kemungkinan unttuk transplantasi semakin menipis dengan bertambahnya usia. Untuk case kakek, sangat kecil keberhasilannya.

Saya lalu tanya ke sahabat saya yang saat itu masih dokter umum. Pendapat dia tentang transplantasi hati untuk kakek. Jawabannya tidak akan pernah saya lupa “Kecuali klo setelah sembuh kakekmu bisa jadi Menteri macam Dahlan Iskan, barulah kamu boleh pertimbangkan donor hati itu!”

Yaps, terkesan kejam dan tidak berhati memang. Dan teman saya memang aneh dan terlalu logis. Tapi kalau dipikir sekarang, benar juga sih!

Selamat Hari Senin!

Nusa Dua, 30 Sep 24. 10.50pm

Sunday, September 29, 2024

Pengakuan Dosa: Social Media Doomscrolling

Tadinya mau menulis tentang yang lagi rame di kalangan netizen politik Indonesia, Fufufafa dan wapres yang ga hobi baca itu. Setelah tulis beberapa paragraf dan coba proof read ke beberapa orang kata mereka kali ini offside-nya agak extreem. Jadi sebaiknya di simpan di draft dlu. Baiklah.

Lalu nuncul ide menulis tentang perkara artis Ibu dan anak yang super heboh sampe teriak-teriak itu. Engga beres juga, bukan karena sibuk atau habis ide, tapi karena doomscrolling. Kegiatan un-faedah yang sayangnya menjangkiti manusia modern lintas generasi!

Akhirnya, jadilah tulisan pengakuan dosa ini, tentang doomscrooling. Saya baru tahu kalau kata ini bahkan sudah masuk list Cambridge Dictionary. Look at this:

Source: https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/doomscrolling


Kalau terjemahan bebas ala saya doomscrooling berarti kegiatan membuang-buang waktu yang berlebihan yang dilakukan di ponsel maupun komputer dimana kegiatan utamanya adalah membaca/melihat berita-berita buruk.

Nah bener itu!
Contohnya ya kasus si ibu dan anak artis. Awalnya melihat FYP tiktok, lanjut melihat segala konten terkait dan tidak terkait (termasuk segala parodinya) sampai berjam-jam! Demn! Relevansinya buat saya? Ga ada! Saya tidak punya anak. Hubungan dengan Buk Wir juga waras-waras saja. Tapi terhibur. Curiga apakah saya ini psikopat? 

Tidak hanya berita buruk case-nya kalau di saya. Segala-gala. Mulai dari konten Aganta yang super ajaib. Konten Kak Itwill dan suaminya, sampaiiiiii Jordy Onsu live Tiktok jualan kloningannya snack momogi! (ini sedang dalam proses menimbang, mengingat untuk kemudian memutuskan untuk membeli snacknya)

Kondisinya parah! 
Sambil nulis ini aja saya sambil scroll-scroll Tiktok dan IG :(

Kegiatan un-faedah ini dimulai semenjak ada FYP Tiktok dan Reels IG. Kok ya isinya captivating buat saya. PS: beberapa kali saya lihat post kalau netijen Tiktok IQ-nya paling rendah diantara semua social media platform. Paling tinggi katanya X. Entahlah bener apa ndak, mungkin bener, saya ga punya X! hahaha...

Tadi saya bilang doomscrolling ini menjadi wabah di semua generasi. Pak Wir dan Pak Wir juga termasuk. Mereka main Tiktok dan Youtube. Coba lah tanya Buk Wir, segala benda aneh dia beli di tiktok. Mulai dari tempat simpan telur ayam sampai pembersih kerak kamar mandi yang konon katanya sekali oles langsung bersih tuntas. Beberapa berhasil. Beberapa gagal. Daster 30ribuan gagal, dia pakai beberapa kali tali lengannya putus! Hahaha....

Balik lagi ke saya.
Semenjak adanya media sosial ini, kualitas dan kuantitas saya membaca dan menulis juga jauh berkurang. Sebelumnya setahun saya bisa membaca 60 lebih buku, sekarang beres 40 buku setahun saja sudah ngos-ngosan. Dulu bisa menulis minimal 1 artikel seminggu. Sekarang, 1 artikel sebulan rasanya sudah achievement. Kacau!

Belakangan berusaha mencari cara mengurangi doomscrooling, belum ketemu yang beneran efektif. Cuman kalau untuk menulis yang lumayan berhasil adalah saya nulisnya di warung kopi deket rumah. Sambil ngopi dan makan singkong goreng entah kenapa jadinya lebih fokus. Seperti sekarang, menulis ini ditemani es teh tawar dan kopi panas. Trus di seberang meja ada abang-abang bule kyoot. Khan ga fokus lagi! Ga keganggu sosmed, keganggu lakik! 

Dalam beberapa post dikatakan rentang perhatian (selanjutnya disebut attention span) manusia semakin berkurang tiap tahunnya. Saya sedang membaca jurnal ilmiah tentang pengitungan attention span lintas generasi. Dari penelitiannya (tahun 2023) mereka menemukan kalau secara statistik, attention span beberapa kelompok umur itu seperti ini:

  • Children - anak-anak (7-13 tahun) adalah 26,91 detik
  • Young Adult - awal dewasa (19-32 tahun) adalah 76,24 detik
  • Older Adult - orang tua (56-85 tahun) adalah 67,01 detik

Sumber: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC10621754/

Melihat ini, rasanya relates deh dengan keadaan doomscrooling saya. Reels dan Tiktok feed itu rata-rata antara 15-60 detik. Bahkan sengaja konten kreator bikin "Part 2" dst entah untuk alasan menaikkan engagement mereka dengan audience atau karena kesadaran mereka tentang attention span kita yang sangat pendek.

Yang lebih concerning buat saya sebenarnya attention span anak-anak. Hanya 26,91 detik. Kurang dari setengah menit. Tantangan untuk bapak ibu guru jaman sekarang untuk bisa tetap mengajar dan membuat anak-anak ini bisa fokus pada pelajarannya.

Lalu, bagaimana sebaiknya kita menyikapi doomscrooling ini?
Entahlah, saya masih menjadi budak FYP, kadang pulang kerja scrooling, sadar-sadar sudah tengah malam dan bahkan belum mandi dan beberes!

Sekarang mau meniatkan lebih banyak menulis dulu deh.
Mungkin lebih sering nongkrong di warung kopi. Buktinya tulisan ini jadi dalam sekali duduk!
Pencapaian yang lumayan ditengah gempuran FYP Abe, baby Kamari, parodi si padel, dan live tiktok snack momogi KW!

Tell me your story!


 

Friday, August 23, 2024

Saya Menulis Ini Dengan Sadar: Saya Pernah Menjadi Pendukung Jokowi

Waktu itu.

Ketika biasanya negara ini dipimpin Jendral bintang lima atau Politisi jalur kolusi, muncul bapak ini. Bapak ini pengusaha mebel, kader partai banteng yang sangat loyal. Wong cilik katanya. Mewakili suara-suara rakyat jelata yang terpinggirkan nampaknya.

Ketika itu, dunia juga sedang terpesona oleh Barrack Obama. Pemimpin negara adikuasa, dari kaum minoritas, yang ternyata pernah tinggal di Indonesia. Tambahlah euforianya. Ketika pertama kalinya dalam sejarah indonesia calon presidennya bukan dari militer atau kaum priyayi. Wong cilik istilahnya. Sebagian besar dari kami terpesona. SBY tidak buruk-buruk amat, tapi Indonesia perlu sosok yang jauh lebih powerfull. Yang bisa menatukan semua umat, terutama wong cilik. Mencari presiden yang de facto berpihak pada wong cilik, bukan hanya demi kepentingan top 1% 

Saya salah satu yang terpesona. 10 tahun lalu itu, saya bisa bangga karena sebenar-benarnya sudah dewasa dan peduli urusan negara. Ditambah lagi kredibilitas dia yang semakin meroket ketika menjadi gubernur Jakarta! Bahkan majalah Times saja menjadikan dia sabagai cover majalahnya dengan judul besar A NEW HOPE.

Ya, waktu itu saya mendukung Jokowi.

Periode pertama ini, melihat bagaimana dia memimpin, memilih punggawa dengan benar, rasanya memang harapan itu benar ada. Maka tidak ada keraguan, dia harus lanjut periode 2. Harus. Dukungan saya jauh lebih gila! Saya mengaku saja sekarang.

April 2019, Pilres Indonesia. Pertarungan antara Jokowi dan Prabowo. Tidak akan mungkin demi apapun saya mendukung Prabowo. Dan kinerja Jokowi masih berjaya. 

Saya tinggal di Oman waktu itu. Saya tidak mau kehilangan hak suara saya. Harus bisa nyoblos di Oman! Masalahnya tidak sederhana. Saya tinggal di sala satu daerah paling terpencil di negara itu, dengan beberapa belas WNI lainnya sesama pekerja migran. Demi bisa memilih Jokowi saya sampai menghubungi KBRI Muscat, dan menawarkan jika mereka bisa memfasilitasi untuk membuka TPS di tempat kerja saya. Dan bisa! Sampai sebegitunya memang niat saya mendukungnya.

Lalu Jokowi terpilih. Sempat bahagia karena artinya kebaikannya akan berlanjut. Tapi benar kata bijak agama, Jangan berharap pada manusia karena engkau akan kecewa. Lalu saya kecewa.

Diawali ketika dia mengangkat Prabowo menjadi Menteri Pertahanan. Banyak pendukung yan masih memuja-muja, katanya keputusan politik yang cerdas. Seperti pemain catur yang sedang membangun strategi terbaik. Memang benar, tapi terbaik untuk klan-nya. Bukan untuk Indonesia.

Dari sana, semakin membuat saya geram. Menantu dan anaknya mencalonkan diri menjadi kepala-kepala daerah, dan menang tentu saja. Lalu komentar-komentar semacam “Lah kok tanya saya” yang semakin sering dia lontarkan dalam isu-isu kenegaraan. Confirm ketidaksukaan dan ketidaksetujuan saya ketika begitu saja anaknya jadi Cawapres, lewat jalur dalam, lalu ketua MK yang meloloskan aturannya kawin dengan adiknya. Terlalu drama! Terlalu tidak masuk logika. 

Dan yang membuat saya paling sedih, orang-orang masih mengelu-elukan dia! Katanya, dia adalah pemain catur yang hebat. Katanya, dia sakit hati benar dengan Megawati karena memperlakukan dia semena-mena. Makanya saking kecewa-nya dia melakukan segalanya untuk menghancurkan partai banteng.

Yang tidak bisa saya terima, ketika dia menjadi Presiden. Siapapun dia, sudah menjadi negarawan! Bukan lagi politisi berkelakuan seperti Sangkuni!

Manuver dia dalam diam ini yang membuat saya tidak bisa diam.

Saya memang tidak bisa turun ke jalan. Saya tidak bisa ikut berteriak marah pada para punggawanya. Tapi saya tidak akan diam! Selama saya sanggup menulis, inilah saya dan kemarahan, kekecewaan dan kesedihan saya.

Ya, saya pernah menjadi pendukung Jokowi. Dan itulah juga kenapa Jokowi berhutang banyak pada saya. Pada kami, para pendukungnya. Para sesama wong cilik yang berhasil mengantarkan dia menjadi Wong Gedhe! 

Permintaan saya sederhana. Berhenti! Berhenti merusak dan menyakiti! Menjadilah orang tua bijaksana dan bertanggung jawab!

Sunday, July 14, 2024

Apa Itu Independent Woman?! Capek Mandiri Lho Ini....

Sebagian besar waktu saya sangat bersyukur menjadi Winda hari ini. Mandiri. Literally segalanya sendiri. 
Tapi di banyak waktu lainnya, capek lho menjadi wanita mandiri ini. Pengen lho segalanya diurusin suami atau istri atau siapalah itu terserah, yang penting diri yang katanya mandiri ini bisa leyeh-leyeh ga mikir, tetiba semua sudah ada dan tersedia.

Saya capek lho mandiri. 
Belakangan ini apa lagi, 
saat banyak kali beban hidup yang rasanya bisa dibagi 
daripada dikerjakan sendiri
duh, kenapa malah puitis berpuisi
dah lanjut tulis biar lega hati!

Capek mandiri itu ketika.....

Kemanapun nyetir sendiri
PP kerja masih ok lah. Mereka yang bersuami dan berpacar juga berangkat pulang kerjanya sendiri kan. Tapi pas giliran, demam tinggi dan mesti ke dokter. Kondangan ke acara temen di kabupaten lain yang jauhnya bikin ngilu. Pas lagi pulang kerja malem banget dan lelah lahir bathin, kayaknya pengen dijemput trus disetirin. Ga usah mikir. Bodo amat kalau yang jemput juga sama lelahnya kan. Pun ketika pulang main sampai malam (atau subuh) dengan kondisi kewarasan hanya setengah, tinggal masuk mobil, sampai rumah dengan aman rasanya pasti menyenangkan.

Biarpun sebenarnya most of the time kalau nyetir jauh-jauh disetirin Esa, adik saya. Kalau lagi spaneng juga suka minta dijemput dia sih. Untung anaknya mau-an. Tapi kan ga semua mbak-mbak independent women punya Esa ya. Itu masalahnya!

Kami bisa banget nyetir sendiri. Jago malah. Tapi tetep pengen disetiriiiinnnnn!
Kalau kata teman saya, itu kamu cari pacar atau sopir pribadi? Kan memang ga harus pacar lhooo… hahahaha.

(Bayar) Traveling Sendiri
Sebenarnya saya seneng banget solo traveling. Engga ribet menyamakan jadwal dengan partner traveling. Ga harus berbagi kamar (dan kamar mandi). Bisa susun itinerary sesuka hati (yang sebagian besar isinya leyeh-leyeh dan baca buku).

Mau lho traveling dibayarin! Dibeliin tiket pesawat, di bookingkan hotel, dibayarin makan, dibelikan trip. Trus kita tinggal packing dan berangkat! Macam ani-ani gitu lhoooo (Eh!). Apalagi pas di negara/tempat tujuan apa-apa diurusin. Taksi/kereta sudah tinggal langsung naik aja. Ga mikirin pilih rute atau tiket. Duduk manis, bisa sampai tujuan dengan bahagia dan aman.

Tapi memang sih kalau traveling bareng itu PR-nya lebih banyak. Pengeluarannya juga lebih banyak kecuali memang dibayarin, ini mau pergi ber-brapa orang juga mau. Eh tapi untuk ukuran kemageran saya, sebaiknya memang sendiri sih, kalau sama orang lain malah bikin orangnya sebel! Saya aja kadang sebel sama kemalasan diri ini. Traveling jg sengaja ga terlalu mepet-mepet waktunya biar banyak waktu leyeh-leyeh tiduran ga jelas.

Mengurus bangun rumah sendiri!
Maaak, meski beli rumah di developer, tetap saja proses ribetnya ketika:
  • Pilih kavling/lot yang mana? Bagus ga fengshui-nya? Nanti arah rumahnya vs arah matahari terbit dan terbenam oke tak? Laaahhh, saya arah kanan kiri aja masih binguuunggg
  • Menentukan luas bangunan vs tanah. Demi apa ya, google map bilang 200m belok kanan aja saya masih nyasar! Apakabar yang ribet begini
  • Menentukan posisi rumah vs posisi garasi vs lokasi septic tank! Apa pulak ini... kukira tempat taik ya ud sembarang aja. Katanya engga lhoooo, biar nanti gampang disedot sama sedot WC, ga ganggu pas berkebun. Nangis kali!
  • Baca gambar dari arsitek. Perbandingan luas masing-masing ruangan, posisi tangga, posisi shower, posisi jendela! Demi apaaaa! Posisi yang saya paham cuma posisi parkir mobil yang baik dan tidak mengganggu lahan parkir sebelah! Itu aja udah panas dingin, apalagi harus parkir paralel! Ini lagi diminta lihat posisi dapur dan kloset! Mana paham!
  • Memutuskan titik listrik. Mau ditambah tempat colokan apa engga? Lokasi saklar lampu mau dimana? posisi dipan gimana biar ga salah titik colokannya! Apalah aku yang selama ini mengandalkan kabel extension untuk segala kebutuhan.
  • Belum lagi tambahan untuk posisi toren air, saluran air bersih vs kotor, lokasi bale bengong/gazebo. Padahal kan aku butuhnya hanya sepetak kamar. Kenapa jadi ribet gini sih!
Paling omega ribet saat bangun/beli rumah ini tentu saja ketika proses berhutang itu! Namanya juga belum kaya raya, masih diambang nyaris dibawah kemapanan. Jadilah hutang KPR menjadi keharusan. Proses KPR ini tentu saja tidak semudah Thoriq dua bulan sudah haji ya Ibu Bapak! 

Segala urusan admin, termasuk pernyataan petugas bank: nanti sekalian disertakan bukti penghasilan suaminya ya bu, biar makin mudah prosesnya! Hello! 

Kemudian ketika tawaran KPR muncul dari beberapa bank lengkap dengan perhitungan bunga dan simulasi kredit. Beberapa bank ini punya metode perhitungan yang berbeda-beda. Besaran bunga kredit yang juga berbeda, kemudahan dan kesusahan yang juga berbeda. Pusing beneran!

Sampai akhirnya saya menyerah dan mengerahkan bala bantuan. Teman yang jumlahnya tidak seberapa itu tetapi sukurnya jauh lebih pintar dan lebih logis. Dia yang membantu mengurai keribetan berpikir dan akhirnya mengambil keputusan finansial jangka panjang itu! 

Ketika proses berhutang inilah yang saya sekali-kalinya dalah hidup merasa “Kayaknya enak dah punya suami, ada yang ngurusin keribetan rumah ini”. And I said it out loud ke Win. Dan lalu dengan gaya lempeng tanpa emosi Win bilang “Ga ada begitu! Kalau punya suami tapi suaminya engga pintar dan malah jadi bebanmu malah lebih ribet!”

Bener sih tapi.
Setelah dipikir kembali yang saya perlukan bukan suami. Tapi life hack. Mau perempuan, mau laki-laki, pelajaran-pelajaran tentang menjalani hidup itu harusnya dimiliki semua orang. Mungkin salah satu kurikulum sekolah saat SMA itu adalah life hack deh.

Anyway, please don’t get me wrong.
Sangat bangga saya bisa mengurusi diri sendiri sejauh ini. Sesekali mengurusi Bu Wir dan Pak Wir juga.
Namanya manusia, pasti banyak maunya. Terutama yang tidak dipunya. Dan saya manusia, tempatnya iri hati dan dengki! Hahahaha.

Apakah ada yang ingin diubah dari hidup saya?
Ada dong, banyak! Tetapi tidak yang sudah terjadi, karena semuanya yang lampau, menjadikan saya yang sekarang berhasil menuliskan artikel ini!

Selamat hari minggu!
Selamat menikmati menjadi orang dewasa



Thursday, May 16, 2024

Catatan Kegiatan Tidak Biasa: Talk Show Ajahn Brahm

6 May 2024 lalu saya ikut talk show Ajahn Brahm. Topiknya bekindful. Tentang kebaikan, meski ketika sedang dalam berkesusahan. Ajahn bercerita. Bayak sekali. Semua cerita beliau menarik. Beberapa membuat tertawa terpingkal, beberapa membuat merenung juga.

Dalam sesi tanya jawab, peserta diminta menyampaikan pertanyaannya lewat whatsapp ke panitia dan akan dipilih pertanyaannya dari sana. Saya tidak bertanya, hanya mengirimkan pernyataan sebenarnya. Dan tidak berharap dibacakan karena pasti ada banyak pertanyaan lain yang lebih layak dibahas. Hanya menyampaikan rasa terimakasih untuk buku-buku yang sudah beliau tulis. Pesan saya seperti ini:

Hi Ajahn
Im Winda, im no Budhist.
Considering being one, actually thinking of being a Bhiksuni one day. Not sure if I am ready.
I just wanted to thank you for being you. My life has been much better since I read your books.

Ternyata moderator membacakannya! Meskipun langsung diterjemahkan menjadi Bahasa Indonesia. Dan tentu saja nama saya tidak disebutkan.  Sebagian peserta talk show termasuk moderator tertawa. Terutama tentang keinginan saya untuk menjadi Bhiksuni, mereka menganggap itu sebagai jokes. Not blamming them tho, bahkan buat saya sendiri ide itu agak terlalu absurd. Tetapi entah kenapa beberapa tahun belakangan ini, ide itu sering muncul di kepala. 

Setelah moderator selesai membacakan pernyataan saya (dan diterjemahkan lagi oleh translator ke Ajahn menjadi Bahasa Inggris), sejenak Ajahn tidak berkata apa-apa, hanya tersenyum, lalu dia berkata kurang lebih begini. "Why not? And no problem if you are not a Budhist. As long as you practice dharma, you are already following Buddha. You can always start with your meditation"

Seperti dejavu!

Duluuu sekali Win Muliadi pernah bilang ke saya:
Siapapun kamu, apapun kamu, selama kamu melakukan kebajikan dan welas asih, maka kamu adalah pengikut sang Buddha. Btw, Win adalah sahabat saya yang terlahir di keluarga Buddha. 

Entah kenapa rasanya haru. Saya menangis.
Apapun nanti, menjadi Bhiksuni atau tidak, semoga selalu diberi kewarasan, eling untuk tetap melakukan yang baik. 

Terimakasih Ajahn Brahm


Sunday, February 11, 2024

Awas Saja Kalau Sampai Tidak Menang

Pemilihan umum sudah tiga hari lagi, bauk-bauk pemenangnya sudah sampe kemana-mana. Macam asap kebakaran gambut di Sumatera sana, yang katanya disengaja biar bisa ditanamkan sawit. Katanya sih gitu. Eh balik ke topik.

Pertarungan Capres tahun ini sengit sekali. Bahkan sudah mulai dari beberapa tahun lalu. Sampai akhirnya orang-orang dibuat kaget-kaget oleh penguasa tertinggi negeri ini. Bapaknya sih bilang, bukan putusan dia, tapi putusan MK. Tapiii, ketua MK-nya adik ipar dia lho... bisa gitu yaaa. Ah, mungkin saya saja yang terlalu curiga, mungkin mereka profesional saja. Profesional, bergerak bersama menjadikan putra mahkota segera berkuasa! Gas!

Lalu beberapa korban penculikan yang dengan penuh belas kasihan dikembalikan ke keluarganya juga sekarang merapat ke kubu dia. Menjadi pendukung. Beritanya ada dimana-mana. Muncul juga orang itu di belakang-belakang pas debat capres. Memang sudah usang kasus HAM yang hanya diungkit setiap 5 tahun sekali itu. Kalau mau kenapa tidak dibereskan saja saat presiden sebelumnya. Kenapa baru diungkit pas pemilu sahaja. Hmmmm, klo otaknya malas mikir, benar juga kata bapak ini ya.

Belum lagi narasi bahwa sebagai prajurit, belio ini tegak lurus mengikuti perintah atasan! Jadi prajurit memang harus gitu!! Penempatan di daerah konflik, GASS (tapi cuman buat tamtama rendahan dan prajurit "terhukum"). Suruh bantai satu area demi alasan keamanan nasional, tidak peduli yang dibasmi bersalah atau tidak dan membunuh sepertiga dari seluruh penduduk Timor Leste, GASS, kan disuruh atasan. Pun pembantaian hampir semua laki-laki di Krakas. Apapun selama diperintahkan atasan, GASS. Apanya yang salah tentang itu kan? Besok disuruhnya makan taik mungkin jg dia mau.

Lalu dengan Marketing Agency kelas dunia!
Pemilu anak-anak mantan diktator di Philippina aja bisa menang, di Indonesia gampang lah. Lupakan kasus 98. Lupakan dia pernah melarikan diri mencari suaka ke Jordan. Lupakan dia pernah mengakui menyiksa menghukum orang-orang yang konon berbahaya bagi negara. Lupakan dia pernah tantrum dan bilang negaranya sendiri akan bubar tahun 2030 gegara tidak terpilih menjadi presiden.

Lupakan masa lalu, setiap orang punya kesalahan dan berhak atas kesempatan kedua (rolling eyes).
Saatnya berfokos pada pemimpin gemoy, pemimpin tegas (kan militer, masak meleyot), pemimpin yg ga disetir oleh ketua partai (2 periode kemarin disetir ketua partai, makanya kacau negara ini!), pemimpin yang sanggup memberikan makan siang gratis untuk rakyatnya!!! GASSS

Kalau sudah dengan usaha-usaha keras begini gak menang ya keterlaluan toh!
Ga belajar juga 3 kali nyalon masa tetep kalah, malu sama keledai yang jatoh ke lubang yang sama cuman 2 kali. Iki lho Jendral bintang 3! cuman pemilu gini aja ya mosok kalah. Malu sama FYP tiktok!

Kalo sampe dia kalah, awas aja, sudah segininya aku tulis artikel ini sampe malam-malam demi kau!
Menang! Awas engga!

Bahan Bacaan

Friday, January 12, 2024

Obrolan Makan Siang #2: Trivia Diktator Dunia dan Politik "Gemoy" Indonesia

Sebenarnya ini bukan obrolan makan siang, tapi obrolan di sela-sela jam kerja yang terkadang membosankan. Kegiatan favorite saya dan seorang teman kerja belakangan ini adalah trivia quiz yang samasekali tidak penting. Sambil ngopi dan rokok-an, kuis kami biasanya meliputi berbagai topik yang tidak berfaedah samasekali mulai dari nama-nama negara, ibu kota negara, tokoh politik, pemimpin negara, merk pakaian, perusahaan otomotif, jenis sayur dan buah, sampai yang pernah saking gabut, topiknya adalah tabel periodik unsur kimia! Yaps, setidak-jelas itu memang.

Meski tidak jelas, banyak orang sering ikut kok. Bahkan sering kita invite orang-orang yang sekiranya akan bisa menjadi "pesaing" untuk ilmu pengetahuan yang tidak berfaedah ini. Aturannya sederhana, sebutkan nama-nama sesuai dengan topik, tidak boleh mengulang, tidak boleh berpikir lebih lama dari 10 detik. Terlihat mudah memang, tetapi biasanya di tengah-tengah sebagian akan nge-blank dan out. 

Pernah sih kami berdua bikin aturan yang agak ribet. Nama negara waktu itu, jadi negara yang disebutkan hanya boleh dengan huruf awalan yang sama dengan huruf akhir negara yang disebutkan sebelumnya. Misalnya saya menyebutkan "JAPAN" orang selanjutnya hanya boleh menyebutkan nama negara dengan awalan huruf "N" misalnya "NEPAL" nah jatohnya ribet memang, jadi lama-lama aturan ini kami hapuskan.

Well salah satu topik yang pambahasannya bisa berlanjut lama setelahnya adalah tentang pemimpin dunia. Hitungannya adalah Kepala Negara/Kepala Pemerintahan. Presiden sudah tentu, selain itu Raja dari negara yang diakui UN (jadi Sunda Empire belum termasuk ya maap), Sultan dari negara yang di akui UN (Rapi Ahmat juga belum termasuk maap), dan Perdana Menteri. Tokoh politik, tokoh pergerakan kemerdekaan, se-powerful apapun tidak masuk hitungan. Che Guevara misalnya, belum masuk. Kadang kami memperdebatkan apakah Hitler termasuk. Keputusan akhirnya termasuk sih, nampaknya dia pernah menjadi kanselir Jerman sekaligus kepala pemerintahan di tahun 1934.

Menariknya dari kegiatan ini adalah nama-nama yang disebutkan. Siapapun pesertanya, polanya akan sepert ini: 

- Negara mereka sendiri - di saya pasti mulai dari Bung Karno 
- Negara yang pernah ditinggali - saya biasanya sebutkan Alm. HM Sultan Qaboos
- Kawasan negara sekitar - Lee Kwan Yew pasti masuk di list saya, oh dan Sultan Bolkiah!

Setelah ketiga jenis itu disebutkan, selanjutnya haqqul yaqin pasti diktator! Yang tidak pernah absen dari peredaran regardless siapapun pesertanya: Soeharto, Dutarte, Saddam Hussein, Kim Jong Un, Putin, Netanyahu (ga tau dia diktator apa penjahat), Stalin, Musolini, Gadaffi, Mao Zedong, Xi Jin Ping (hhmmm, not sure if he is a dictator sih)

Don't get me wrong, some notable leaders because of their good legacy juga tidak pernah absen. Thatcher, Gandhi, Mandela, Churchill, Arafat. But then list dictator leaders nampak lebih mudah diingat daripada leaders lainnya. Why does the human brain remember that way? Do we love tragedy more than peace? maybe no, not love it, it's just leaving a longer term (if not permanent) mark I guess,

But what if, it's more than just the feeling. Mungkin nanti saya harus baca buku-buku tentang diktator dulu. Bagaimana kalau salah satu skill ke-diktator-an adalah tentang menguasai massa. Membuat orang-orang percaya bahwa apa yang dilakukan sebenarnya untuk niatan mulia. Kinda using "greater good" purposes untuk membuat orang-orang melihat bahwa being a dictator means also you have such a great power, you almost a demi-god, manusia setengah dewa. Dan orang-orang akan menyembah mereka. Bukankah itu yang terjadi pada Hitler dan Kim Jong Un?

Mungkin juga it's in our muscle memories (or DNA?) that actually we can be much more productive if we are underpressure. Contohnya saya dan deadline kerjaan! Bahwa sebenarnya kita suka perasaan merdeka tetapi sebenarnya gamang ketika diberi kebebasan. Makanya dengan para diktator ini malah merasa terlindungi. Buktinya saat awal perang Rusia - Ukraine, banyak netijen komennya masa gini "Nah rasakan kemaran Putin, singa tidur diganggu" "Yah presiden Ukraine kan komedian, mana mungkin menang lawan Putin yang perkasa" Hmmm... what was that?

Now, reflect back to our country, apakah Soeharto diktator? Secara resmi, Indonesia adalah negara demokrasi. Presiden dipilih oleh rakyat (atau perwakilannya), tapi with his "charm" Soeharto berhasil meyakinkan ratusan juta rakyat Indonesia bahwa dialah pemimpin terbaik selama 32 tahun! Memang sih belum selama Fidel Castro yang sampai 49 tahun atau Gadaffi yang sampai 42 tahun. Tapi Soeharto bernasib jauh lebih baik dari Gadaffi. Sampai meninggal proses peradilannya tidak pernah rampung, hartanya langgeng sampai anak cucu cicitnya hari ini, bahkan dimakamkan selayaknya pahlawan! Sementara Gadaffi mati dibunuh oleh pemberontak! 

Nasib diktator di Indonesia memang akan tetap baik nampaknya 2024 ini. Mungkin shio bapaknya sedang ok di Tahun Naga. Buktinya calon presiden yang sudah nyalon 3 kali ini jelas-jelas punya bibit diktator yang mantap tetapi punya basis massa yang sangat besar. Kekuasaan bentuknya memang berbagai macam, kemampuan financial pasti yang paling penting, lanjutkan dengan manipulasi data and algoritma, et-voile, the devil suddenly wears cute teddy bear costum now. And who dont like teddy bears, especially the young-soul human! Can't blame them. Apalagi ketika para penguasa (diktator dan hampir diktator) ini berkuasa. Siapa yang bisa melawan. Kalau kata nenek mungkin harus turunkan Dewa Siwa! Agak extreem memang nenek saya.

Well, seperti yang mereka selalu katakan "Siapa saja boleh nyalon kok" (terutama kalau punya om ketua MK atau bapaknya presiden yang berkuasa) dan "kan rakyat yang menentukan dan rakyat yang memilih", masalahnya ini adalah marketingnya siapa yang lebih kuat dan cerdik saja. Contoh Indomaret dan toko kelontong sebelah rumah. Indomaret kenceng marketingnya, jaringannya luas, nampak indah dan mengundang jg. Padahal lebih mahal, pembenaran pelanggannya ya ada harga ada mutu. Padahal di toko kelontong sebelah rumah bisa kas bon dlu, kalau ban motor pecah pinjam pompa juga di dia. Tetap saja pilihannya ke Indomaret. Eh, kayaknya ini analogi yang tidak nyambung blass. Nanti kupikir lagi lah contohnya.

Lalu, siapa yang akan dipilih mbak kantoran di pemilu depan. 
Bukan yang gemoy kok, karena buat saya segemoy apapun dia, he is not a leader, he is a dictator. 

But if you wanna go with him, go for it. It's your choice, that unfortunately affecting the life of 270 million ++ human in Indonesia!

Bhaaayyy!!!

A Piece of Mind . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates