Monday, December 27, 2021

Absurd Life Series #2 : Di Surga Ada Apa?

Topik ini tiba-tiba muncul dalam obrolan tidak jelas dengan seorang kawan. Entah awalnya apa, muncul topik tentang pekerjaan-pekerjaan yang kemungkinan besar diganjar surga setelah meninggal. Daftar teratas tentu saja profesi dokter. Menyelamatkan nyawa itu sudah kasta tertinggi perbuatan baik umat manusia seharusnya. 

Ini sekilas percakapan berfaedah itu:
Saya       : kalau dokter itu kemungkinan besar masuk surga sih.
Teman    : emang di surga ada apaan?
Saya       : ada 47 bidadari yang menunggu dan melayanimu (ini asli saya ngaco)
Teman    : klo mau 47 bidadari doang, sekarang masih hidup juga bisa. Tinggal bayar.
Saya       : hhmmm, klo gitu bisa makan nasi padang sepuasnya tanpa takut gendut
Teman    : Sekarang jg saya bisa makan nasi padang sepuasnya dan ga gendut
Saya       : ga tau lah, belum pernah mati kan.

Setelahnya kok malah kepikiran. Di surga nanti memang ada apa?

Di banyak kepercayaan, surga adalah ultimate goals setelah meninggal. Tempat segala yang kita inginkan tersaji di depan mata tanpa usaha, gratis, tidak usah bayar pajak dan tentu saja tidak usah berebutan. Semua-mua-nya ada! Apapun yang membuatmu bahagia.

Tetapi, ada juga kepercayaan lainnya, tujuan tertinggi dari hidup malahan tidak hidup lagi. Terputus dari siklus hidup dan mati. Dalam Hindu disebut Moksha. Dalam ajaran Buddha disebut Parinibanna. (Kalau saya salah, please kasi tau ya)

Yang lumayan membuat saya mikir, jangan-jangan memang surga itu ada. Makanya hampir semua agama dan kepercayaan bermuara pada Tuhan (entah namanya apa), Surga, dan Neraka? Atau mungkin juga sebenarnya Surga dan Neraka adalah representasi hal-hal yang kita tau dalam dunia yang fana ini. 

Surga adalah recognition atau reward karena hal-hal baik yang sudah kita lakukan atau pencapaian kita atas target yang sudah ditentukan. Lalu sebaliknya neraka adalah consequences atau punishment karena hal-hal buruk yang dilakukan atau hasil yang jauh dibawah target yang ditetapkan. Semacam evaluasi kinerja tahunan gitu. Kalau bagus mungkin dapat bonus (hanya bos yang tau), kalau jelek jangankan bonus, gaji dibayar tepat waktu saja sudah sukur.

Lalu, bagaimana dengan para introvert.
Bayangkan mereka yang semasa hidup ketenangannya adalah ketika dia sendirian malas-malasan di kamar, sambil baca buku atau sambil main game, lalu karena berbuat baik diganjar surga lalu berkumpul beramai-ramai dengan orang baik lainnya dari segala penjuru alam semesta, ditemani bidadari dan malaikat segala. Rame gitu lhooo, kayak parade makhluk-makhluk baik. Kalau saya rasanya itu bukan reward, malah lebih ke punishment. Semasa hidup sudah capek lah berurusan dengan manusia lain, berbuat baik niatnya kalau surga nanti ga usah ketemu manusia lagi, eh tapi malah numplek jadi satu compound. Lelah lagi.

Mungkin surga itu sama kayak bahagia.
Lebih ke state of mind. Bukan kayak cluster perumahan di bikini bottom yang kamu harus bertetangga sama orang lain. Tapi lebih ke preferensi masing-masing orang, yang membuat mereka bahagia apa. Kalau bahagianya dirubungin puluhan bidadari ya monggo. Mau makan nasi padang sepuasnya ayo. Atau mau leyeh-leyeh juga boleh.

Yah, tulisan ini sungguh sangat tidak berfaedah memang.

Kalau saya sih pengennya kalau nanti meninggal ya udah gitu aja. Ilang. Ga lanjut kemana-mana lagi. Done! Finish! Khalas! Tapi karena belum pernah jadi belum tau bagaimana.

Hanya saja, seperti seorang Om bilang di another obrolan tidak berfaedah lainnya, yang paling pasti dari kehidupan di dunia ini hanya mati. Sangat biologis dan klinis.

Selamat menyambut tahun baru!




Photo by Daria Shevtsova from Pexels

Wednesday, December 15, 2021

Apa Ukuran Kebahagiaan?

Beberapa waktu lalu seorang kawan randomly bertanya ke saya tentang definisi kebahagiaan dan kesuksesan. Apakah ukuranya adalah keluarga, pasangan, uang, jabatan, pendidikan, atau apa?

Saya agak bingung juga.
Kalau yang ditanya ukuran berat badan, ukuran sepatu atau ukuran beha, dengan mudah bisa saya langsung berikan. Tapi ukuran bahagia?

Setelah berpikir sejenak, ini jawabanya waktu itu: Saya tidak pernah berpikir sejauh itu. Nyaris tidak pernah mikir bahagia itu gimana.

Yah, saya tidak pernah memikirkan apa ukuran dan tolak ukur kebahagiaan. Most of the time I am planning my life and enjoy the ride.

Beberapa kali rencana-rencana hidup itu tidak tercapai. Bahkan gagal total. Baru saja kemarin pengajuan kredit ditolak karena bank belum berani kasi hutangan ke karyawan hotel. Kecewa sebentar, lalu memikirkan semua baik buruknya, akhirnya bahagia karena kreditan di tolak bank. Setidaknya hidup saya akan sangat tenang dan damai meskipun cita-cita yang sudah direncanakan dengan matang harus diubah masterplan-nya agar lebih masuk akal.

Begitu juga rencana bertemu Issam yang direncanakan matang-matang dari jauh-jauh hari dan berkali-kali gagal total gara-gara pandemi dan kebijakan pemerintah yang berganti tak tentu. Frustasi iya, nangis-nangis karena kangen. Setelahnya baik-baik lagi, bersyukur dan heran kok bisa pacaran 3 tahun, 2 tahunnya lewat video call doang. Bahagia karena uang yang tadinya buat foya-foya liburan bisa dipinjam untuk benerin mobil yang tiba-tiba mogok.

Bahagia ternyata terjadi begitu saja. Hal-hal kecil yang kadang tidak diharapkan. Malah kadang terjadi ditengah bencana. Coba deh ingat-ingat cerita susah di masa lalu, lalu ceritakan pada orang-orang sekitar, jatuhnya pasti kita akan menertawakan masa-masa itu. Seringnya saya malah menertawai diri sendiri. Kok ya bisa bodo begitu. Kok ya bisa sangat naive melihat dunia. Kok bisa ditipu mentah-mentah. Lalu bahagia karena sadar kesulitan-kesulitan itu yang menjadikan saya yang sekarang. Lebih dewasa rasanya. Meskipun belum pintar-pintar amat, tapi lebih matang kalau hitung-hitungan tentang hidup.

Sering kali entah karena ulah siapa, kebahagiaan dianggap berkorelasi positif dengan kesuksesan. Lalu indikator kesuksesan ada pada uang, jabatan, strata sosial. Mungkin benar juga sih itu ukurannya, makanya setiap negara menghitung keberhasilan pemerintahnya dengan Gross Domestic Product (GDP), makin gede makin baik. Begitu juga perusahaan, tiap bulan saya ikut meeting untuk tau Gross Operating Profit (GOP), makin gede makin disayang owner. Kalau malah GOL (Loss) artinya siap-siap cari kerja tahun depan. Jadi memang bisa saja itu dijadikan indikator kesuksesan. Tetapi apakah kesuksesan ini berkorelasi positif dengan kebahagiaan?

Saya mencoba membandingkan data tentang peringkat kebahagiaan negara-negara di dunia vs negara-negara dengan GDP terbesar di dunia (karena capek bikin tabel yang bagus, jadi saya buat 5 besar saja)

Source: World Happiness Report & Data Worldbank

Apa yang kalian lihat di perbandingan itu? Ternyata kebahagiaan tidak melulu berbanding lurus dengan kekayaan dan harta. Top 5 negara paling bahagia itu tidak ada yg bahkan masuk top 20 negara dengan GDP terbesar. Islandia (Iceland) bahkan rangking 110 GDP-nya. Pun Indonesia, masun negara G20 karena GDP kita selalu 20 besar tetapi ketika berurusan dengan kebahagiaan agak jauh di bawah. Sementara negara dengan GDP terbesar di dunia adalah Amerika Serikat, tingkat kebahagiaannya "hanya" di ranking 17.

Negara-negara yang selalu dalam daftar teratas dalam daftar negara paling bahagia selalu adalah negara-negara Nordik. Negara yang sangat jauh dari khatulistiwa. Negara yang jauh dari kata-kata subur. Bagaimana mau subur, tanah-tanah mereka dilapisi es. Melihat matahari juga jarang. But yet, mereka paling bahagia di muka bumi. Coba deh baca Geography of Bliss-nya Eric Weiner, dia membahas hal ini.

Kalau katanya ibu saya, uang memang bisa membuat bahagia. Di kampung kami banyak nian kasus prahara rumah tangga rata-rata karena masalah ekonomi. Mungkin maksudnya adalah, at a certain point, uang memang memberikan perasaan tenang. Sense of security. Ketika kita tahu bahwa kebutuhan pokok terpenuhi. Tidak perlu khawatir tentang pangan, papan dan sandang. Masuk akal kalau banyak yang percaya kalau kebahagiaan berbanding lurus dengan harta dan kekayaan. Dalam list kebahagiaan itu, negara-negara yang tidak bahagia dipenuhi oleh negara-negara miskin di Afrika macam Rwanda & Zimbabwe, dan juga negara-negara yang sedag konflik macam Afganisthan dan Yaman.

Kembali ke kebahagiaan di level personal. Ya saya akui kondisi saya sekarang dengan pekerjaan yang baik dan penghasilan yang stabil memberi kontribusi pada level ketenangan. Tetapi kebahagiaan? Lain lagi ceritanya. Tahun 2010 ketika saya pertama kali bekerja dan gaji hanya ratusan ribu sebulan, rasanya juga sudah bahagia saat ini. Tingkat kebahagiaannya beti-beti dengan sekarang.

Lalu apa ukuran kebahagiaan untuk saya?

Setelah saya pikirkan sesaat sebelum menulis ini, saya tetap tidak mau memikirkannya. Terlalu banyak memikirkan tentang kebahagiaan malah bisa membuat tidak bahagia.

Biarkanlah kehidupan berjalan dan memberikanmu kejutannya. Kalau buruk dan membuatmu kurang bahagia, setidaknya itu menjadi pengingat bahwa bahagia itu rasanya menyenangkan. Kan katanya kalau belum pernah rasanya menderita, akan sulit untuk paham rasanya bahagia. Lihat saja orang yang kaya dari lahir, jauh lebih sulit dibuat bahagia. Saya bisa sesekali makan di restaurant Vietnam saja rasanya bahagiaaaaa. Syahrini dikasi makan steak berlapis emas mungkin biasa saja karena sudah terlalu biasa.

Penting untuk membuat diri kita merasa aman dan tenang. Dengan kondisi keluarga dan ekonomi, agar setelahnya lebih woles menjalani hidup.

So, semoga semakin sering bahagia ya....

Oh, ini jawaban saya waktu itu ketika ditanya tentang definisi bahagia

Terimakasih Bu Guru Made sudah membuat saya mikir dan akhirnya menulis tentang ini :)


Sunday, December 12, 2021

Tergoda untuk Menyerah

Sesekali terasa lelah
Tergoda untuk menyerah
Balik kanan dan mengaku kalah

Kadang rasanya gundah
Ketika hati selalu resah
Ingin sekali berhenti dan pasrah

Apakah ini saatnya berubah?
Atau hanya pertanda agar sedikit berserah?
Agar hati dan jiwa tak lagi lemah

Pada akhirnya logika menjawab tanya
Hidup manusia yang sebenarnya fana
Mencari cinta yang seharusnya nyata

Aku dan kamu berusaha tetap ada
Menarik kemungkinan dalam setiap cerita
Meski kadang rasanya tak bisa

Lelah bukan berarti berhenti mencoba
Menyerah kadang terpikir tapi tak menggoda
Kalah hanya saat darah tak lagi mengalir ke kepala

Kepada kamu
Aku cinta selalu
Meski tak mudah dah tak tentu
Aku tunggu, bersama setumpuk rindu



Nusa Dua, 12 Dec 2021
11.31 pm

Photo by Nick Fewings on Unsplash


Thursday, December 2, 2021

My Absurd Life Series #1 - Cara Menjawab Pertanyaan "Kapan Kawin?"

Beberapa kali obrolan tentang pertanyaan "Kapan Kawin?" muncul dalam percakapan antara saya dan sahabat terdekat. Bukan, mereka bukan literally menanyakan kapan saya akan menikah dan berumah tangga. They know me too well. Tetapi tentang konteks pertanyaannya. 

Saya sempat ragu menulis ini sebenarnya, tetapi rasanya harus. Ragu karena saat ini sedang banyak campaign yang menyatakan menanyakan kapan kawin adalah sebuah pelanggaran privasi seseorang. Membuat orang insecure dan depresi. Bahkan saat musim hari raya konon katanya sampai banyak yang malas mudik atau malas ikut acara keluarga karena malas ditanya kapan kawin.

Muncul juga rupa-rupa cara menjawab pertanyaan ini dengan cara yang konyol, sarkasme sampai serius. Lalu muncul berbagai pembelaan tentang hak azasi, kesetaraan gender, dan banyak lagi.

Lalu apa yang membuat saya ragu untuk menulis? 
Karena ternyata saya tidak setuju dengan orang-orang yang merasa bahwa pertanyaan kapan kawin itu adalah pertanyaan yang dilarang dan bisa membahayakan jiwa si objek penderita. Agaknya terlalu berlebihan. Bagaimana kalau kita ubah sedikit saja sudut pandangnya. Sedikit. Janji!

Let me tell you about myself a little bit. 8 bulan lagi saya akan berumur 34 tahun. Punya pacar dan serius. Tapi belum tahu kapan akan menikah. Bahkan apakah akan menikah saja saya belum tahu. Saya bukan orang yang memutuskan untuk tidak menikah. Ya, saya ingin menikah. Saya ingin punya suami. Tetapi memang ada beberapa pertimbangan yang harus dihitung dengan benar sebelum keputusannya diambil. Kalau ada yang mau tahu alasan detailnya kenapa saya tidak akan merasa tersinggung kok, sebisa mungkin pasti akan saya jelaskan. 

Seberapa sering ditanya "Kapan Kawin?"? Oh please, anda pasti bisa membayangkan. Tidak hanya di acara keluarga atau di lingkungan terdekat saja. Kemarin urus kredit di bank dan orang bank tahu saya masih lajang pertanyaannya begitu juga. 

Pernah stress ditanya seperti itu? Mungkin pernah. Tapi sudah sangat lama tidak lagi. Alasannya? Saya akhirnya melihat pertanyaan itu ya hanya sebatas pertanyaan saja. Tinggal dijawab. Selesai. Variasi jawaban saya biasanya:
"Iya nunggu jodohnya dulu" 
"Doakan semoga segera ya"
"Ditunggu ya, mudah-mudahan ada jalannya" 
Ya semodelan itu saja.

Memang kadang ada pertanyaan lanjutannya semacam "Duh, tunggu apa lagi sih?" atau "Kamu terlalu pemilih mungkin" atau di kasus saya yang lumayan sering "Jangan ngejar karir terus, nanti keburu tua"
Variasi jawaban saya biasanya, sama dengan yang tadi, semacam "Iya nih, doakan saja ya". Dulu masih suka jahil, jawabnya kadang gini "Iya nih, bantu cariin donk" atau semacam "Yah, nunggu dilamar soalnya" lalu suasana bisa menjadi lebih cair.

Saya tidak terlalu setuju kalau kita fokusnya adalah "mengharapkan orang lain untuk tidak bertanya hal itu". Ini sia-sia, bahkan dalam banyak agama besar di dunia mereka percaya bahwa janganlah menaruh harap pada manusia, karena dari semua kepahitan hidup, yang paling pahit adalah berharap kepada manusia.

Jadi, instead of mengharapkan orang lain tidak bertanya "Kapan Kawin?" "Kapan Punya Anak?" "Kapan Lulus Kuliah?" dll, bukankah sebaiknya lakukan apa yang kita bisa lakukan sendiri, menata pikiran, jangan terlalu terbawa hati, anggap itu sebagai pernyanyaan biasa lainnya. Sebiasa orang bertanya "Kamu kok tidak suka makanan pedas?" Tidak usah marah, tinggal dijawab saja.

Rasa-rasanya sebagian besar orang yang bertanya-tanya kepo itu tidak ada sedikitpun niat jahat. Mungkin memang itu cara mereka untuk bersosialisasi. Dan mungkin hanya itu pertanyaan yang terlintas dipikiran mereka. Jangan sampai hanya karena itu kita terbawa emosi. Ujung-ujungnya overthinking. Menganggap semua orang jahat dan tidak mau bertemu orang. Agak susah soalnya. Kita bukan Yeti yang bisa hidup sendiri di pegunungan himalaya. Bahkan mungkin Yeti juga punya tetangga dan saudara. Ada yang baik, ada yang rese.

Kembali lagi tentang pertanyaan "Kapan Kawin? itu, pada akhirnya kita tidak akan pernah bisa mengontrol tindakan dan perkataan orang lain. Yang bisa kita lakukan hanyalah memutuskan apa yang akan kita lakukan dan katakan. Menjadi dewasa memang kadang menyebalkan, tetapi kalau dijalani dengan lebih santai akan bisa menjadi menyenangkan kok. Percaya deh.

Love you all!

Source: https://unsplash.com/photos/KZcWygxZ_J4 (Taken by: @timmossholder)



A Piece of Mind . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates