Thursday, July 22, 2021

Aku Pengen Deh Suka Baca, Tapi... (Tips Memilih Buku Bacaan)

Tapi tiap baru baca beberapa halaman sudah ketiduran.
Tapi ga bisa fokus saat membaca, lebih asik nonton.
Tapi bukunya ga menarik, jadi cepat bosan.

Sama seperti hobi yang lain, tidak semua orang harus suka membaca. 
Kawan-kawan saya hobi main futsal misalnya, bukan berarti saya harus suka futsal juga
Atau banyak teman saya yang lain sangat hobi makan makanan pedas, sementara saya lebih baik menyerah saja.

Membaca sebenarnya jauh lebih mudah daripada main futsal atau makan makanan pedas. Lebih minim resiko. Resiko paling bahaya mungkin bablas begadang atau malah bablas ketiduran. Eh tapi kalau membaca buku aliran sesat dan kita ikut tersesat berbahaya juga sih.

Saya yakin sebenarnya semua orang pasti suka membaca.
Masalahnya adalah mereka belum ketemu buku yang pas. Hobi membaca itu persis seperti hobi makan, semua pasti suka tetapi belum tentu semua makanan bisa disukai orang yang sama. Jangankan kita, Nex Carlos si food bloger kenamaan yang memakan nyaris segala jenis makanan kalau dikasi sayur akan nyerah dan tidak suka.

Pun membaca. Ada orang yang sukanya membaca novel sci-fi , tapi malah diminta membaca buku-buku pengembangan diri, pasti tidak akan betah dan langsung ketiduran.

Pertanyaan yang paling sering ditanyakan ke saya adalah "Win, buku apa ya yang bagus buatku" 
Ini pertanyaan super susah! Sama seperti kalau tetiba saya bertanya ke kalian "Film apa ya yang bagus?" Lalu kalian memberi saya referensi film-film horor, pasti tidak akan mungkin saya tonton.

Tapi, ada beberapa tips yang mungkin bisa saya bagikan agar bisa memilih buku yang menyenangkan untuk dibaca. Here you go...

1. Baca Ringkasan Pada Sampul Belakang
Ini adalah cara paling sederhana.
Biasanya di sampul belakang buku isinya adalah uraian singkat isi buku. Penulis dan penerbit juga sangat paham bahwa banyak pembaca seperti saya yang memutuskan membeli buku berdasarkan ringkasan singkat tersebut sehingga mereka akan membuat ringkasan yang menarik dan mewakili isi buku secara keseluruhan.

Biasanya beberapa review dari media atau pembaca yang juga dicantumkan di sampul belakang buku ini. Jadi semakin banyak gambaran yang kita punya.

Buku-buku terbitan Gramedia (dan beberapa penerbit lain) juga mencantumkan klasifikasi buku, biasanya di atas barcode, seperti kumpulan cerita pendek, novel 13 remaja, 18+, 21+ , fiksi ilmiah, dll.

Ini contohnya


Lebih afdol lagi kalau sudah ada buku yang bungkus plastiknya sudah terbuka. Jadi bisa membaca beberapa halaman untuk tau feel dan gaya penulisannya. Sama kalau membeli baju, kita coba dulu di kamar pas selama beberapa menit sebelum memutuskan membeli kan? 

2. Baca Review
Sama seperti film, hampir semua buku pasti ada reviewnya. Kalau saya biasanya cek review-review buku di goodreads.com , Semacam IMDB tetapi untuk buku. Jadi masing-masing buku sudah ada sinopsisnya, rating dan juga top comments dari para reviewer.

Biasanya setiap tahun ada readers choice award untuk setiap kategory. Tinggal pilih dari sana buku favorite pembaca, dari pengalaman saya buku-buku itu memang beneran bagus.




My personal advise: pilih buku yang ratingnya diatas 3,5 biar lebih aman. Dan luangkan waktu membaca beberapa review disana. Mirip seperti melihat-lihat pilihan hotel di situsnya Trip Advisor.

Saya juga menulis review beberapa buku yang saya baca disana. Klik disini utk melihat review saya di goodreads: Winda-goodreads-account

3. Perhatikan Penerbitnya
Terutama untuk buku-buku terjemahan. Penerbit yang baik adalah penerbit yang punya penerjemah novel yang sudah berpengalaman. Memangnya ngaruh? Bangeeeet.

Ketika terjemahannya kurang pas, rasanya ada yang menusuk lidah dan kepala. Bahasanya berputar-putar dan susah dipahami, akhirnya malah kita tidak paham blas dengan isi buku. Beberapa kali saya menemukan kasus ini. Yang pada akhirnya membuat saya lelah lalu menyerah.

Memang kecenderungannya penerbit dengan nama besar punya kualitas terjemahan dan kualitas editing yang lebih baik. Sebenarnya tidak hanya nama besar sih, banyak penerbit meskipun bukan raksasa tapi punya kualitas buku dengan tingkat idealisme tinggi. Salah satu kesukaan saya adalah kualitas buku-buku terbitan Marjin Kiri. 

Penerbit yang baik, akan memperhatikan editing. Saya (dan mungkin kalian juga) akan sangat terganggu jika terdapat banyak kesalahan penulisan, tanda baca, atau bahkan ada kesalahan tata letak halaman. Belum lagi layout. Kalau layoutnya acak kadut, mood membaca juga terganggu sih.

4. Follow Instagram Account @_putu_winda
Sekalian promo ya! Hahahaha....
Gara-gara Pandemi, setahun lebih saya tidak punya hal menarik untuk di post di instagram, sampai akhirnya biar tidak bosan, buku-buku yang menurut saya menarik (bagus ataupun kurang bagus), saya post di IG. 

Sebenarnya Reviewnya sih bukan tipe review yang mengulas isi buku, saya lebih senang menuliskan apa yang saya rasakan setelah membaca buku-buku itu. Saya termasuk penganut paham Maya Angelou yang bilang: I've learned that people will forget what you said, people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel.

Pokoknya gitu lah
Cus follow! la la la la ~~






5. Don't Be Afraid! Take the Risk!
Hidup itu kurang afdol kalau kita ga berani ambil resiko! Beli makan di tukang lalapan yang baru buka juga resiko, tapi kalau enak kan bisa jadi langganan.

Main paragliding juga penuh resiko, tapi bikin ketagihan!

Apalagi cuma beli dan baca buku, resikonya keciiilll, tapi kemungkinan besar bikin happy!

So, selamat memilih buku bacaan!

Eh satu lagi maha penting, DILARANG MEMBELI BUKU BAJAKAN! 
Haram dan dosa!




Thursday, July 15, 2021

Beauty Standard - Cantik (Alhamdulilah), Pinter (Masyallah), Nyinyir (Yuk Ah!)

Beberapa hari belakangan ini saya lihat seliweran di feed Instagram tentang influencer yang merasa risih dan kecewa ketika sebuah brand daleman kelas dunia mengganti para "malaikat"-nya dengan wanita-wanita yang lebih beragam dan mewakili kenyataan. Wanita dengan kulit berwarna, wanita berbagai ukuran, wanita berbagai bentuk.

Bukannya embracing the change, Mbak Influencer bilang sekarang para model-nya buriq, ga healthy, lalu malah nyerempet-nyerempet kalau sebenarnya orang-orang hanya iri pada tubuh mereka-mereka yang "bagus" dan orang-orang hanya bisa nyinyir dan tidak ada usaha untuk meraih "body goals"-nya model cawet dan beha ini. Akhirnya si mbak influencer dihujat oleh netijen. Tetapi, tambah panas karena bukannya minta maaf, mbak influencer tetap ngotot bahwa dia punya standard sendiri, ngapaen lu orang repot. Belum lagi ada teman si embak yang ikut belain, plus ibunya! Ibunya segala berkata kalau orang-orang yang menghujat anaknya itu belum tentu lebih cantik.

Saya salut sama ibunya. Namanya juga seorang ibu, pasti akan membela anaknya apapun yang terjadi. Ibu si influencer maksudnya. Kalau itu ibu saya, trus saya ngomong aneh-aneh macam itu, astajim, ga selamat. Saya yang ga selamat! Bukan yang nyiyirin saya. Hahahaha....

Karena kepo, saya lihat-lihat laman Instagram mbak influencer ini. Disitu ditulis dia Menteri Kecantikan. Kurang tau juga di negara mana, mungkin di Ministry of Magic. Kan soalnya dia sukanya pergaulan angel-angel (bacanya pake bahasa Inggris, kalau bahasa jawa nanti beda jauh artinya) gitu. 

Berdasarkan checklist standar kecantikan yang sudah out of date alias dari masa lampau, mbak ini memang tergolong cantik. Atau setidaknya semua kriteria bisa dicentang. Contoh: kulit mulus, kaki jenjang, bibir munju, hidung macung, ketiak halus, perut rata, apa lagi yaaaa.... mmmm.... oh iya! Mbak-nya nampak bergelimangan harta! Penting itu dicatat.

Agak kurang paham, mbak ini bergaul dimana. Referensi hidupnya bagaimana. Apakah mungkin dia hidup di sebuah fasilitas ilmiah terisolasi (macam film The Island) yang semua penduduknya sama dan seragam. Yang diciptakan dari cetakan kue sehingga bentukannya sama. Kayaknya begituuuu, makanya dia merasa bahwa ada beauty standard. Macam SNI gitu lho. Mulai dari helm sampai botol air, ikut standar SNI biar aman. Dia pikir, tubuh manusia juga begitu, standar SNI. Sama macam dia.

Sebenarnya ada memang standar manusia hidup sih. Bernapas. Jantung masih bisa memompa darah. kurang lebih begitu. Badan ini kan produk ilahi. Bukan produk cetakan pabrik rice cooker di Sidoarjo sana. Kalau kata ibu saya, punya anak tiga, pabriknya sama, rute keluarnya juga sama, bentukannya beda-beda. Apakabar 7 milliar manusia di muka bumi. Kalau semua ikut standard si Mbak, bukannya malah ngeri ya? Helm SNI yang ada standar-nya aja masih macam-macam bentuk dan stickernya kok.

Ataaaauuuu, ini baru kepikiran. 
Waktu jaman sekolah dulu Mbak Influencer memang selalu mencari nilai standard. Ga mau di atas rata-rata dan menjadi paling pintar di sekolahan. Atau ga pernah mecoba kebandelan seru masa remaja yang membuat nilai kadang di bawah rata-rata sehingga dimarahi guru BK (saya pernah, adu jotos sama teman gegara rambut teman saya isi lem alteco). 

Mungkin dia penganut, "ya wis, ikut standar aja. Kalau standar KKM (Kriteria Kelulusan Minimal) pelajaran matematika adalah 7,0 kenapa harus berusaha dapat nilai lebih". Rata-rata air. Tidak menonjol. Ah membosankan. Tapi saya sepertinya salah. Hidup mbak influencer tampak baik-baik saja. menyenangkan dengan foto-foto diri memenuhi laman sosial medianya. Apalah saya ini yang feed IG isinya buku melulu. Nerd Winda. Super nerd.

Coba si mbak influencer pernah berada di situasi seperti saya (dan banyak orang lainnya) yang punya ukuran-ukuran tubuh di atas rata-rata. Bukan hanya masalah pergendutan atau perjerawatan atau perkulitputihan. 

Contoh di kasus saya, ukuran kaki di atas rata-rata.43. Kalau belanja sepatu cocoknya di bagian sepatu laki-laki. Cari sepatu atau sandal yang cantik susah. Trus kalau sudah begitu, mbaknya menyalahkan ukuran kaki saya yang terlalu besar, harusnya kaki saya diet biar kecilan karena jelas-jelas ga masuk beauty standard? Gitu?

Bagaimana dengan ukuran bokong? 
Saya punya kawan yang supeeer rajin olah raga, makanan sehat selalu, perut rata, tapi punya bokong gede. Yang beneran gede, sampai dia agak kesusahan kalau mau beli celana! Trus masa dia harus operasi bokong biar proporsional sesuai dengan "standar kecantikan" yang tidak masuk akal itu?  

Lalu ada juga para perempuan petite macam adik saya yang kalau cari baju selalu dapatnya di section anak-anak? Apakah lantas dia yang tingginya tidak memenuhi standard kecantikan si Mbak Influencer ga berhak pakai cawet dan beha? Astajim! Nyinyir amat saya.

Sukurnya para perempuan ini sangat empowered dan proud of her body. Kalau misalnya dia adalah anak gadis yang sedang mencari jati diri dan mencari sosok yang bisa dijadikan panutan, kan sedih. Mbak Influencer nanti bukannya tanggung jawab takutnya malah bilang "ya kan itu standar saya, saya ga maksain orang lain" 

Yes, you can have your own beauty standard as you said. Keep it with you, do not promoting it on your social media account. Namanya social media, ya buat bersosialisasi. Kalau gunanya buat nyimpen memories, bisa beli safe deposit box. Atau beli album foto, taruh di meja ruang keluarga. Duh, kok tambah gemas sih setelah menulis ini.

Kan ngeri ya kalau semua orang mengumbar-umbar private life standar mereka. Laki-laki yang punya ideal penis size standard misalnya. Cukup dia yang paham lah, Bukan berarti pas ukuran dia sudah sesuai "standard" trus dia umbar-umbar fotonya di social media. Ngeri amat.

(Terlihat) Cantik itu penting, karena mau tak mau, dunia kita visual. Kesan yang kita ciptakan dari penampilan itu sangat berpengaruh.
Tetapi, jangan sampai lupa diri. Keinget biar cantik aja, tapi logikanya ketinggalan. Kasian, dikasi otak dengan volume sangat besar malah ga dimanfaatkan. 

Udah ah, kasus Covid melonjak tinggi, pastikan kalian bahagia. Atau setidaknya usahakan sedikit bahagia ya.

Nih, ada salam dari Nepali Women yang beneran cantik-cantik semua :) 

Personal collection






A Piece of Mind . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates