Wednesday, March 16, 2022

Menjadi Perempuan Itu, Harusnya..... (Part II)

Kayaknya pertama kali menulis topik ini sekitar lima tahun lalu. Barusan saya bongkar-bongkar lagi tulisan lama itu, puk-puk untuk Winda 5 tahun lalu karena Winda hari ini masih setuju dengan isi tulisannya.

Berbeda dengan 5 tahun lalu, "tuntutan" menjadi perempuan di usia saya sedikit berubah. Saya juga minta pendapat teman-teman di instagram dan beberapa orang ikut ikut berpendapat tentang apa yang menjadi tuntutan menjadi perempuan yang mereka sering dengar dan rasakan. Dan beberapa point ini dari mereka

Memasak
Mungkin pola pikir ini dimulai sejak jaman manusia purba pemburu pengumpul. Ketika para lelaki dalam kawanan berburu dan mengumpulkan makanan lalu membawanya pulang, para perempuan tidak bisa ikut berburu karena harus menyusui anak-anaknya. Sehingga perempuanlah yang menunggu di rumah (atau goa mungkin saat itu ya) dan mengolah bahan makanan yang dibawakan para pria.

Yah, kalau dipikir lagi meskipun sekarang sudah era revolusi sains, tapi masih banyak pola pikir jaman purba. Ini yang membuat kita frustasi, tapi mungkin karena sudah ikut tercetak dalam blue print DNA jadi agak sulit dihapus.

Malah ngawur kan.
Tidak ada yang salah sebenarnya kalau ada yang bilang jadi perempuan itu harusnya bisa memasak. Dulu saya tidak setuju. Karena saya tidak (mau) memasak. Belakangan pemikiran itu berubah cukup drastis. Terutama setelah sempat menjadi TKW yang tinggal di negeri antah berantah dan pandemi dua tahun belakangan.

Yang saya tidak setuju adalah yang dituntut bisa memasak kenapa harus perempuan? Narasinya harusnya diubah menjadi, manusia dewasa harusnya bisa memasak. Perempuan, laki-laki, non binary, apapun dan siapapun. Karena menurut saya memasak adalah life skill. Sama dengan skill memilih alpukat matang! Duh, ngawur lagi.

But then again, memasak seharusnya kemampuan wajib manusia dewasa. Yes true, jaman sekarang segalanya ada yang jual. Yang penting punya uang segala makanan bisa di beli. Praktis, kadang malah lebih murah dan juga enak. Sayangnya pandemi mengajarkan hal yang berbeda, apa yang tadinya kita bisa beli dengan mudah tidak lagi terjangkau karena masalah keuangan yang kacau balau.

Dengan bisa memasak, setidaknya banyak pengeluaran bisa di hemat. Masak nasi misalnya, kalaupun sisa bisa dibuat nasi goreng besokannya biarpun hanya dengan modal telur ceplok, garam, kecap dan cabe potong. Kalau tidak bisa memasak? Piye? Contoh lain, akibat pandemi harus tinggal di kampung. Pilihan menu terbatas karena tidak ada uang. Sayur petik di kebun hanya ada daun singkong? Gimana masaknya? Rebus, bikin sambel cabe, bawang putih garam dan jeruk limau, campurkan di rebusan daun singkong, tambah nasi, makan deh.

Memasak adalah kemampuan bertahan hidup. Jadi bukan hanya perempuan yang harusnya bisa memasak. Semua manusia berdaya haruslah bisa masak!

Dandan dan Merawat Diri
Bahkan dalam kesehariannya saja, ada dua kubu utaman jenis perempuan untuk urusan ini. Mereka yang passionate urusan skin care, perawatan dan dandan. Dan mereka yang "aku ga make up, cuma cuci muka pake air PDAM aja tiap hari" 

Saya?
Saya ada di antara kedua sisi extreem itu. Saya masih facial tiap bulan (kalau inget), pakai perawatan untuk kulit berjerawat. Punya cukup banyak lipstik kalau dibandingkan sebagian besar orang. Pengen coba eyelashes extention (tapi masih takut)

Saya punya kenalan yang kalau dandan selalu full! Jangan kan acara-acara resmi dan kondangan, nge-gym aja make up komplit! Dan saya super salut sama dia. Seorang ibu 4 anak, anaknya masih kecil-kecil pula. Masih sempat merawat diri lebih telaten dari diri saya. And that's her hobby. That's what makes her happy. So why we should judge her?

Ada juga kenalan saya yang biarpun ke kantor, nampaknya pake pelembab aja endak. Cuci muka, sat set sat set, berangkat kantor. Tapi kerjaannya selalu rapi, teliti dan selalu beres. Suami dan anaknya juga sayang dia. Rumah tangganya bahagia. Lalu apakah dia harus dandan biar mendapat approval dari orang-orang?

Agak sama seperti laki-laki. 
Ga harus semua laki-laki punya six pack. Ga harus semua laki-laki suka road trip dan touring. Perempuan juga begitu.

Menikah dan Punya Anak
Salah dua pertanyaan yang paling sering ditanyakan ke saya.
"Maaf, ibu sudah berkeluarga?" atau "Ibu sudah ada anak?" atau "Nunggu apa lagi sih? Pacar ada kerjaan ok. Nikah aja sih" 

Sukurnya, saya tidak pernah merasa pertanyaan-pertanyaan itu mengganggu. Kan kita punya hak untuk menjawab atau tidak. Hanya saja untuk banyak orang pertanyaan ini mengganggu.

Apalagi kalau dengan tambahan "Belum sempurna jadi perempuan kalau belum menjadi ibu?"
Astagfirullah! Kegiatan reproduksi tidak membuat makhluk hidup menjadi sempurna atau tidak. Kegiatan reproduksi pada dasarnya, lagi-lagi, adalah insting semua makhluk hidup dari jaman purba untuk memastikan kelangsungan hidup spesiesnya. Tidak hanya manusia. Lumba-lumba, kelinci, tawon, semua juga begitu. Nah, lalu manusia meromantisasi kegiatan berkembang biak ini menjadi tindakan mulia dan maha sempurna.

Well, argument saya, tujuan berkembang biak (punya anak) adalah untuk memastikan keberlangsungan spesies kita di muka bumi. Jumlah manusia di muka bumi (sebelum di kurangi korban perang Ukraina baru-baru ini) as of November 2021 sebanyak 7,9 miliar! Sementara populasi gajah afrika di tahun 2020 hanya tersisa 40,000 - 50,000 ekor saja! (datanya dapat dari WWF). Lalu populasi harimau sumatra menurut kementrian lingkungan hidup tahun 2018 hanya 603 ekor saja!

Masih yakin perempuan (dan manusia) harus punya anak?! Yang seharusnya berkembang biak itu sudah bukan manusia lagi. Yang berkembang biak harusnya hewan-hewan yang menjaga rantai makanan tetap seimbang. Biar tidak tiba-tiba petani gagal panen jagung gegara jagungnya dimakan belalang. Kebanyakan belalang karena ga ada burung-burung. Rantai makanan rusak. Tuh ngawur lagi!

Fokusnya bukan pada "perempuan harusnya menikah dan punya anak" fokusnya lebih baik pada "kemanusiaan haruslah membantu komunitas masing-masing untuk berdaya dan bisa terbebas dari buta huruf, putus sekolah, kelaparan dan kemiskinan" itu baru harus!

Punya Pilihan
Dari hal-hal sederhana semacam: pakai lipstik atau tidak. Sulam alis atau ga usah. Pasang tatto atau masih takut. Sampai keputusan-keputusan besar seperti pilihan untuk menikah, punya anak, bekerja, berwirausaha, ngontrak rumah sendiri, bahkan keputusan untuk steril! Itu keputusan perempuan. Dan hak manusia merdeka pada dasarnya.

Seringnya peranan perempuan untuk memilih arah hidupnya sendiri dikerdilkan oleh dogma di masyarakat. Perempuan tidak boleh pulang malam biar tidak dibilang nakal. Makanya setelah menikah tidak bisa lagi bekerja jadi pelayan atau kasir di kelab malam nanti dibilang nakal. Seorang istri kalau mau pindah kerja harus atas seijin suami dulu. Saya bilng ijin suami lho ya, bukan kesepakatan bersama dalam rumah tangga. How do I know? Seriiiing banget saya menawari seorang perempuan kesempatan mengembangkan karir, jawabannya "Ntar ya bu, saya harus ijin suami dlu" bukannya bilang "Ntar ya bu, saya diskusikan dulu dengan suami" dua hal ini kan sangat berbeda konteksnya. 

Tetapi sebenarnya kita semua harus punya pilihan. Mungkin lebih tepatnya punya kebebasan untuk membuat pilihan. Dan kebebasan memilih ini harus dimiliki oleh semua orang. Laki-laki, perempuan, non binary, gender neutral, apapun, siapapun.

Ketika perempuan ingin menjadi mandor konstruksi bangunan, let her be. Pun ketika laki-laki ingin menjadi capster di salon, let him be! Ketika perempuan memutuskan untuk tidak punya anak, that's her right. Ketika laki-laki memutuskan untuk vasektomi, he has the full right on his body

Berpenghasilan
Nope, saya tidak bilang perempuan harus kerja kantoran atau harus jadi pengusaha.
Tetapi berpenghasilan. Jaman sekarang cari uang caranya berbagai macam kok. Asalkan jangan yang kriminal saja ya.

Menurut saya pribadi, ini yang paling penting. Menjadi mandiri dengan penghasilan sendiri. Dengan ini biasanya membuat lebih percaya diri. Karena kita paham setiap resiko akan keputusan yang kita ambil dan bagaimana bertahan hidup setelahnya. Berpenghasilan juga adalah life skill. Survival skill.

Tidak selamanya orang tua bisa menanggung biaya hidup kita. Tidak selamanya penghasilan suami bisa menutupi kebutuhan keluarga. Tidak selamanya ada suami/pasangan yang akan menyokong hidup kita. Selalu punya kesadaran jika tiba-tiba semua safety nett itu hilang sejauh mana kita bisa bertahan?

Ada kenalan saya, tidak bekerja kantoran, tapi menghasilkan uang dengan menulis artikel-artikel yang dia jual ke media. Ada juga kawan perempuan yang dengan berani memutuskan bercerai lalu sekarang menjadi salah satu MUA handal di Bali. Ini beneran, waktu si John Legend dan istrinya ke Bali, dia yang dandanin mereka dengan pakaian adat bali.

Ada tante saya yang nekat buka salon rumahan meskipun waktu itu suaminya tidak setuju, dan akhirnya ketika pandemi melanda, salon rumahan itulah yang menyelamatkan keluarga mereka karena penghasilan suaminya tiba-tiba 0. 

Perempuan berpenghasilan bukan untuk terlihat hebat. Tetapi untuk bertahan hidup. Istri yang berpenghasilan bukan untuk jumawa, tetapi untuk berbagi tanggung jawab dengan suami. Untuk memastikan dirinya dan keluarganya aman dan bisa fokus mengejar cita-cita yang lain

Kita terlalu lama hidup dalam dikotomi.
Perempuan harus begini, laki-laki harus begitu.
Anak gadis mainnya ini, anak laki-laki hanya boleh main itu.
Perempuan tidak boleh terlalu vokal, laki-laki tidak boleh menangis.
Perempuan harusnya mengasuh anak, laki-laki harus bisa adu jotos.

Itu semua pemikiran jaman batu.
Ketika bikin api saja harus menggesekkan batu dan kayu.

Menjadi Perempuan itu, harusnya bahagia.
Menjadi Perempuan itu, harusnya tak terikat dogma
Menjadi Perempuan itu, harusnya penuh suka cita

Karena pada dasarnya perbedaan pria dan wanita, hanya pada penis dan vagina.
Itu saja.

P.S tulisan ini untuk perempuan luar biasa yang membagikan ceritanya pada saya, Mbak Rika, Adelia, Siska, Mbok Rahayu

Saturday, March 12, 2022

Once Upon a Time in Sumba - Lebih Banyak Cerita Daripada yang Bisa Ditangkap Kamera

Setiap orang punya tujuan yang berbeda-beda setiap kali mereka liburan. Ada yang memang ingin menikmati tempat wisata, ada yang tujuan utamanya untuk mencoba berbagai makanan dari daerah yang dituju, ada yang memang niat untuk kegiatan adventure, dan ada juga seperti sahabat saya yang memang niatnya memang harus ambil foto sebanyak-banyaknya. 

Kalau saya, tujuan utama liburan adalah untuk bertemu orang-orang dan mendengar cerita. Karena cerita dari tempat baru selalu fascinating! Melihat hidup dari sudut pandang yang berbeda. Dan pada akhirnya celebrating the difference. Karena dengan mendengarkan cerita membantu saya untuk tidak jumawa. Menganggap budaya sendiri yang paling indah, paling hebat. Padahal di luar sana banyak sekali cerita yang belum kita dengarkan.

Makanya ketika di Sumba senang sekali ketika saya punya banyak teman yang mau bercerita. Ada beberapa cerita di Sumba yang menurut saya tidak kalah menarik dengan keindahan alamnya. Cerita ini adalah penuturan teman perjalanan saya, para driver, photographer dan guide yang orang asli Sumba. Kalau saya ada menulis dengan keliru, tolong diingetin ya.

Teman bercerita sepanjang perjalanan


Kasta
Sebagai orang Bali, kasta bukan hal asing buat saya. Di banyak hal dalam aspek kehidupan bermasyarakat kami, banyak hal ditentukan oleh kasta. Semakin tinggi kasta, semakin tinggi standar-standar yang ditetapkan. Lihat saja upacara keluarga-keluarga kasta ksatria (raja) di Bali ketika menikah atau ngaben. Megah!

Kalau di Bali tatanan sosial masyarakat dibagi menjadi 4 tingkatan kasta, kasta di Sumba dibagi menjadi tiga. 

Kasta tertinggi adalah Bangsawan atau Maramba. Para Maramba ini adalah para Tuan. Ya tuan tanah, ya tuan penguasa, pokoknya yang kaya dan berkuasa. Memang tidak semua masih kaya hingga keturunannya hari ini tetapi sebagian besar dari orang kaya di Sumba dari kasta Maramba. Kalau bukan kemungkinan pendatang yang bisnis di Sumba, atau kasta lain yang dengan kerja keras dan keberuntungan bisa menjadi kaya.

Di tengah-tengah ada kasta Kapihu atau orang biasa. Beberapa juga menyebutnya sebagai orang-orang yang bebas. Sebagian besar orang Sumba dari kasta Kapihu. Mereka sama seperti kebanyakan dari kita semua.

Lalu ada kasta hamba atau Ata, menurut saya, kasta ini yang paling membuat sedih. Ata benar-benar menjadi hamba sahaya bagi bara bangsawan. Boleh dibilang menjadi budak mereka! Dan ya, mirisnya hingga kini praktek tuan dan budak ini masih berlangsung. Coba browsing, banyak berita tentang hal ini. Yang lebih membuat tidak percaya, kasta ini diturunkan dari orang tua ke anak. Misalnya Tuan X adalah seorang bangsawan, dia punya ata bernama Bapak A. Bapak A akan mengabdi kepada Tuan X sepenuhnya. Mengurus ladang, tarnak, rumah, memastikan segala kebutuhan tuannya terpenuhi, tanpa di bayar. Ya tidak di bayar! A real modern day slavery

Ketika Tuan X punya anak, Bapak A juga akan menjadi budak anaknya Tuan X. Yang membuat lebih marah, jika Bapak A menikah (dan Maramba bisa memaksa Ata-nya untuk menikah) maka otomatis istri dan anak-anak ata-nya menjadi budak anak-anak Tuan X. Begitu terus menerus, turun temurun. Parahnya, jika si tuan punya ladang yang luas dan dia perlu banyak tangan, maka dia akan memastikan hambanya utk menikahi lebih banyak perempuan sehingga akan punya tenaga kerja gratis! Demn!!

Jangankan upah untuk hasil kerja kerasnya, kerap kali para hamba ini juga kekurangan makan. Tuannya tidak peduli, yang penting kebutuhannya terpenuhi. Lebih menarik lagi, kalau di Bali, didalam masyarakat orang tua sering dipanggil dengan nama anaknya. Biasanya anak pertama. Ibu saya misalnya, di kampung biasa dipanggil Bu Winda (ibunya winda). Nah, kalau di Sumba, seorang Maramba dipanggil berdasarkan nama atanya. Misanya nama hambanya adalah Saman. Maka Tuannya yang laki-laki akan dipanggil Umbu Nai Saman (Bangsawan laki-laki yang mempekerjakan Saman). Tuan yang perempuan akan dipanggil Rambu Nai Saman (Bangsawan perempuan yang mempekerjakan Saman)

Tadinya sempat mikir, miris ya jadi orang Bali. Masih banyak diskriminasi hanyak karena urusan kasta. Hey, jangan terlalu bangga kamu majenun. Di Sumba urusan kasta ini juga sama ribetnya dengan di Bali. Penjelasan sederhana ini mungkin tidak bisa menggambarkan unggah ungguh kasta di Sumba, tetapi siapa tau setelah ini jadi tertarik untuk tau lebih banyak.

Belis
Masyarakat Sumba penganut Patrilinial. Jadi, setelah menikah istri akan ikut keluarga suami. Dalam sebuah pernikahaan ada yang namanya Belis. Belis ini seperti mahar atau mas kawin. Diberikan oleh calon suami kepada keluarga calon istri.

Dalam banyak budaya lain di Indonesia (bahkan juga di beberapa negara lain), mahar biasanya ditentukan oleh keluarga pengantin wanita dengan banyak pertimbangan. Lalu mahar yang diberikan biasanya dalam bentuk harta benda mulai dari perhiasan, logam mulia, uang, dan di jaman modern bisa juga benda-benda seperti rumah dan mobil. 

Di Sumba sedikit berbeda. Besarnya belis ditentukan oleh para saudara laki-laki (paman) pengantin wanita dari pihak ibu. Alasannya, karena belis anak perempuan tidak boleh lebih kecil daripada belis ibunya saat dia menikah dahulu. Dan yang persis tahu besaran belis ibunya adalah para paman ini. 

Nah yang menjadi belis adalah hewan ternak. Dalam dunia per-belis-an hewan ternak juga ada kastanya. Paling tinggi tentu saja kuda. Menyusul ketat di belakangnya adalah kerbau. Setelahnya agak jauh tertinggal ada babi dan kambing. Besarnya belis bisa cukup besar. Mencapai puluhan kuda dan kerbau, lalu ratusan kambing dan babi. Kasus yang paling extreem pernah ada seorang calon pengantin dari keluarga bangsawan yang meminta 100 (ya seratus) ekor kuda! Belum termasuk hewan-hewan yang lain. Abis itu langsung bisa bikin peternakan dah.

Waktu itu saya bertanya, di jaman modern ini apakah masih tetap meminta hewan-hewan ini sebagai belis? Maksudnya, bukankah lebih praktis jika hewan ini diuangkan saja? Menurut Kak Ahung, memang ada sedikit pergeseran ke arah sana, tetapi jikapun diuangkan, uang itu dianggap sebagai kuda mati! Harganya jadi lebih murah dan tidak perkasa. Sehingga hewan tetap menjadi pilihan utama.

Tidak selesai sampai disana, pembayaran belis juga bisa dilakukan dengan sistem mencicil. Misalnya keluarga wanita meminta 40 ekor kuda sebagai belis, tetapi calon suami baru sanggup 20 ekor saja, selama mereka bersepakat, maka sisanya bisa dibayar seiring berjalannya waktu setelah keduanya menikah. Misalnya setiap ada acara adat di rumah keluarga perempuan akan dikirimkan beberapa ekor kuda untuk mencicil sisa hutang belis terdahulu.

Sayangnya, belis dianggap sebagai media untuk membeli pengantin perempuan dari keluarganya. Jika belis sudah dibayar lunas, maka si perempuan sepenuhnya menjadi hak suami (ingat, saya tulis hak, karena kewajiban sangat jarang disebut-sebut). Ekstreemnya jika orang tua si perempuan sakit dan dia ingin menengok, jika suaminya tidak mengijinkan dia untuk pulang ke rumah maka istri tidak akan pulang ke rumah. Pun ketika dia dianiaya, keluarganya bahkan tak punya kuasa untuk membantu anaknya. Karena anaknya sudah dibayar tunai. Miris kali.

Salah seorang teman di kantor asli Kupang, menikahi perempuan Sumba. Dia juga membenarkan bahwa dibandingkan dengan daerah NTT lainnya, belis-nya perempuan Sumba memang paling mahal. Saya juga ingat obrolan bertahun-tahun lalu ketika mengunjungi Maumere, seorang perempuan Maumere yang saya temui bercerita kalau disana belis-nya biasanya adalah kambing.

Dalam sebuah jurnal ilmiah yang saya baca, semenjak tahun 1950an belis mengalami pergeseran makna. Tadinya belis dianggap sebagai penyeimbang. Masyarakat Sumba yang saat itu masih menganut aliran kepercayaan mempercayai belis adalah upaya untuk penyeimbang ruang (kosmos) dari masing-masing pihak. Ketika seorang perempuan menikah dan ikut suaminya dipercaya ada kosmos di keluarganya tidak seimbang sehingga keluarga laki-laki yang bertanggungjawab untuk menjaga keseimbangannya. Tetapi setelahnya belis malah menjadi perlambang status sosial. Tidak heran kalau belis dianggap menjadi penentu kaya tidaknya calon keluarga pria. Dan sebagai harga diri masing-masing keluarga.

Jangan salah, menyepakati belis bisa menjadi perkara panjang. Jika kesepakatan tidak dicapai, atau terjadi gagal belis, pernikahan bisa gatot - gagal total. Bye-bye rumah tangga. Lupakan cinta! Jadi kalau pacarmu adalah seorang gadis cantik dari sumba, coba cek dlu belis ibunya dlu berapa. Jadi at least kamu ada gambaran kalau mau menikahi dia.

Saya yang ga perlu di-belis aja ga ada yg kawinin
Wajar sih kalau saingannya para perempuan Sumba yang cantik-cantik ini 


Parang dan Tanah Warisan sampai ke Langit
Ketika bertemu laki-laki Sumba membawa parang kemana-mana, jangan langsung berburuk sangka. Bagi mereka parang sudah macam HP buat kita. Lupa bawa parang bisa membuat mereka kalang kabut. Macam bapak-bapak kelupaan dompet atau influencer kelupaan HP. meding balik pulang buat ambil lagi.

The local wisdom-nya sih Parang adalah simbol dari kebijaksanaan laki-laki, tapi kenyataanya parang menjadi ajang adu kekuatan. Masih ingat cerita saya di tulisan sebelumnya? Ketika ketua rombongan mengingatkan kami agar tidak berkeluyuran keluar hotel di malam hari, alasannya karena ini. Ketika para laki-laki dan pemuda Sumba nongkrong-nongkrong dan minum Peci (Miras lokal Sumba) di pinggir jalan, lalu mereka terlalu mabuk dan sudah kehilangan akal sehat, tak jarang kesalahpahaman kecil berujung pada insiden potong orang. Ini bukan metafora ya, literally mereka saling tebas dengan parang yang mereka bawa kemana-mana. 

Lalu tentang sengketa. Paling sering urusan tanah. Ya tanah warisan, ya batas tanah dengan tanah tetangga, ya sertifikat bodong. Di Sumba masih banyak tanah ulayat yang belum punya sertifikat. Ujung-ujungnya jadi perkara. Tidak hanya urusan hukum, perkara tanah bisa jadi perkara kriminal karena mereka yang berseteru tidak segan-segan potong orang!

Kenapa harus extreem begitu sih? Karena, dalam kepercayaan orang sumba, tanah tak hanya sekedar tanah. Ketika bicara tentang tanah, mereka bicara tentang segala-galanya yang ada di tanah itu sampai ke langit! Yaps, jadi termasuk segala yang tumbuh, melintas dan berhembus di atasnya. Jadi jangan heran kalau urusan 10 cm tanah bisa jadi drama berdarah. Eh tapi di banyak daerah juga begitu sih ya.

Karena tingginya tingkat "potong orang" ini, sampai-sampai pemerintah daerah mengeluarkan peraturan yang melarang masyarakatnya membawa-bawa senjata tajam saat beraktifitas kecuali untuk acara-acara adat.

Kematian 
Ketika bicara tentang perayaan upacara kematian, daerah manakah yang muncul di kepalamu? Ngaben di Bali? atau Rambu Solo' di Toraja? Bagaimana dengan upacara Parai Marapu? Pernah dengar?

Parai Marapu adalah upacara kubur batu kepercayaan Merapu di Sumba. Dan masih dilakukan hingga sekarang. Ketika seorang anggota keluarga meninggal, tidak selalu upacara pemakaman langsung dilakukan. Pemakaman bisa saja dilakukan berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan tahunan setelahnya. Jadi, jasad akan diposisikan duduk dan menopang dagu (seperti janin dalam kandungan) lalu dibalsem (atau formalin agar awet) lalu di selimuti dengan kain tenun. Selama menunggu proses penguburan, jasad ini dianggap belum mati. Masih disiapkan makanan dan air setiap hari disajikan disebelahnya.

Apa yang ditunggu? Kenapa tidak langsung dikuburkan? Menunggu kesiapan keluarga. Upacara kematian sangat mahal. Beratus-ratus hewan harus dipotong. Belum lagi kalau para bangsawan. Ratusan kuda, kerbau, kambing, babi, ribuan ayam harus disiapkan. Kalau semua belum dirasa lengkap maka keluarga menunggu sampai cukup. Baru upacara kubur batu dilakukan.

Kubur batu di Desa Praijing
Satu kubur batu bisa diisi beberapa jasad dari satu keluarga.


Untuk keluarga dari kaum bangsawan, jasad harus ditemani setiap hari selama 24 jam oleh setidaknya 2 orang hambanya. Kemarin ketika saya berkunjung ke kampung tenun Raja sebenarnya ada satu keluarga yang menunggu upacara penguburan. Sayangnya saya tidak diijinkan untuk berkunjung karena saya buka anggota keluarga.

Hewan Ternak
Mungkin karena tingginya kebutuhan hewan ternak untuk acara adat di Sumba, makanya wajib hukumnya setiap keluarga memelihara kuda, kerbau, kambing, dan babi-nya sendiri. Tak hanya beberapa ekor, mereka bisa sampai punya puluhan bahkan ratusan!

Rahang dan tanduk hewan yang disembelih untuk acara adat disimpan di langit-langit rumah
Ini juga sebagai penanda status sosial keluarga itu, semakin banyak rahang/tanduk hewan, semakin sejahtera



Pose bersama ratusan kambing yang ngadem setelah digembala

Kontur lahan Sumba dengan banyaknya padang savana juga menjadi faktor pendukung. Hewan ternak tidak perlu dicarikan makan. Cukup digembalakan saja di padang rumput yang luas, mereka bisa cari makan sendiri. Hewan-hewan peliharaan bergerombol disana-sini. Mereka di cap oleh pemiliknya sehingga mudah dikenali dan tidak sembarangan nyasar ke kawanan lain.

Kawanan kuda, mungkin calon belis untuk seseorang

Oh, satu oleh-oleh terkenal dari Sumba adalah susu kuda liar! Saya tidak coba, jadi jangan tanya rasanya gimana!

Anak kuda sedang menyusu dari Induknya 


Bagi saya, cerita-cerita ini membuat sebuah perjalanan menjadi lebih menarik dan indah. Tidak hanya pulang dengan oleh-oleh foto yang indah, tetapi memperkaya diri dengan perbedaan berbagai budaya. Mensyukuri apa yang sudah dipunya, dan mengurangi jumawa karena terlalu banyak hal yang belum saya tahu.

Sebelum bisa jalan-jalan dan cerita-cerita lagi, yuk kita seruput Kopi Keras dulu! Oh cerita terakhir, kopi keras adalah kopi robusta asli Sumba yang di sangrai dan di tumbuk sendiri lalu diseduh air panas. Bersaudara lah dia dengan kopi tubruk! 

Saya tau kopi keras gara-gara setiap kita berhenti di tempat wisata, para sopir ini akan minta dibuatkan kopi keras. Karena penasaran saya mau coba. Rasanya nikmat nian!

Kopi Keras nikmat dunia


A Piece of Mind . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates