Thursday, January 15, 2015

Di Dunia ini Ada Dua Orang yang Bisa Saya Ajak Bicara Tentang Apapun


Sebagai orang yang suka berbicara hal-hal tak penting dua orang inilah yang mau dan dengan terpaksa mendengar ocehan-ocehan saya yang lebih sering tak masuk akal.

Mulai tentang merencanakan membuka warung kopi dan warung sate, sampai sekalian bicara panjang lebar tentang operasional sebuah hotel bintang lima.

Membahas tentang teman-teman yang sudah menikah dan beranak pinak sampai repot-repot berdebat tentang carut marutnya perpolitikan di Indonesia.

Mengaggumi film-film box-office yang kami tonton atau sekedar mengagumi bintang-bintang yang menghiasi konstelasi langit malam saat kami kehabisan akal.

Mengomentari hal-hal yang tak mungkin kami raih seperti NASA, CERN, MI6, CIA, sampai hal-hal yang sedikitpun sebenarnya tak perlu kami bahas seperti tentang Big Bang theory, cara kerja alam semesta, dan tentang TUHAN.

Menggerutu tentang makanan tak enak yang kami beli, bercerita tentang enaknya creambath atau spa yang baru saja kami coba, berkisah tentang jam-jam kerja membosankan yang kami jalani.

Seringnya saya yang mengeluh pada mereka. Mengeluh tentang pelayanan kantor pemerintah yang lelet, mengeluh tentang smartphone yang membuat saya merasa sangat bodoh, mengeluh tentang proses medical check-up yang menyakitkan dan terutama mengeluh tentang mereka berdua yang kadang menghilang entah kemana.

Selalu saya merasa sangat beruntung memiliki mereka berdua sebagai sahabat terbaik saya. Bukan karena mereka memiliki qualifikasi yang tinggi sebagai sahabat. Tidak samasekali. Seringnya mereka tidak ada buat saya. Seringnya kami tak sependapat dalam banyak hal-hal mendasar. Lebih sering lagi kami berselisih paham tentang hal remeh temeh. Saya bersyukur karena mereka ada. Saya bersyukur karena mereka menerima segala teori tak masuk akal saya. Dan saya bersyukur mereka tetap menjadi sahabat terbaik.

Saya bisa bisa memberitahu mereka dengan detail tentang kondisi keuangan, rancangan masa depan, komentar-komentas sinis tentang beberapa orang, pemikiran nyleneh yang suka hinggap di kepala, minta tolong dibelikan pulsa listrik, di jemput malam-malam, ditemani saat menangis hingga mata bengkak, menghabiskan makanan yang saya beli tapi tak ingin  saya makan, dan banyak hal-hal biasa lainnya

Lalu, kami bicara tentang cinta. Rasa yang kami rasakan pada orang yang kami inginkan ada di masa depan kami. Cinta yang kami punya untuk orang yang akan menjadi mendampingi kami hingga akhir usia. Dan saat itu saya sadar bahwa kami telah dewasa.

Dan kami telah menemukan cinta kami. Kami akan segera bertumbuh. Beranak pinak seperti teman-teman yang lain.

Selalu, Di dunia ini ada dua orang yang bisa saya ajak bicara tentang apapun.

Catatan Penting:
*) Salah satu dari sahabat terbaik saya itu akan menikah tahun ini dengan gadis pilihan hatinya

**) Sedangkan sahabat yang satunya lagi akan menikahi saya di kemudian hari J J

Friday, January 9, 2015

Menukar Cita-Cita



Ketika tumbuh dewasa, sebagian besar orang menjadi sangat realistis. Mencoba untuk melihat segala hal dari sudut pandang mungkin-tak mungkin, bisa-tak bisa, mampu-tak mampu. Saat seperti inilah mereka mulai melupakan mimpi-mimpi mereka, membuang jauh cita-cita mereka. Setelah dipikir-pikir semua mimpi itu tak mungkin diraih, tak bisa dicapai, tak mampu dilakukan.
 Sadar cita-cita menjadi astronot menjadi tak mungkin karena saat SMP nilai pelajaran Fisika dan Matematika tak lebih dari 50. Saat cita-cita menjadi key player Manchester United terasa tak nyata karena olah raga adalah salah satu bentuk penyiksaan yang sangat efektif. Atau bahkan saat cita-cita menjadi Satria Baja Hitam terdengar mustahil saat menyadari bahwa mengendarai sepeda motor adalah salah satu cara legal untuk bunuh diri.
Beruntung ketika mimpi dan cita-cita yang dipilih ternyata masih mungkin diraih. Misalnya cita-cita menjadi dokter dan memang pintar dan mampu dalam ilmu pasti (kalau ilmunya belum pasti, boleh jadi dukun dulu). Atau cita-cita menjadi pahlawan pembela kebenaran bisa diwujudkan dengan menjadi pengacara, syukur-syukur bisa kasih banyak probono ke orang-orang sekitar.
Tidak beruntung ketika menukar cita-cita dengan sesuatu yang tidak pernah kita inginkan hanya karena berusaha bersikap realistis.
Misalnya cita-cita menjadi ilmuwan ditukar dengan pekerjaan menjadi bankir. Alasannya biar bisa kaya, soalnya ilmuwan di Indonesia belum jelas prospeknya, dan ilmuwan memang biasanya tidak urusan dengan menjadi kaya. Eh, setelah sukses jadi bankir baru menyesal karena merasa hidupnya akan lebih berguna bagi khalayak kalau dia jadi ilmuwan, menemukan rumus Matematika baru, atau menemukan vaksin baru yang untuk membantu pasien cacar air.
Ada juga yang menukar cita-citanya yang tadinya mau jadi dokter, berubah haluan jadi anggota DPR. Alasannya jadi dokter sekolahnya lama, sedangkan jadi anggota DPR cukup sampai lulus SMA saja. Toh sama-sama bisa bikin kaya. Eh, setelah setahun jadi anggota DPR merasa lelah melihat kelakuan separuh anggota DPR tak bekerja sesuai harapan.
Tapi mungkin banyak juga kisah menukar cita-cita yang menyenangkan, seperti misalnya cita-cita menjadi Dokter Anak yang ditukar dengan menjadi ultra senior level di MLM. Sama-sama banyak uang, sama-sama membantu sesama, pokoknya banyak sama dah. Kalau yang kisahnya begini pasti nyebut syukurnya bertubi-tubi.
Nah, trus kenapa saya menulis ini? Apa pesan moralnya? Tidak ada! Hahaha…
Mimpi saya dari kecil tidak pernah terlalu aneh. Pernah ingin jadi pendekar, lalu ganti ingin jadi satria baja hitam, kemudian sejak kelas 5 SD sudah fixed ingin jadi penjaga perpustakaan. Sayapun mencoba realistis, menjadi penjaga perpustakaan sepertinya tak cocok bagi saya yang tidak sabaran, jadinya saya adjust sedikit cita-citanya yaitu menjadi pemilik perpustakaan!! Hahaha…
Sekarang ada sedikit perubahan dalam master plan cita-cita saya. Saya ingin punya perpustakaan di tengah perkebunan tempat saya leyeh-leyeh sampai tua. Tidak apalah tak terlalu kaya (agak kaya sudah cukup! Whahahaha…), nanti kebunnya diisi cengkeh, jadi pas tua sudah tidak perlu kerja, makan dari hasil kebun saja. Trus perpustakaannya boleh untuk siapa saja yang mau mampir ke kebun, jadi bisa merasakan sensasi membaca sambil dirubung nyamuk!
Saya belum mau menukar cita-cita ini dengan hal lain. Cita-cita ini fixed dari saya masih SD kelas 5 sampai saat saya menulis ini. Jumlah buku yang saat ini sudah mulai mengusai rumah nusa dua menjadi fondasi awal cita-cita ini. Semoga tahun depan fondasi besar lainnya bisa dirintis. Tentunya dengan dukungan dari tetangga sebelah. Kalau sendiri ya mana sanggup!
Saya tak mau menukar cita-cita.

Sekian dan selamat berakhir pekan…. :)

A Piece of Mind . 2017 Copyright. All rights reserved. Designed by Blogger Template | Free Blogger Templates